Oleh:
Yusran Lapananda
Penulis adalah Ahli Hukum Keuangan Daerah
12 Desember 2022 terbitlah UU 1/2022 ttg Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat & Pemda sebagai pengganti UU 33/2004 ttg Pembagian Keuangan antara Pemerintah Pusat & Pemda & UU 28/2009 ttg Pajak Daerah & Retribusi Daerah serta mencabut beberapa Pasal dalam UU 11/2020 ttg Cipta Kerja & UU 23/2024 ttg Pemda.
UU ini berdampak pada penggunaan & penyaluran DAU. Penggunaan DAU terbagi menjadi DAU BG (block grant) atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya & DAU SG (specific grant) atau DAU yang ditentukan penggunaannya yang terdiri dari DAU bidang pendidikan, kesehatan & PU, penggajian PPPK & pendanaan kelurahan. Penyalurannya, untuk DAU BG setiap bulan & DAU SG bertahap.
Kebijakan penggunaan & penyaluran DAU ini mulai berlaku pada TA 2023. Banyak daerah yang telah mempersiapkan diri dengan berlakunya kebijakan ini, sehingga tata kelola keuangan daerahnya terkendali & tak terganggu.
Namun, terdapat daerah-daerah yang kaget dengan kebijakan ini. Daerah yang telat baca & kurang mengikuti perkembangan kebijakan dari pemerintah pusat. Daerah tak mampu beradaptasi & tak bisa mengikuti alur kebijakan ini. Akibatnya daerah-daerah ini “amburadul” dalam mengelola keuangan daerah & uang daerah. Daerah-daerah gagal bayar atas hak-hak ASN seperti TPP bulanan, THR, Gaji13, TPP THR, TPP Gaji13 dll hak ASN seperti sertifikasi guru. Gagal bayar atas hak-hak desa & perangkat desa seperti ADD & bagi hasil Pajak Daerah & Retribusi Daerah (PDRD). Gagal bayar atas kontrak dengan pihak ketiga, serta gagal bayar atas gagal bayar lainnya.
Selain itu, amburadulnya pengelolaan keuangan daerah & uang daerah diperburuk oleh salah urus pengelolaan keuangan daerah & uang daerah akibat human eror atau kesalahan manusia. Kesalahan pada TAPD, DPRD (badan anggaran), PPKD, & terutama Kepala-Kepala Daerah. Kesalahan ini akibat dari: (a). dongkrak atau mark up PAD (pendapatan asli daerah) atau pendapatan mengejar belanja. (b). besarnya pinjaman PEN daerah, tanpa memperhatikan kapasitas fiskal daerah atau KKD, akibatnya daerah dibebani membayar pokok, bunga, provisi & biaya lainnya setiap thn & bln. (c). hutang-hutang lainnya pada pihak ketiga & ASN yang menumpuk dari tahun ketahun yang tak pernah usai. (d). defisit anggaran yang berkepanjangan. (e). membludaknya anggaran belanja Pokir, Perdis & Hibah yang tak terukur & “mengada-ada”. (f). DAU BG “disalahgunakan” menjadi belanja bidang PU, kesehatan & pendidikan, padahal anggaran belanja ini telah teralokasi kedalam DAK, DAU SG maupun DID, dll. (g). salah dalam menyusun APBD/APBD-P akibat intervensi politik Kepala Daerah & DPRD. (h). salah menyusun APBD oleh TAPD, DPRD, PPKD/BUD & terutama Kepala-Kepala Daerah.
Secara sepihak atas amburadulnya pengelolaan keuangan daerah & uang daerah Pemda-Pemda beralasan, akibat pendanaan Pilkada 2024, COVID-19, hingga KKD (kemampuan keuangan daerah), padahal KKD, frasa untuk penganggaran bukan untuk pembayaran.
