Penggantian Pejabat & Penggisian Kekosongan Jabatan Menurut UU Pilkada

Oleh:
YUSRAN LAPANANDA
Penulis adalah Ahli Hukum Administrasi Publik

KEBIJAKAN demi kebijakan Kemendagri memberi ruang beragam makna, menimbulkan debat tanya hingga mengandung makna yang salah. Salah satunya adalah kebijakan soal Pilkada dalam aspek kepegawaian, berupa penegasan soal penggantian pejabat atau mutasi pejabat & pengisian kekosongan jabatan dalam masa Pilkada 2024 yang dirumuskan dalam Surat Mendagri No : 100.2.1.3/1575/SJ tgl 29 Maret 2024 perihal Kewenangan Kepala Daerah pada Daerah yang Melaksanakan Pilkada dalam Aspek Kepegawaian.

Dalam surat ini, terdapat hal-hal yang selaras dengan UU No 10/2016 ttg Pilkada, seperti pada angka 3 huruf c angka 3) tertulis, pengisian kekosongan jabatan dapat diangkat Pelaksana Tugas (plt) dengan mempedomani SE Kepala BKN No 1/SE/I/2021 ttg Kewenangan PLH & PLT dalam Aspek Kepegawaian yang penetapannya tak butuh persetujuan Mendagri.

Selain itu, isi surat yang selaras dengan UU Pilkada, pada angka 3 tertulis, mulai tgl 22 Maret 2024, Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah baik yang mencalonkan maupun tidak mencalonkan dalam Pilkada termasuk Penjabat (Pj), Penjabat Sementara (Pjs), Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur atau Bupati/Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat atau mutasi pejabat kecuali mendapat persetujuan tertulis Mendagri.

Namun demikian, dalam surat Mendagri ini terdapat beberapa hal yang menimbulkann kekacauan dalam pemaknaannya, antara lain: (a). pada angka 3 huruf c angka 1) & 2) tertulis, penggantian pejabat struktural, pejabat pimpinan tinggi madya & pratama, pejabat administrasi & pengawas serta pejabat fungsional (Kepala Puskesmas & Kepala Sekolah) dilaksanakan melalui uji kompetensi untuk mutasi antar jabatan dan/atau seleksi terbuka untuk mengisi kekosongan jabatan dengan mempedomani PP No 11/2017 & SE MENPAN & RB No 19/2023 & sebelum pelaksanaan uji kompetensi dan/atau seleksi terbuka agar terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis Mendagri.

Pada angka 3 huruf c angka 5) tertulis, dalam hal pengangkatan Penjabat SEKDA agar mempedomani PERPRES No 3/2018 ttg Penjabat SEKDA & Surat Mendagri No 821/2893/SJ tgl 11 Mei 2018 hal persetujuan tertulis pengangkatan & pelantikan Penjabat SEKDA Kabupaten/Kota.

Surat ini menjadi tak selaras & tak berkesesuian dengan makna pengisian kekosongan jabatan & penggantian pejabat atau mutasi pejabat menurut UU Pilkada pada masa Pilkada serentak 2024. Menurut penjelasan Pasal 71 ayat 2 UU Pilkada, jika terjadi kekosongan jabatan, maka Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah baik yang mencalonkan maupun tidak mencalonkan dalam Pilkada termasuk Pj, Pjs, Plt Gubernur atau Bupati/Walikota cukup menunjuk pejabat pelaksana tugas (plt), bukan mengisi kekosongan jabatan dengan seleksi terbuka atau uji kompetensi.

Yang dibolehkan menurut Pasal 71 ayat 2 UU Pilkada adalah penggantian pejabat atau mutasi pejabat sepanjang beroleh persetujuan tertulis dari Mendagri. Makna penggantian pejabat menurut penjelasan Pasal 71 ayat 2 UU Pilkada hanya sebatas pada mutasi, bukan untuk melakukan penggantian pejabat melalui seleksi terbuka.

