Oleh:
Yusran Lapananda
Penulis adalah Ahli Hukum Keuangan Daerah
BEBERAPA tahun terakhir ini, beberapa daerah mengalami goncangan dalam pengelolaan keuangan daerah & uang daerah. Goncangan ini bukan saja dirasakan oleh ASN terkait gagal bayar atas THR, Gaji13, TPP THR, TPP Gaji13, sertifikasi guru & TPP bulanan, perdis & honor. Goncangan ini terasa hingga oleh Kepala Desa, perangkat desa & BPD terkait gagal bayar atas ADD & bagi hasil PDRD (pajak daerah & retribusi daerah), dll.
Pihak ketiga turut merasakan goncangan ini terkait perjanjian kontrak pekerjaan yang telah rampung namun gagal bayar termasuk harga tiket pesawat, foto copy, ATK, & spare parts, dll. Publik turut merasakan, akibat perputaran uang yang melambat, hingga pemulihan ekonomi terganggu. Inflasi tak terhindarkan. Ggoncangan ini menimbulkan kerugian materiil/immaterial yang nilainya terhitung.
Sebaliknya, hampir semua daerah baik provinsi, kabupaten & kota pengelolaan keuangan daerah & uang daerahnya baik-baik saja, lancar-lancar saja, tak gagal bayar atas hak-hak ASN, perangkat desa, & pihak ketiga serta tak mengalami goncangan sebagaimana yang dirasakan oleh beberapa daerah.
Baik buruknya, besar kecilnya goncangan & amburadulnya pengelolaan keuangan daerah & uang daerah disebabkan oleh factor internal & factor eksternal. Faktor internal, yakni: (a). Intervensi Kepala Daerah. (b). Intervensi DPRD. (c). Kemampuan SDM (Bappeda, PPKD, TAPD, Banggar & Kepala Daerah). (d). Kesalahan dalam penyusunan APBD/APBD-P. Faktor eksternal, yakni: (a). Besarnya pinjaman PEN. (b). Kapasitas fiscal daerah. (c). Kebijakan penggunaan & penyaluran DAU sesuai UU 1/2022 ttg Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat & Pemda.
FAKTOR INTERNAL
Faktor internal adalah factor utama mempengaruhi dari dalam akan goncangan & amburadulnya pengelolaan keuangan & uang daerah. Faktor ini sebagai factor yang sulit diperbaiki kecuali dilakukan secara radikal karena berkaitan dengan duit (fee), otak, & rasa.
Faktor intervensi Kepala Daerah. Dalam pengelolaan keuangan daerah, Kepala Daerah sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah mempunyai beberapa kewenangan, namun terbatas pada penetapan kebijakan, yang dalam pelaksanaan kewenangan telah dilimpahkan kepada pejabat perangkat daerah. Makna kewenangan pemegang kekuasaan bukan untuk mengintervensi pendapatan & belanja, bukan mengintervensi pembayaran THR, Gaji13, TPP THR, TPP Gaji13, TPP bulanan, sertifikasi guru, ADD & bagi hasil PDRD, dll belanja. Kewenangan ini banyak disalahgunakan oleh Kepala Daerah hingga mengintervensi dongkrak PAD, pinjaman PEN, penyusunan belanja seperti belanja modal, perdis, hibah & bansos, mengatur pembayaran pihak ketiga, jangan membayar hak-hak ASN, dll intervensi untuk “ubrak-abrik” APBD.
Faktor intervensi DPRD. Salah satu tugas fungsi DPRD adalah budgeting yang dilaksanakan dengan cara membahas KUA/PPAS, APBD, APBD-P, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Namun demikian dalam pelaksanaannya fungsi ini dimaknai hingga mengintervensi belanja khususnya pokir, hibah, bansos terlebih perdis. Ada pembiaran dari DPRD untuk membahas APBD/APBD-P terutama PAD. DPRD membiarkan dongkrak PAD oleh TAPD hingga DPRD pun terlibat dalam dongkrak PAD untuk pemenuhan pokir, hibah, bansos & perdis DPRD. Jika hasrat DPRD terpenuhi (pokir, hibah, bansos & perdis), DPRD tak perlu membahas APBD/APBD-P, jika perlu pembahasan APBD/APBD-P sehari saja.
