Oleh:
Hamka Hendra Noer
Ketika merumuskan konsep birokrasi pada awal abad ke-20, Max Weber (1864-1920) sebenarnya berharap bahwa ‘birokrasi dapat menjadi organisasi pemerintah yang mampu melayani masyarakat secara adil, obyektif, profesional, efektif dan efisien’. Agar dapat mencapai tujuan tersebut, maka ‘organisasi birokrasi tidak boleh memihak kepada kekuatan politik tertentu, diatur secara hierarkis dimana organisasi yang lebih rendah berada di bawah pengawasan organisasi yang lebih tinggi, memiliki pembagian kerja yang jelas dengan pedoman yang standar, dan dipimpin oleh pejabat secara impersonal, sine ira et studio, tanpa kebencian atau kesenangan, tanpa entusiasme atau afeksi’ (Kilcullen 1962).
Apabila konsep birokrasi Weberian dihubungkan dengan kondisi saat, ada dua aspek yang terasa kontradiktif. Disatu sisi, tujuan birokrasi sesuai benar dengan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan publik yang adil, obyektif, profesional, efektif dan efisien. Namun disisi lain, metode yang ditempuh untuk mencapai tujuan yang berorientasi pada organisasi hierarki, pengawasan impersonal, dan pedoman yang kaku. Tampaknya, birokrasi Weberian tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini yang penuh perubahan dan memerlukan fleksibilitas tinggi.
Inilah alasan utama yang mendasari gagasan untuk melakukan transformasi kepemimpinan birokrasi karena para pejabat pemerintahan pada umumnya masih menerapkan model kepemimpinan transaksional (Weber 1987), sementara berbagai permasalahan strategis perlu segera diselesaikan. Kita tahu, perkembangan global yang terjadi akhir-akhir ini telah menyebabkan semakin meningkatnya perubahan dalam berbagai dimensi kehidupan, perkembangan ilmu dan teknologi, persaingan ekonomi global, pengangguran tenaga terdidik, demasalisasi pasar, tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik, dan krisis keuangan yang hebat dan berkepanjangan (Osborne & Plastrik 1997).
Dulu, justru karakteristik semacam inilah yang banyak dijumpai pada pemimpin birokrasi pemerintah kita, terutama pada era Orde Baru. Kekakuan dalam hierarki, tuntutan loyalitas pada pegawai, interaksi yang penuh nepotisme, dan kebijakan yang diwarnai politik banyak dipraktekkan. Proses pengambilan keputusan yang terlalu hierarkis juga banyak mewarnai kegiatan sehari-hari. Pegawai banyak berpangku tangan karena harus menunggu petunjuk, perintah dan persetujuan dari atasan dalam melakukan suatu pekerjaan. Dampak dari malpraktik ini adalah hilangnya daya kreatifitas, inisiatif dan inovasi pegawai. Prinsip-prinsip profesionalitas, efektivitas, dan efisiensi yang diharapkan muncul dalam kinerja birokrasi pun berubah menjadi ketidakmampuan, kelambanan, dan pemborosan.
Akibatnya dapat ditebak. Institusi birokrasi tidak berdaya menghadapi perubahan global yang mucul menjelang pergantian abad lalu. Berbagai kebijakan pemerintah yang seharusnya menjadi pedoman kinerja birokrasi pun hanya menjadi wacana. Good governance yang diharapkan menjadi strategic solution krisis globalisasi, akhirnya hanya menjadi konsep tematik sambutan para pejabat. Visi dan misi dianggap komitmen pimpinan belaka karena tidak pernah diinternalisasikan, sehingga mayoritas pegawai tidak tahu, memahami, apalagi mendukung, keberhasilan pencapaiannya.
