Demokrasi Dan Politik Biaya Tinggi

oleh :
Hamka Hendra Noer

Betulkah demokrasi kita memerlukan politik biaya tinggi? Dahl mengingatkan kita bahwa dalam demokrasi rakyat adalahsubjek dan objek yang menjadi agent utama dalam demokrasi.Secarakonseptual berarti kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat dengan tujuan untukmembentuk sebuah konsep negara welfare state atau negara kemakmuran (Dahl, 1989, p. 32).

Dalam demokrasi dikenal ada prosedurpemilihan politik yang kemudian menjadi alat dalam merebut kekuasaan ataumempertahankan kekuasaan. Pertanyaannya, bagaimana prosedur politik dalam demokrasi? Semisal pilpres yangdilakukan secara langsung dan pilegsecara langsung baik tingkat pusatsampai daerah. Begitu juga pilkada secara langsung baik tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten dan Kota.

Dalam pelaksanaan demokrasi akan menciptakan politik yang berbiaya tinggi atau dalam bahasa lain disebut high cost politics. Seringkali kita temui setiap pemilihan baik pilpres, pileg atau pilkada adalah mereka yang secara ekonomi sudah mapan atau siap dari aspek keuangan. Sehingga bisa disimpulkan secara sederhana bahwa demokrasi memberi ruang yang sebesar-besarnya bagi mereka yang mempunyai uang berlebih untuk bermain dalam kontestasi demokrasi.

Jarang sekali orang atau calon dengan kondisi ekonomi “ala kadar-nya” maju sebagai calon dalam sebuah pilkada, pileg dan lain sebagainya—sudah dapat dipastikan akan kalah. Pertanyaan kemudian adalah kenapa demokrasi memunculkan iklim politik biaya tinggi? Ini kemudian menjadi hal yang biasa dan transparan dalam demokrasi kita apabila seorang tokoh politik dalam berkontestasi menghabiskan biaya yang cukup besar atau berbiaya tinggi. Mulai dari pembentukan tim sukses, alat peraga kampanye, rekomendasi partai dan paling besar yakni soal money politicsyang masih ada dalam perhelatan demokrasi di Indonesia.

Dalam tulisan ini, penulis ingin menganalisis sebab dan dampak dari politik biaya tinggi yang timbul dari parade demokrasi yang ada di negara kita. Ini perlu dikaji karena demokrasi adalah suatu sistem yang dekat dengan kita. Demokrasi adalah suatu “nyawa politik” yang hari ini berhembus kencang hampir di banyak negara didunia. Apabila pragmatisme ini dibiarkan berlarut, maka korban yang sesungguhnya adalah rakyat kita sendiri. Sehingga demokrasi juga bisa memajukan rakyat dan juga bisa menjadi penyebab kemunduran rakyat.

Pragmatisme Politik Dalam Demokrasi

Fukuyama (1992) dalam “The End of Ideology”, menyimpulkan bukanlah eksistensi ideologi telah berakhir, melainkan berakhirnya tantangan ideologis bagidemokrasi liberal dan kapitalisme pascaruntuhnya benteng diktatorial dan komunisme di UniSoviet. Bagi Fukuyama, kejatuhan komunisme telah memantapkan posisi demokrasi liberalsebagai ideologi dominan yang menjadi episentrum ideologis tanpa lawan yangberarti, sebagai ujung dari perjalanan sejarah manusia.

Konsep “telah berakhirnya ideologi” dapat diterapkan di Indonesia dalam konteksterbatas. Masyarakat tidak lagi menempatkan ideologi sebagaiacuan manakala melakukan ritualpolitik saat masuk dalam bilik-bilik suara, juga saat melakukan kampanye untuk mendapatkansuara. Masyarakat cenderung terlihat menjadi lebih pragmatis dalam berpolitik. Kehadiran sikappragmatis tersebut pada akhirnya cukup mengesampingkan perhitungan-perhitungan yang lebihnormatif, termasuk di dalamnya perhitungan atas dasar norma kebudayaan, kepercayaan ataualiran politik yang kemudian kerap juga disebut sebagai ideologi politik. Dengan demikian,ideologi politik tampak tidak lagi menjadi elemen yang cukup kuat untuk menjadi rujukanperilaku politik baik partai politik maupun masyarakat kebanyakan.

Kita lihat studi yang dilakukan oleh Mujani dan Liddle (2010),misalnya, mengindikasikanbeberapa faktor menentukan perilaku pemilih yang terjadi dalam tiga kali pemilu terakhir.Menurut mereka, figuritas dan rasa kedekatan dengan partai tertentu merupakan faktor-faktoryangmenentukan perilaku memilih pada pemilu. Studi ini menyimpulkanbahwa pada pemilu, pemilih lebih dipengaruhi oleh media, kondisi ekonomi, dan evaluasi terhadap kinerja pemerintah (Mujani dan Liddle 2010, p. 97).

