Oleh :
Basri Amin
Nostalgia “23 Januari” tak akan berarti apa-apa tanpa penghayatan, pengetahuan, dan tanggung jawab. Rutinitas tak akan membuat kita (mampu) beranjak jauh ke masa depan. Di tengah putaran waktu yang dililit ketidakpastian, terbukti bahwa sejarah Gorontalo yang benar ternyata dibentuk oleh “manusia sadar”. Secara formal, nasionalisme Gorontalo hadir cukup dini. “Gorontalo istimewa!”. Bahkan, praktik “Bahasa Indonesia” yang politis dan yang humanis amat terasa. Tercatat, organisasi kebangsaan pertama di Gorontalo bernama: “Sinar Budi”. Ia berdiri tak lama setelah Boedi Oetomo hadir di Jawa (1912).
Pada Kongres Jong Islamieten Bond (JIB) tahun 1931 di Jogjakarta, “srikandi Gorontalo” bernama Marie Olii menjadi peserta utama yang aktif. Di masa yang sama, tokoh JIB Gorontalo, Giu Thanib, telah membawakan ceramah berjudul: “Islam dan Cita-Cita Kemerdekaan”, bertempat di bioskop “Murni” Gorontalo. JIB sendiri sudah berdiri di Gorontalo tahun 1930, dengan tokoh-tokohnya: Djafar Arbie, Tjani Lamato, Marie Olii, Hawa Arbie dan S. Kirdiat (Sumber: Pedjuang Nasional, 1957: 4-5).
Setelah itu, tahun 1931, berdiri pula Partij Indonesia yang dipimpin oleh Nani Wartabone dan Surjo Kusumo. Di tahun yang sama, Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII) didirikan oleh: Abdullah Tumu, Ahmad Hippy dan Gaffar Usu. Pada periode 1934-1939, pergerakan kebangsaan itu semakin membesar dan membumi di Gorontalo. Tokohnya cukup banyak dan terorganisir, antara lain yang cukup lama tak disebut-sebut namanya adalah Ibrahim Muhammad.
Delapan tahun kemudian (1939), arus nasionalisme Gorontalo itu makin melembaga. Untuk kali pertama, kekuatan Nasional itu hadir-aktif menggerakkan “kemerdekaan”. Adalah GAPI (Gabungan Politik Indonesia), dengan doktrin “Indonesia Berparlemen” berdiri di Gorontalo (Oktober 1939). Adalah Kusno Danupoyo, nasionalis Jawa yang memilih berjuang di Gorontalo di masa itu, yang bertindak sebagai Ketua (1941). Sebelumnya, GAPI juga dipimpin oleh nasionalis Jawa yang sudah lama menggerakkan pencerdasan dan publikasi-publikasi pendidikan kerakyatan, bernama Rekso Sumitro. Tercatat bahwa majalah pertama kalangan terdidik Gorontalo, Poe-Noewa, terbit pada November 1932, antara lain karena dukungan besar Rekso Soemitro (Amin, 2012).
Kehadiran “orang Jawa” dan peran jaringan (kebangsaan) yang bergejolak di Jawa membawa pengaruh sangat cepat di bumi Gorontalo. Dalam urusan ini, Jawa bukan sebagai nama suku, tetapi sebagai “ruang sejarah”; sebagai “medan cita-cita” bangsa. Itu sebabnya, bahasa Jawa tak pernah menjadi “bahasa nasional”, sama dengan bahasa daerah lainnya. Yang akhirnya disepakati adalah “bahasa dan bangsa Indonesia”. Sebuah invensi politik modern yang sangat hebat: menemukan bahasa bersama! Lebih lanjut, bersama atau dengan bahasa (nasional) itu pula kita mengisi banyak ruang kosong: pengetahuan, khasanah lokal, keragaman, dan perjumpaan lain di antara suku-suku bangsa (di Nusantara) dan bahasa-bahasa lain dari berbagai kawasan: India, Eropa dan Asia lainnya.