Oleh karena itu, wajarlah kalau institusi birokrasi pemerintahan seringkali diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat yang penuh dengan pimpinan unit yang bekerja pada tatanan hierarki dengan kompetensi yang spesifik. Di dalam institusi terdapat yurisdiksi dimana setiap pejabat memiliki official duties, sementara komunikasi dilakukan secara formal dengan menggunakan dokumen tertulis. Karena kekuasaan hierarkis yang diperoleh, pola kepemimpinan birokrasi yang diikuti para pejabat pun cenderung berubah menjadi kepemimpinan feodal (Weber 1947). Seperti seorang raja, pimpinan birokrasi semacam ini mendasarkan hubungan atasan-bawahan (patron-client) pada loyalitas, nepotisme, dan politik.
Kondisi kepemimpinan birokrasi semacam inilah yang mengilhami penulisan artikel ini. Berdasarkan studi empirik dan kajian teori-teori yang terkait, artikel ini mencoba untuk membahas tentang transformasi kepemimpinan birokrasi, sebagai bagian dari upaya untuk melakukan reformasi birokrasi secara sistemik.
Kepemimpinan Birokrasi
Kepemimpinan birokrasi barangkali dapat didefiniskan sebagai suatu proses mempengaruhi para pegawai untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, dan mengarahkan organisasi agar lebih kompak dan kondusif, dengan cara menerapkan konsep, nilai, etika, karakter, pengetahuan dan ketrampilan. Berdasarkan pengertian ini, seorang atasan yang hanya menggunakan kewenangan untuk menyelesaikan tugas dan tujuan tertentu belum dapat disebut pemimpin, tetapi hanya sekedar pimpinan. Pemimpin dapat mempengaruhi para pegawai untuk mencapai tujuan, sementara pimpinan hanya mampu memberikan perintah.
Di Indonesia, fenomena pimpinan yang bukan pemimpin masih banyak ditemukan pada organisasi birokrasi pemerintahan. Hal ini terjadi karena sistem promosi kepegawaian birokrasi kita, seperti diindikasikan Kwik Kian Gie (2003), masih belum sepenuhnya berdasarkan keahlian (merit-based promotion), tetapi masih diwarnai oleh hubungan kepartaian (spoil) atau keluarga (nepotism), sistem karir (career), prestasi kerja (performance), atau bahkan perlindungan (patronage). Jadi jangan heran, kalau pada suatu institusi pemerintah ditemukan seorang kepala unit yang hanya bisa memerintahkan ‘ini dan itu’, tanpa tahu bagaimana seharusnya memimpin pegawainya.
Pimpinan birokrasi semacam ini umumnya diangkat berdasarkan pada senioritas (seniority-based promotion), baik dari sisi kepegawaian (DUP) maupun kepangkatan (DUK), bahkan terkadang tanpa kualifikasi kepemimpinan. Dalam hubungan inilah, akhirnya muncul empat jenis perilaku kepemimpinan, terutama apabila dilihat dari persepsi kemampuan dalam memimpin dan kemauannya untuk berkembang, yaitu: (i) pemimpin yang tidak mampu memimpin, dan tidak mau berkembang, (ii) pemimpin yang tidak mampu memimpin, tetapi mau berkembang, (iii) pemimpin yang mampu memimpin, tetapi tidak mau berkembang, dan (iv) pemimpin yang mampu memimpin, dan mau berkembang (Hensey & Blachard 1982).
Pola kepemimpinan keempat inilah yang diharapkan dimiliki oleh setiap pimpinan birokrasi agar dapat memberdayakan pegawai dan mengarahkan organisasi melalui penerapan konsep, nilai, etika, karakter, pengetahuan dan ketrampilan.
Isu banyaknya pimpinan yang bukan pemimpin dalam organisasi birokrasi tidak terlepas dari pemahaman kita tentang konsep kepemimpinan menurut teori manajemen klasik dan rumusan birokrasi Weberian. Paradigma kepemimpinan modern, yang memasukkan unsur motivasi dan komunikasi dalam perilaku kepemimpinan, baru muncul pada periode tahun 1980-an melalui konsep kepemimpinan transformasi oleh James McGregor Burns (1978), dan selanjutnya dikembangkan oleh Bernard Bass (1985) dan pakar kepemimpinan lainnya.