Beberapa isi surat ini menimbulkan salah pemaknaan oleh daerah-daerah dalam pelaksanaannya. Bukan itu saja, pemaknaan ini akan disalahgunakan oleh Kepala Daerah maupun Pj, Pjs, Plt Gubernur atau Bupati/Walikota dalam mengisi kekosongan jabatan & penggantian/mutasi pejabat.

Jika kesalahan makna ini diupayakan pemaksaan oleh Kepala Daerah maupun Pj, Pjs, Plt Gubernur atau Bupati/Walikota akan menimbulkan pelanggaran atas peraturan perundangan Pilkada & keputusan atau kebijakan yang ditempuh atau dilaksanakan mengandung & berpotensi cacat hukum & tidak sah serta menjadi objek gugatan pada lembaga peradilan maupun lembaga-lembaga lain.

PENGGISIAN KEKOSONGAN JABATAN & PENGGANTIAN/MUTASI PEJABAT

Dalam UU Pilkada pada masa Pilkada serentak 2024 terdapat ketentuan yang membelenggu & “memenjarakan” hasrat Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah baik yang mencalonkan maupun tidak mencalonkan dalam Pilkada termasuk Pj, Pjs, Plt Gubernur atau Bupati/Walikota untuk tidak melakukan atau melakukan sesuatu dalam aspek kepegawaian. Ketentuan dimaksud adalah ketentuan Pasal 71 ayat 2 UU Pilkada, yakni larangan melakukan penggantian pejabat kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri & pengaturan pengisian kekosongan jabatan mulai tgl 22 Maret 2024 hingga akhir masa jabatan atau dilantiknya Kepala Daerah & Wakil Kepala Daerah hasil Pilkada serentak.

Dalam Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada terdapat 2 makna, yakni: (a). Kepala Daerah petahana maupun bukan petahana dilarang melakukan mutasi atau penggantian pejabat. Jika melakukan mutasi atau penggantian pejabat dalam masa Pilkada harus mendapat persetujuan tertulis Mendagri. (b). Jika terjadi kekosongan jabatan, maka Kepala Daerah petahana maupun bukan petahana menunjuk Plt bukan melakukan seleksi terbuka atau uji kompetensi.

Surat Mendagri Nomor: 100.2.1.3/1575/SJ tgl 29 Maret 2024 tak selaras & tak berkesesuaia, malahan sangat bertentangan dengan makna yang diatur dalam Pasal 71 ayat 2 UU Pilkada. Pada esensinya, surat ini memberi ruang kepada daerah-daerah & daerah salah memaknainya. Dalam surat ini, jika terjadi kekosongan jabatan dapat dilakukan pengisian melalui seleksi terbuka atau uji kompetensi, padahal menurut UU Pilkada jika terjadi kekosongan jabatan maka Gubernur, Walikota & Bupati termasuk Pj, Pjs, Plt, cukup menunjuk plt saja & tidak dibenarkan mengisi kekosongan jabatan melalui seleksi terbuka atau uji kompetensi atau melalui proses pengangkatan Pj SEKDA.

Begitu pula, surat ini memberi ruang kepada daerah-daerah & daerah salah memaknai, boleh melalukan penggantian pejabat atau mutasi pejabat dengan mekanisme melakukan seleksi terbuka atau uji kompetensi & harus beroleh terlebih dahulu persetujuan tertulis Mendagri. Padahal menurut UU Pilkada, Kepala Daerah petahana atau bukan termasuk Pj, Pjs, & Plt dapat melakukan mutasi atau penggantian pejabat tanpa harus melakukan seleksi terbuka atau uji kompetensi asal beroleh persetujuan tertulis dari Mendagri.

MAKNA SURAT MENDAGRI DALAM PEDOMAN TATA NASKAH DINAS

Surat Mendagri telah menganalogi hingga memperluas makna ketentuan Pasal 71 ayat 2 UU Pilkada. Rumusan memperluas makna yang diatur dalam surat Mendagri merupakan suatu pelanggaran dalam pembentukan peraturan perundang-undangan & pelanggaran atas pengaturan atas pedoman tata naskah dinas yang diatur dalam Peraturan Kepala Arsip Nasional No 2/2014.