Faktor kemampuan SDM (Bappeda, PPKD, TAPD, Banggar & Kepala Daerah). Faktor ini sangat vital dalam penyusunan kebijakan & APBD/APBD-P. Bappeda, PPKD, TAPD, Banggar & Kepala Daerah harus punya kapasitas & referensi yang mumpuni soal perencanaan penganggaran pendapatan & belanja, minimal menguasai & jika tidak, minimal membaca UU 23/2014, Permendagri 86/2017, PP 12/2019, Permendagri 77/2020, UU 1/2022, tiga UU keuangan Negara, hasil evaluasi mendagri/gubernur atas APBD, APBD-P & pertanggungjawaban pelaksanaan APBD 3 thn terakhir & masih banyak lagi regulasi terkait dengan pengelolaan keuangan daerah & uang daerah.
Sebab penghuni TAPD adalah orang-orang datang & pergi atau keluar masuk. TAPD hanya dihuni oleh karena jabatan saja bukan karena kemampuan & keahliannya. Penghuni Kepala Daerah & Banggar DPRD hanya 5 tahunan silih berganti. Bappeda & PPKD setiap saat berganti. Jika Bappeda, PPKD, TAPD dihuni oleh yang tak punya kapasitas/keahlian mudah diintervensi oleh Kepala Daerah & banggar, sehingga saat rapat untuk menentukan APBD/APBD-P “datang, duduk, diam, dengar & setuju”. Kemampuan & kompetensi ttg perencanaan penganggaran & pengelolaan keuangan daerah penting bagi banggar DPRD, jika tidak “tersantet & tersihir” oleh TAPD & yes man.
Faktor kesalahan dalam penyusunan APBD/APBD-P. Amburadulnya pengelolaan keuangan daerah & uang daerah sangat didominasi oleh kesalahan dalam penyusunan APBD/APBD-P. Kesalahan ini turut dipengaruhi oleh intervensi Kepala Daerah & DPRD serta sangat ditentukan kadar kapasitas Bappeda, PPKD & TAPD dalam menyusun & membahas pendapatan & belanja. Bappeda sebagai organ penyusun RKPD & KUA/PPAS. PPKD sebagai organ penyusun KUA/PPAS & RAPBD serta TAPD & Banggar DPRD organ yang membahas & menyetujuinya.
Namun demikian, kesalahan dalam penyusunan APBD/APBD-P dipengaruhi oleh organ yang mana, PPKD, Bappeda atau TAPD?. Yang pasti kesalahan terbesar berada pada organ Bappeda selaku penyusun RKPD atau KUA/PPAS & PPKD selaku penyusun APBD/APBD-P, sedangkan TAPD hanyalah organ yang membahas & yes man saja.
Dari sisi pendapatan, PAD didongkrak untuk mengejar belanja yang sangat tinggi yang semestinya belanja harus mengikuti pendapatan. Penganggaran PAD harus memperhatikan realisasi PAD minimal 2 thn terakhir & hasil evaluasi mendagri/gubernur atas APBD/APBD-P. Jika PAD didongkrak untuk mengejar belanja & PAD tak terealisir maka dipastikan terdapat belanja yang tak terbayar, korbannya adalah hak-hak ASN & perangkat desa (THR, Gaji13, TPP THR, TPP Gaji13, TPP bulanan, ADD & bagi hasil PDRD). Mengapa hak-hak ASN & perangkat desa korbannya sebab hak-hak ASN & perangkat desa posisi tawarnya lemah dihadapan Kepala Daerah, DPRD, PPKD & TAPD karena tak memberi kontribusi & keuntungan berupa “fee”. Sedangkan dominasi penganggaran belanja pada belanja pedis-perdisan, honor-honoran, hibah/bansos, titipan belanja modal dll yang dominan dilandasi kepentingan individu. Abaikan hak-hak ASN & perangkat desa, dll.
FAKTOR EKSTERNAL
Faktor eksternal adalah factor khusus yang mempengaruhi dari luar atas baik buruknya, besar kecilnya goncangan pengelolaan keuangan daerah & uang daerah. Faktor ini adalah factor yang turut memperburuk hinggan menjadikan pengelolaan keuangan daerah & uang daerah amburadul.