Dalam teori manajemen klasik, tugas seorang pimpinan memang hanya ditekankan pada pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen dan memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada dalam organisasi. Konsep kepemimpinan klasik ini terus berkembang dengan semakin maraknya pendidikan ilmu administrasi dan manajemen. Fungsi-fungsi manajemen George Terry (1977 Planning, Organizing, Actuating and Controlling (POAC), dan sumberdaya organisasi 6M (Man, Money, Machines, Methods, Materials, and Market) didayagunakan dan dimanfaatkan para pimpinan, seperti diingatkan oleh Keith Davis (1967), tanpa memikirkan bagaimana cara mempengaruhi, memotivasi dan membimbing karyawan untuk bersama-sama mencapai tujuan organisasi.
Oleh karena itu, setelah memahami pola perilaku kepemimpinan di atas, pimpinan birokrasi yang ingin berkembang menjadi pemimpin di instansinya seharusnya juga memahami perbedaan antara tugas dan tanggung jawab seorang pimpinan dan apa yang harus dilakukan seorang pemimpin dalam mencapai tujuan organisasinya.
Di samping pengaruh teori manajemen klasik di atas―yang berujung pada perbedaan pimpinan dan pemimpin—kepemimpinan birokrasi juga diwarnai oleh konsep organisasi model Weber yang diatur secara hirarkis—dengan pembagian kerja yang jelas, standarisasi pedoman kerja, dan pengawasan impersonal. Wajarlah bila kepemimpinan birokrasi pun cenderung berorientasi pada kekuasaan secara rasional, legal dan hierarkis, serta pengawasan pelaksanaan kerja. Burns (1978) dan Bass (1985) menambahkan, bahwa kepemimpinan birokrasi bersifat transaksional antara kekuasaan dan layanan pegawai. Jadi, seperti dikritik oleh Mark Homrig (2005), seperti mekanisme jual-beli saja, pekerjaan ditukar dengan gaji, jabatan dengan loyalitas, sumbangan dengan tender dan sebagainya.
Model kepemimpinan semacam itu memang sesuai dengan lingkungan institusi birokrasi yang penuh dengan peraturan, baik normatif maupun teknis. Pedoman administrasi, kontrak kerja, keputusan, dan petunjuk teknis semuanya rapih didokumentasikan secara tertulis. Pegawai dididik untuk mentaati aturan, loyal kepada perintah atasan dalam kapasitasnya sebagai karyawan. Hubungan pimpinan-pegawai bersifat formalitas, terbatas pada pelaksanaan pekerjaan saja. Ruang gerak pegawai pun sangat terbatas. Penghasilan dan pensiun sudah diatur secara tetap, dan jumlahnya tergantung pada pangkat dan golongan pegawai dalam hierarki kepegawaian, atau seperti dikritik Kwik Kian Gie (2003); Pintar Goblok Penghasilan Sama (PGPS). Menjadi pegawai institusi birokrasi berarti teken kontrak sampai pensiun. Pegawai tidak berhak atas jabatan karena sistem promosi umumnya berdasarkan pada senioritas dalam kepegawaian dan kepangkatan.
Model kepemimpinan birokrasi menurut Weber (1947), banyak diterapkan di organisasi keagamaan, rumah sakit, perusahaan bisnis berskala kecil maupun multi-nasional, militer, dan tentu saja instansi pemerintah. Sisi positif dari model kepemimpinan birokrasi tradisional ini terletak pada efisiensi di dalam pelaksanaan kerja karena kejelasan pembagian kerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing staf dalam organisasi, standarisasi pedoman dan aturan kerja, dan konsistensi terhadap tata aturan yang telah ditetapkan.