Dalam konsolidasi kemerdekaan Gorontalo dikenal “Komite 12”, yaitu: Nani Wartabone, R.M. Kusno Danupoyo, Oe H. Buluati, A.R Ointoe, Usman Monoarfa, Usman Hadju, Usman Tumu, A.G. Usu, M. Sugondo, R.M Danuwatio, Sagaf Alhasni dan Hasan Badjeber. Merekalah yang menyusun strategi “kemerdekaan Gorontalo” (1942) dan di kemudian hari memimpin apa yang disebut “Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG). Uniknya, di masa itu, tercatat seorang (berdarah) Tiongkhoa bernama sersan mayor Keng Hong dalam kedudukan sebagai Kepala Penghubung dalam organisasi Pertahanan Nasional (Kepolisian) di Gorontalo pasca merdeka 23 Januari. Pasukan Pengawal Kota dikomandani oleh tokoh Pandu dan terlatih militer, Kapten Ibrahim Muhammad.
Ceritanya sangat panjang. Begitu banyak nama “pahlawan Gorontalo” yang mestinya kita muliakan-setara dan kita denyutkan kembali spirit beliau. Mereka semua adalah pelaku sejarah yang heroic, berasal dari etnik, agama atau ras yang berbeda: Gorontalo, Jawa, Arab, Tiongkhoa, Minahasa, dll. Itulah yang bisa kita baca dalam publikasi resmi Yayasan 23 Januari 1942 Jakarta, “Perjuangan Rakyat di Daerah Gorontalo: Menentang Kolonialisme dan Mempertahankan Negara Proklamasi” (83 halaman), yang terbit tahun 1981. Sebuah karya kolaborasi antara IKIP Negeri Manado Cabang Gorontalo dan Yayasan 23 Januari (Jakarta, ketua: Ary Mochtar Pedju). Hebatnya, buku ini diberi (pengakuan) sepatah kata oleh Wakil Presiden R.I, Adam Malik.
Politik buruk sangka dikalahkan dengan gigih oleh politik jiwa merdeka. Tokoh besar Gorontalo, Nani Wartabone, adalah “organisator” rakyat yang tuntas-cerdas menempatkan kekuatan kebangsaan. Tak heran jika beberapa “aparat kolonial” berhasil dimanfaatkan beliau bersama-sama Kusno Danupoyo. Orang-orang seperti Pendang Kalengkongan, Ardani Ali, Achmad Tangahu, A. Paomei, dll menjadi kekuatan perlawanan yang signifikan: membocorkan rencana kolonial, merebut kantor pos, merebut senjata dan perlengkapan, memaksa dan menangkap petinggi Belanda di Gorontalo, menguasai titik-titik pelarian, pelabuhan, dst.
Kini, Kemerdekaan tahun 1942” itu hendak dimaknai seperti apa? Musuh kita adalah kelambanan kita. Kita bebal berubah. Kita suburkan tradisi basa-basi, status quo, dan mental “merampok” sumberdaya bangsa. Generasi (nyaris) lumpuh karena globalisme dan gaya hidup, serta rapuhnya keteladanan. Kita tak lagi (semata) berhadapan dengan bangsa luar (kolonial), tetapi berhadapan dengan “sesama bangsa sendiri”.
Kita masih terbiasa dengan tema pribumi dan non-pribumi, mayoritas dan minoritas, putra daerah dan pendatang, dst. Kini, nalar dikotomis, mental kelompok, dan pragmatisme jangka pendek adalah penyakit kanker kebangsaan kita. Yang mulia Nani Wartabone akhirnya mengajarkan kita tentang martabat dan ketokohan. Beliau meninggalkan semua pangkat, jabatan, dan kehormatannya. Sambil mengukuhkan sektor pendidikan di Gorontalo, hingga akhir hayatnya, Nani Wartabone (terbukti!) memilih kehormatan yang lain: menjadi Petani!. Beliau tak mau menjadi “tokoh terus-menerus” dan melupakan generasi penerus bangsanya. ***
Comment