Oleh :
Anang S. Otoluwa
APA yg terlintas dalam pikiran Anda bila mendengar “Bunga Desa”? Yang jawab gadis cantik, betul. Yang membayangkan perawan, tidak salah. Yg bilang wanita idaman, juga tidak apa-apa. Semua sah-sah saja.
Bunga Desa memang sebuah kiasan untuk melukiskan seorang perawan cantik yang tinggal di desa. Dia menjadi magnet bagi orang-orang utk berkunjung ke desa. Bayangkan, ada gadis muda, cantik, masih perawan lagi. Siapa tak tertarik?
Di tahun 1988, Rhoma Irama membuat personifikasi Bunga Desa dgn bagus sekali. Lewat filmnya, Rhoma memilih Ida Iasha berperan sebagai Bunga Desa. Siapa tak kenal Ida Iasha ini?
Namanya wangi, sewangi iklan sabun mandi yang dia bintangi. Bagi yang berusia muda saat itu, susah melupakan kecantikan dia ini. Sampai kini, sepertinya belum ada yang bisa menandingi. Termasuk Bunga Citra Lestari.
Tapi, saya tdk ingin berlama-lama disini. Takut pembaca jadi lupa diri.
Bunga Desa yang akan saya ceritakan lebih lanjut, lain lagi. Ini adalah nama sebuah inovasi dari Kabupaten Bone Bolango. Dari Sekdiskes Bonbol saya mendengarnya pertama kali.
Bunga Desa adalah akronim dari Bupati ngantor di Desa. Pemilihan nama ini kreatif sekali. Mirip Bunga Desa, inovasi ini bertujuan membuat org tertarik ke desa. Tokohnya adalah Bupati. Kebetulan perempuan. Cantik lagi.
Layaknya Bupati, ngantornya ya di kantor kabupaten. Tapi Bupati Bonbol tak ingin banyak menghabiskan waktunya di sini. Jauh dari rakyat katanya. Sepi. Karena itu, lahirlah ide ini. Bupati, maunya terjun langsung ke tengah-tengah rakyatnya. Bukan untuk membangun citra diri, tapi melayani.
Dalam pelayanan kesehatan misalnya, Bupati memberi bukti. Posyandu2 dia sambangi. Di foto-foto yg dikirimkan ke saya, terlihat Bupati memberikan penyuluhan kepada ibu hamil.
Mencoba melakukan pengukuran tinggi badan anak balita. Demikian pula kepada calon pengantin, ibu Bupati ikut menasehati soal pentingnya memperbaiki asupan gizi, demi baiknya generasi nanti.
Yang pasti, saat ke desa, Bupati tidak datang sendiri. Seperti Bunga Desa, dia menjadi daya tarik. Saat Bupati ngantor di Desa, Camat terlihat hadir. Kepala Desa apalagi. Mereka sdh pasti ikut mendampingi. Inilah yang membuat ibu hamil ramai-ramai datang ke Posyandu tadi.
Ini pula yg membuat Kepala Desa, Tim Penggerak PKK, dan Kader Kesehatan ikut termotivasi. Tokoh-tokoh desa ini menggerakkan masyarakat.
Mereka memberi edukasi, agar calon pengantin, ibu hamil, dan anak balita, mau hadir di Posyandu. Agar lahir generasi yg sehat, mereka harus mempersiapkan kehamilannya dengan baik, mengecek kehamilan secara telaten, dan juga memantau pertumbuhan/perkembangan anak balita dgn rutin.
Tak heran, jika 3 hari terakhir ini, dalam gerakan serentak pencegahan stunting, cakupan kunjungan balita di Bonbol menduduki urutan tertinggi. Kesimpulan Pak Sekdiskes, ini gara-gara Bunga Desa tadi.
Saya tentu sangat mengapresiasi. Karena inovasi ini seirama dgn semangat Kemenkes melakukan transformasi. Untuk menjangkau semua masyarakat, pelayanan kesehatan harus menyasar seluruh usia dalam siklus hidup manusia.
Sejak masih calon bayi sampai dengan lansia, rakyat Indonesia hrs mendapatkan pelayanan kesehatan yg mumpuni. Tdk boleh ada satupun yg terlewat. Istilah kerennya “no one left behind”.
Karena rakyat tinggal di Desa, maka mau tdk mau layanan itu harus didekatkan ke tingkat desa. Struktur layanan kesehatan di desa harus ada. Kemenkes sudah menggariskan, semua desa/kelurahan, kini harus punya puskesmas pembantu (pustu). Minimal satu. Tenaga kesehatan minimal harus dua, perawat dan bidan.
Di tingkat dusun, ada kader kesehatan, yg hrs rajin melakukan pengecekan kesehatan warganya dengan mengunjungi rumah. Inilah substansi transformasi kesehatan pilar ke satu, intergrasi layanan primer (ILP).
Kehadiran Bunga Desa, dengan demikian makin diperlukan. Dengannya, pelayanan publik makin dekat ke rakyat. Tak salah bila kita berharap. Ke depan, semakin banyak Bunga Desa bermunculan. Dan bunga2 itu tumbuh mekar. Tidak seperti kata pepatah, layu sebelum berkembang.(*)
Comment