Studi dari dua ahli politik ini—yang secara kontinum sejak awalreformasi memotret perilaku politik masyarakat dalam pemilu—mengukuhkan pandangan yangmelihat bahwa politik aliran atau ideologi politik memainkan peran terbatas dalam menentukanperilaku politik. Masyarakat saat ini semakin melihat hal-hal di luar itu, termasuk lebih melihatpilihan-pilihan kebijakan dan performa pemerintah dalam menjatuhkan pilihan politiknya.

Dalam konteks pemilu legislatif misalnya, masyarakat didekati oleh partai politikdengan menggunakan pendekatan yang bersifat pragmatis. Simbol-simbol ideologis tetapada, namun sudah semakin minim. Sistem proporsional terbuka yang mengharuskan kandidatuntuk mendekati masyarakat secara langsung, makin menguatkan kenyataan ini. Banyakcalegyang menyadari bahwa mereka kurang dikenal, kemudian menggunakan caracepat untuk dapat terkenal dan menarik perhatian masyarakat. Misalnya, memberikan sesuatuyang konkret kepada masyarakat, seperti; pemberian kebutuhan bahan pokok sembako, melakukankegiatan sosial yang sifatnya gratis, pembagian hadiah melalui kegiatan amal atau kompetisi olahraga, mengadakan pertunjukan hiburan rakyat, bahkan ada pula yang langsung memberikanuang kepada masyarakat.

Dalam beberapa kasus pertunjukan hiburan rakyat, yang biasanya menghadirkanpenyanyi dangdut dan pelawak, menjadi ajang “bagi-bagi” uang. Pola pendekatan seperti itu,dapat menyebabkan nuansa politik uang demikian menggejala. Lembaga anti korupsi sepertiIndonesian Corruption Watch (ICW), misalnya, mencatat bahwa setiappemilu, calegmerupakan aktor utama (82%) dari pelaku politik uang dalam membeli suara (votebuying).

Di sisi lain, mengedepankan ideologi menjadi semakin jarang terjadi, mengingatmasyarakat memang juga semakin pragmatis atau tidak mempedulikan hal itu. Hasil kajianMujani dan Liddle (2010, p. 98), sekali lagi dapat dilihat sebagai pembuktian dari tren perilaku politikyang digerakkan oleh hal-hal di luar ideologi. Saat ini masyarakat cenderung tidak tabu lagiuntuk mengaitkan kemampuan seorang politisi yang memberikan hasil konkret terutama berupapembangunan fisik, pembagian sembako atau pemberian uang tunai di suatu wilayah, pada saat menjelang pemilu dengan kelayakan untukdipilih.

Dalam penelitian LIPI pada pemilu 2019,  hasilnya 40 persen responden menerima uang dari para peserta pemilu tetapi tidak mempertimbangkan untuk tetap memilih mereka. Sementara, 37 persen lainnya mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan si pemberi untuk dipilih. Jadi pragmatisme politik uang menjadi sesuatu yang tidak menjadi masalah bagi masyarakat dalam sebuah kontestasi pemilu. Tidak mengherankan jika diantara mereka masih ada yang menerima pemberian uang dari para peserta pemilu, meskipun belum tentu mereka memilih yang memberi uang itu.

Politik Biaya Tinggi

Politik transaksional adalah pembagian kekuasaan politik atau pemberiandalam bentuk barang, uang, jasa, maupun kebijakan tertentu yang bertujuan untukmempengaruhi seorang atau kelompok untuk mendapatkan keuntungan tertentu berdasarkankesepakatan politik yang dibuat oleh beberapa partai politik atau elite politik. DiIndonesia politiktransaksional lebih dikenal sebagai istilah yang lebih diidentikan dengan pemilu. Politiktransaksional diartikan sebagai pemberian janji tertentu dalam rangka mempengaruhi pemilih.Namun, dari banyaknya definisi yang ada, politik transaksional merupakan istilah orangIndonesia untuk menerangkan semua jenis praktik dan perilaku korupsi dalam pemilu mulai darikorupsi politik, membeli suara (vote buying) hingga kegiatan haram (racketeering) (Maretha, 2020).

Untuk menerangkan hal ini, kita perlu memahami konsepsi transaksional dan politik uang dari para ahli. Boissevain (1978) coba menerangkan, transaksional adalah hubunganpertemanan atau persaudaraan dalam setiap pendekatan untuk memenuhi permintaan. Faktorpersahabatan adalah penting dan jadi keutamaan. Pada kondisi tertentu pendekatantransaksional meletakkan peran individu lebih dominan, dan tidak terikat kepada peraturanatausistem.Lanjut Boissevain, pendekatan transaksional terdapatpada peraturan normatif dan pragmatif. Peraturan normatif menggariskanpanduan umum terhadap tingkah laku anggota masyarakat, membentuk peraturan umum yangformal dan unggul dalam masyarakat. Sedangkan peraturan pragmatik adalahperaturan permainan atau tidak melanggar norma.

Begitupun Aspinal dan Sukmajati (2016) menerangkanpolitik uang merupakan kebijaksanaanatau tindakanmemberikan sejumlah uang kepada pemilih atau pimpinan partai agar masuk sebagai calonkepala daerah yang definitif danatau masyarakat pemilih memberikan suaranya kepada calontersebut, yang memberikan bayaran atau bantuan. Istilah money politicsendiri adalah upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat jugadiartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan serta tindakan membagi-bagikan uangbaik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih (voters).