Surat Mendagri ini hanyalah bagian dari naskah dinas korespondensi ekstern atau surat dinas sebagai naskah dinas pelaksanaan tugas seorang pejabat dalam menyampaikan informasi kedinasan kepada pihak lain diluar lembaga yang bersangkutan.

Berbeda jika surat mendagri ini dibuat dalam jenis naskah dinas arahan atau naskah dinas pengaturan dalam format surat edaran. Naskah dinas arahan adalah naskah dinas yang memuat kebijakan pokok atau kebijakan pelaksanaan harus dipedomani dan dilaksanakan dalam penyelenggaraan tugas dan kegiatan setiap lembaga yang berupa produk hukum yang bersifat pengaturan, penetapan dan penugasan. Naskah dinas pengaturan seperti peraturan perundang-undangan, pedoman, petunjuk pelaksanaan, instruksi, SOP dan surat edaran.

Mengapa surat Mendagri ini tak dibentuk atau tak dirumuskan kedalam surat edaran sehiungga apa yang menjadi isi dari surat edaran menjadi peraturan kebijakan atau kebijakan pokok atau kebijakan pelaksanaan?. Pada Pilkada 2020 pengaturan hal yang sama diatur dalam SE Mendagri No 273/487/SJ tgl 21 Januari 2020 ttg Penegasan & Penjelasan Terkait Pelaksanaan PILKADA Serentak Tahun 2020.

Dalam SE Mendagri rumusan isinya selaras dengan ketentuan Pasal 71 ayat 2 UU Pilkada dengan memaknai a contrario bukan analogi. Penggantian pejabat pemaknaannnya dipersempit (a contrario) hanya untuk mengisi kekosongan jabatan melalui seleksi terbuka & tidak melakukan mutasi/rotasi jabatan. Pengisian kekosongan jabatan melalui seleksi terbuka dapat dilakukan yang prosesnya dilakukan sebelum 6 bulan sebelum penetapan paslon. Jika sudah dalam ketentuan 6 bulan sebelum penetapan paslon maka pengisian kekosongan jabatan dilakukan dengan menunjuk plt.

Sehingga, antara kedudukan hukum & kekuatan makna yang terkandung dalam Surat Dinas (Surat Mendagri Nomor: 100.2.1.3/1575/SJ tgl 29 Maret 2024) dengan Surat Edaran (SE Mendagri No 273/487/SJ tgl 21 Januari 2020) berbeda dalam pelaksanaannya.

EFEK PENGGANTIAN/MUTASI PEJABAT & PENGGISIAN KEKOSONGAN JABATAN TAK SESUAI UU PILKADA

Apabila Kepala Daerah maupun Pj, Pjs, Plt Gubernur atau Bupati/Walikota nekat melakukan penggantian/mutasi pejabat dalam jangka waktu 6 bulan sebelum penetapan paslon hingga berakhirnya masa jabatan tanpa persetujuan tertulis Mendagri konskuensinya adalah Keputusan Mutasi batal demi hukum atau dibatalkan oleh Mendagri & petahana disanksi dibatalkan sebagai paslon & Pj, Pjs, & Plt mendapat sanksi sesuai regulasi..

Apabila Kepala Daerah maupun Pj, Pjs, Plt Gubernur atau Bupati/Walikota melakukan pengisian jabatan melalui seleksi terbuka & melandaskan pada Surat Mendagri maka Keputusan pengangkatan & pelantikan mengandung & berpotensi cacat hukum & tidak sah serta menjadi objek gugatan pada lembaga peradilan maupun lembaga-lembaga lain, sebab UU Pilkada hanya mengatur pengisian kekosongan jabatn melalui penujukan plt.

Tersirat dalam UU Pilkada pengisian kekosongan jabatan menjadi lingkup hak Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah hasil Pilkada 2024.(*)

Comment