Faktor besarnya Pinjaman PEN. Besarnya pinjaman PEN merupakan factor yang sangat memperburuk goncangan & amburadulnya pengelolaan keuangan daerah & uang daerah. Hampir semua daerah yang berhutang melalui pinjaman PEN mengalami goncangan. Kepala-Kepala Daerah terjebak dengan kebijakan pinjaman PEN, tanpa memperhatikan kapasitas fiscal daerah. Daerah-daerah miskin kajian atas pengajuan pinjaman PEN.
Nafsu terdepan. Intervensi Kepala Daerah sangat dominan atas pengajuan pinjaman PEN. Kebijakan pinjaman PEN, ”bagaikan mendapat durian runtuh” bagi Kepala-Kepala Daerah. Kepentingan keuntungan “fee” yang dominan dibalik alibi pemulihan ekonomi atau demi membangun daerah. Toh, hasilnya tak memberikan kontribusi PAD bagi daerah, minim kontribusi pemulihan ekonomi & pertumbuhan ekonomi.
Semisal, pinjaman PEN sekitar 500 milyar, maka konsekuensinya adalah APBD tergadai selama 8-10 thn untuk membayar pokok, bunga, biaya provisi & biaya lainnya. Diperkirakan yang harus dikembalikan & membebani APBD setiap thn adalah 62 milyar. Akibatnya goncangan & amburadulnya menimpa. Hak-hak ASN, perangkat desa & publik tersendara oleh pengembalian pinjaman PEN setiap thn.
Faktor Kapasitas Fiskal Daerah. Setiap thn Kemenkeu merilis peta kapasitas fiscal daerah, terakhir terbit PMK 65/2024 tgl 19 September 2024 ttg Peta kapasitas Fiskal Daerah. Contoh untuk Provinsi Gtlo & kabupaten/kota se provinsi Gtlo: (a). Provinsi Gtlo, kategori Rendah, rasio 1,279. (b). Kab. Boalemo, kategori Sangat Rendah, ratio 0,784. (c). Kab. Gtlo, kategori Rendah, rasio 0,911. (d). Kota Gtlo, kategori Sedang, ratio 1,279. (e). Kab. Pohuwato, kategori Rendah, ratio 0,937. (f). Kab. Bonbol, kategori Rendah, ratio 0,967. (g). Kab. Gorut, kategori Sangat Rendah, ratio 0,818. Dari data ini, tak ada daerah berkategori tinggi atau sangat tinggi. Hampir semuanya rendah/sangat rendah, kecuali Kota Gtlo kategori Sedang. Tak pantas berhutang pinjaman PEN. Tinggi rendahnya kategori & ratio kapasitas fiscal daerah sangat dipengaruhi oleh factor intervensi Kepala Daerah/DPRD, SDM, kesalahan dalam penyusunan APBD/APBD-P & besarnya pinjaman PEN.
Faktor kebijakan penggunaan & penyaluran DAU. UU 1/2022 mengatur kebijkan penggunaan & penyaluran DAU yang akan mempengaruhi goncangan & amburadulnya pengelolaan uang daerah, jika frame berpikir Kepala-Kepala Daerah, DPRD, TAPD, PPKD & Bappeda tak menyesuaikan dengan perubahan kebijakan ini. Pada kebijakan ini, penggunaan DAU terbagi menjadi DAU BG (block grant) atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya & DAU SG (specific grant) atau DAU yang ditentukan penggunaannya yang terdiri dari DAU bidang pendidikan, kesehatan & PU, penggajian PPPK & pendanaan kelurahan. Penyalurannya, untuk DAU BG setiap bln & DAU SG bertahap. Penyaluran DAU SG bertahap sangat mengganggu masuknya penerimaan dari dana perimbangan yang berimbas pada arus kas terganggu hingga kosong & gagal bayar, apalagi PPKD/BUD & Kuasa BUD tak mampu mengelola uang daerah dari pendapatan lainnya.
Baik buruknya, besar kecilnya goncangan & amburadulnya pengelolaan keuangan daerah & uang daerah dapat diuji dari ketujuh factor diatas baik factor internal maupun eksternal. Dari ketujuh factor ini, mana yang paling dominan menjadikan pengelolaan keuangan daerah & uang daerah amburadul?. Tergantung situasi & kondisi masing-masing daerah. Apakah didominasi oleh 1 faktor saja, factor intervensi Kepala Daerah atau DPRD atau kapasitas TAPD, PPKD & Bappeda, atau terakumulasi kedalam beberapa factor atau semua factor?.(*)
Comment