APBD 2025, PULIHKAN APBD AMBURADUL
Salah satu penyebab amburadulnya pengelolaan keuangan daerah & uang daerah akibat salah dalam menyusun APBD dengan mendongkrak & memark up pendapatan khususnya PAD terutama PDRD. Mendongkrak & memark up PAD karena intervensi Kepala Daerah & DPRD atas besarnya belanja, sehingga pendapatan harus didongkrak untuk menutup tingginya belanja. Selain itu, akibat dari human error TAPD terlebih Bappeda & PPKD.
Melalui penyusunan APBD 2025, saatnya memulihkan pengelolaa keuangan daerah & uang daerah dengan menyusun pendapatan terutama PAD secara riil, cermat & akurat dengan memperhatikan realisasi PAD selama 2 thn terakhir dengan mengabaikan perhitungan “akal-akalan” potensi PAD khususnya PDRD, tanpa mark up & dongkrak PAD. Untuk belanja, menekan & mengurangi sedemikian rupa belanja pokir-pokiran, hibah-hibahan, terlebih belanja “jalan-jalan” alias perdis-perdisam yang lebih memberi keuntungan bagi daerah yang dituju. Misalkan anggaran belanja perdis-perdisan 60 Milayar selang 2 TA terakhir ditekan & dikurangi hingga 50% menjadi 30 Milyar. Hibah-hibahan dinolkan kecuali hibah karena regulasi.
APBD 2025 adalah moment paling tepat untuk memulihkan pengelolaan keuangan daerah & uang daerah yang amburadul. Sebab tak ada lagi kepentingan politik & intervensi Kepala Daerah (Gubernur, Bupati & Walikota) dalam penyusunan APBD. Belum ada kepentingan politik DPRD baru untuk pokir-pokiran sebab aspirasi pokir tahun 2025 belum tersusun dalam perencanaan anggaran yang paling lambat tersusun pada akhir Desember 2023 & paling lambat saat musrenbang awal thn 2024.
Mengapa tak ada intervensi & kepentingan politik Kepala Daerah, sebab saat ini semua daerah Kabupaten/Kota & Provinsi dijabat oleh Pj, Plt, & Pjs. Banyak Kepala Daerah yang sudah 2 periode & masa jabatannya sudah akan berakhir pada Desember akhir sejak dilantiknya Kepala Daerah yang baru. Jika masih ada intervensi Kepala-Kepala Daerah atas penyusunan APBD 2025, pertanda APBD telah tergadaikan.
Moment akhir 2024, September-30 Nopember adalah siklus penyusunan, pengajuan, pembahasan, & penetapan APBD 2025 saat Kepala-Kepala Daerah telah dijabat oleh Pj, Plt & Pjs, sehingga penyusunan APBD dengan belanja yang sangat normatif & PAD yang realistis jika perlu PAD normatif bukan optimis apalagi konservatif.
Jika APBD 2025 masih amburadul. Pendapatan tak normatif atau tak realistis, didongkrak & dimark up serta penganggaran belanja jadi-jadian, hibah-hibahan, pokir-pokiran, perdis-perdisan yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya, hal ini pertanda Pj, Pjs, & Plt terkena “santet” atau “sihir” TAPD, sehingga TAPD perlu diruqyah otak, hati & rasa, sebab tak ada upaya & usaha untuk memperbaiki pengelolaan keuangan daerah & uang daerah yang amburadul. Yang perlu diruqyah berulang-ulang adalah Bappeda, organ yang menyusun RKPD & KUA/PPAS serta PPKD organ yang menyusun RAPBD.
Pj, Pjs & Plt tak ada kepentingan politik & kepentingan “fee” dalam APBD 2025 karena semuanya akan berakhir setelah APBD ditetapkan. Jika Pj, Pjs, & Plt tak ada kepentingan dalam APBD 2025, apakah Kepala-Kepala Daerah lama, TAPD & DPRD yang berkepentingan?. Yang berkepentingan atas APBD 2025 bukan Pj, Pjs, & Plt, tapi yang paling berkepentingan adalah Kepala Daerah baru, Kepala Daerah terpilih hasil Pilkada serentak 2024 yang akan dilantik pada akhir Desember 2024 atau paling lambat Februari 2025, guna pemenuhan program & janji-janji saat kampanye.