Pengertian ini secara umum ada kesamaan dengan pemberian uang atau barang kepadaseseorang, karena memiliki maksud politik yang tersembunyi dibalik pemberian itu.Strategisemacam ini mulai berkembang pada Pemilu 2004. Adapun bentuk dari politik transaksional(money politic) dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako (beras,minyak dan gula) dan barang-barang lainnya kepada masyarakat dengan tujuan untuk menariksimpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan.

Masyarakat akan mendukung,asalkan terdapat imbalan terhadap dukungan yang diberikan itu. Misalnya, masyarakat mauberkampanye asalkan mendapatkan uang transpor, memperoleh pakaian dan imbalan-imbalanmaterial lainnya dan terkadang ada juga yang menerima imbalannya tetapi pada saatpemilihan berlangsung tidak memilih calon yang memberikan imbalan tersebut. Hal inidikarenakan mereka hanya menginginkan materinya saja.

Selama rentang waktu tahun 2005 sampai sekarang demokrasi Indonesia di tingkat lokalmengalami dinamika yang cukup signifikan. Sepanjang periode tersebut masyarakatditingkatlokal, mulai dari Provinsi, Kabupaten, dan Kota memilihpemimpin melalui pemilihan umum secara langsung. Dan proses pilkada langsung 2024 telahmenyita perhatian publik, partai politik, dan para kontestan dengan menyedot anggaran negara sebesar 41 triliunan rupiah (Kompas, 10/07/2024).

Namun dalam setiap penyelenggaraan pilkadalangsung secara serentak, selalu menuai pro dan kontra dibeberapakalangan, baik politisi, praktisi pemerintahan, akademisi politik dan pemerintahan maupunmasyarakat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa masalah yang muncul dalam penyelenggaraanpilkada langsung tersebut, seperti terjadinya pemborosan anggaran (tidak efisien),kepaladaerah hasil pilihan rakyat sering tidak menampakkan ketidaksesuaian janji yang disampaikansaat kampanye, bahkan banyak kepala daerah yang tersandung kasus korupsi karena tindakanpelanggaran hukum yang dilakukan.

Berbagai permasalahan yang muncul tersebut secara komprehensif dapat dilihat melaluiperspektif politik transaksional, yang sudah menampakkan gejalanya setiap pelaksanaan pilkada serentak. Hal tersebut dapat ditelusuri dari mulai proses pengajuan usulan calon diinternal partai politik hingga tahapan-tahapan pilkada yang telah berjalan sampai saat ini.Adanya politik transaksional dalam pilkada, dampaknya tidak hanya sampai proses pilkadaselesai atau pada hasil pemenangan pilkada, namun akan berdampak pada prosespenyelenggaraan pemerintahan hasil pilkada tersebut yang juga ditengarai tidak akan berjalanefektif. Rumus politiknya, kepala daerah harus bekerja “ekstra” mengelola pemerintahan untuk mengembalikan uang yang dikeluarkan selama pilkada.

Jadi, demokrasi sesungguhnya jalan ideologis untuk mencari pemimpin yangberkualitas, rakyat sebagai pemilih yang berkuasa atas demokrasi. Sejatinya,demokrasi memberikan peluang bagi siapa saja untuk bisa menjadi pemimpin. Demokrasi juga erathubungannya dengan keterbukaan, keadilan, egaliter, transparansi dan lain sebagainya.Demokrasi tidak hanya menyajikan konsep-konsep ideal tentang bernegara, namun harusmemberikan dampak luar biasa terhadap konsep bernegara itu sendiri. Politik biaya tinggi yangmuncul akibat proses elektoral (prosedur) dalam demokrasi memberikan ruang dan jalanpragmatisme yang tidak bisa dihindari.

Politik pragmatis dan transaksional lebih dominan daripada adu ide dan gagasandalam bernegara. Sungguh suatu hal yang sulit untuk dihindari, alih-alih menciptakanpemimpinyang kapabel, senyatanya demokrasi yang berbiaya tinggi menyebabkanterjadinya banyakkorupsi baik di tinggkat pusat sampai daerah. Kondisi pragmatis ini tidak hanya disebabkan olehmentalitas politikus kita, tapi ada kecenderungan bahwa masyarakat juga semakinberpikir pragmatis dalam politik. Muncul kemudianistilah vote buying, money politicsdan lainnya. Hal ini makin memperparah kondisi politik kita hari ini.

Tentu apabila hal ini dibiarkan begitu saja, maka negara dan nasib rakyat Indonesiakedepannya akan dipertaruhkan. Hari ini demokrasi yang kita anut selayaknya sudah harus dievaluasi secara komprehensif.Bukan berarti demokrasi itutidak baik, namun setiap pelaksanaan dalam berdemokrasi itulah yang semestinya kita evaluasi. (*)

Penulis adalah Dosen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta

 

Comment