AKURASI PENDAPATAN ASLI DAERAH
Menurut PP 12/2019 ttg Pengelolaan Keuangan Daerah, pendapatan daerah terdiri dari: PAD, pendapatan transfer & lain-lain pendapatan daerah yang sah. PAD meliputi: PDRD, & hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan & lain-lain pendapatan yang sah.
Untuk menyusun PAD PDRD terdapat 5 strata, yakni pesimis, normatif, realistis, optimis & konservatif. Untuk memulihkan APBD yang amburadul cukup menggunakan normatif atau realistis, tinggalkan strata optimis & konservatif apalagi mendasarkan pada potensi-potensian. Misalnya, jika penerimaan 2 thn terakhir PDRD realissasi 40 Milyar, maka rencana pendapatan dari PDRD pada strata normatif cukup menganggarkan 40 Milyar tanpa mendongkraknya. Jika strata realistis cukup menambah 2,5-5% saja, hingga 41-42 Milyar saja. APBD pasti sehat?, ya.
Begitu pula menghitung & menyusun PAD dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan & lain-lain PAD yang sah seperti: hasil penjualan atau pemanfataan BMD yang tidak dipisahkan. hasil kerja sama daerah. jasa giro. hasil pengelolaan dana bergulir, pendapatan bunga, penerimaan atas TGR, penerimaan komisi, potongan, atau bentuk lain, penerimaan dari hasil pemanfaatan barang daerah atau kegiatan lainnya, pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, pendapatan denda PDRD, pendapatan hasil eksekusi atas jaminan, pendapatan dari pengembalian, pendapatan dari BLUD, dll.
Menghitung & menyusun PAD dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan & lain-lain PAD yang sah dihitung & disusun secara normatif saja & jikalau terjadi pelampauan atas rencana pendapatan dirubah & digunakan pada Perubahan APBD.
Begitu pula menghitung & menyusun pendapatan transfer yakni: DAU, DBH, DAK, Insentif Fiskal, dana desa, cukup dihitung & disusun secara normatif berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang mengaturnya seperti PERPRES & PMK.
AKIBAT PENDAPATAN MENGEJAR BELANJA
Untuk menjadikan APBD 2025 sehat, tak amburadul lagi, pendapatan harus disusun dengan rencana yang normatif saja atau paling tinggi realistis. Tinggalkan menghitung & menyusun APBD dengan strata optimistis apalagi konservatif.
Jika pendapatan terlebih PAD dihitung & disusun pendapatan mengejar belanja, maka hal ini akan menganggu arus kas. Uang pada kas daerah kosong & setiap tagihan menunggu masuknya uang pada kas daerah, sehingga tagihan antrian hingga pada akhir tahun banyak belanja tak terbayar akibat realisasi pendapatan tak terealisir.
Semoga Kepala-Kepala Daerah, TAPD, Banggar & DPRD, PPKD, Pjs, Pj, Plt paham & mengerti atas ilmu pengetahuan ttg pendapatan & belanja. Diberi kemampuan berfikir sehat dalam menghitung & menyusun APBD 2025 yang sehat. Diberi kekuatan dalam membaca berbagai referensi & Keputusan hasil evaluasi Gubernur/Mendagri atas APBD, APBD-P & pertanggungjawaban pelaksanaan APBD untuk 3 thn terakhir sehingga bagaikan “katak keluar dari tempurung melihat terangnya dunia”.
Dengan APBD yang sehat, akhiri penderitaan ASN, perangkat desa, guru-guru, pihak ketiga pelaksana kontrak pekerjaan, pihak ketiga lainnya, terlebih masyarakat umum.(*)
Comment