Di samping itu, kepemimpinan birokrasi juga menjamin pencapaian tujuan jangka pendek dan kemudahan dalam pengawasan serta pengelolaan pegawai. Sementara sisi negatifnya, adalah kepemimpinan yang berorientasi pada kekuasaan yang hierarkis, tiadanya pemberdayaan pegawai dan pembagian kewenangan dalam pengambilan keputusan, kondisi yang kurang kondusif karena penerapan komunikasi top-down dan formalitas hubungan antara atasan dan bawahan, dan loyalitas yang kadang berlebihan kepada atasan.
Weber sendiri sebetulnya, sewaktu merumuskan tiga konsep kepemimpinan; (i) charismatic (transformer), (ii) bureaucratic (transactional), dan (iii) feudal (traditional), telah mengingatkan bahwa karena kekuasaan hierarkis yang diperolehnya, maka kepemimpinan birokrasi (transactional) cenderung untuk berubah menjadi kepemimpina feodal (traditional). Perilakunya pun berubah menjadi seperti seorang pangeran, yang menuntut loyalitas total dari anak-buahnya, mengembangkan sistem nepotisme, dan berorientasi pada politik kekuasaan.
Kepemimpinan Transformasional
Konsep kepemimpinan transformasional pertama kali dikemukakan oleh James McGregor Burns pada tahun 1978, dan selanjutnya dikembangkan oleh Bernard Bass dan para ‘behaviourists’ lainnya. Bass (1990) mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai ‘kemampuan yang dimiliki seorang pemimpin untuk mempengaruhi anak buahnya, sehingga mereka akan percaya, meneladani, dan menghormatinya.’
Kompetensi transformasi seorang pemimpin mungkin dapat diukur dari kemampuannya dalam membangun sinergi dari seluruh pegawai melalui pengaruh dan kewenangannya sehingga lebih berhasil dalam mencapai visi dan misi organisasinya. Lanjut Bass, proses perubahan yang dilakukan pemimpin transformasional dapat dilakukan dengan cara: (i) meningkatkan kesadaran pegawai terhadap nilai dan pentingnya tugas dan pekerjaan, (ii) mengarahkan mereka untuk fokus pada tujuan kelompok dan organisasi bukan pada kepentingan pribadi, dan (iii) mengembangkan potensi mereka seoptimal mungkin.
Implementasi kepemimpinan transformasional ini bukan hanya tepat dilakukan di lingkungan birokrasi, tetapi juga diberbagai organisasi yang memiliki banyak tenaga potensial dan berpendidikan. Secara organisasional, Leithwood & Jantzi (1990) menulis bahwa penerapan model kepemimpinan ini sangat bermanfaat untuk: (i) membangun budaya
kerjasama dan profesionalitas antara para pegawai, (ii) memotivasi pimpinan untuk mengembangkan diri, dan (iii) membantu pimpinan memecahkan masalah secara efektif.
Budaya kerjasama dan profesionalitas dapat dibangun karena pemimpin transformasional akan memfasilitasi pegawainya untuk berdialog, berdiskusi, dan merencanakan pekerjaan bersama. Kerjasama yang terbentuk ini akan memudahkan mereka untuk saling mengingatkan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan. Kebersamaan juga dilakukan dalam merumuskan visi dan misi organisasi, sehingga komitmen lebih mudah dibangun. Seorang pemimpin transformasional juga akan membagi kewenangannya melalui pemberdayaan pegawai secara aktif mengkomunikasikan norma-norma dan nilai-nilai organisasi. Untuk mendukung perubahan budaya, Bass menyarankan untuk memanfaatkan mekanisme birokrasi yang selama ini telah dijalankan.
Dengan dikembangkan budaya tersebut, secara tidak langsung juga akan memotivasi pemimpin untuk lebih mengembangkan diri. Dengan melibatkan staf dalam penyelesaian masalah-masalah strategis, pemimpin transformasional harus mampu meyakinkan mereka bahwa tujuannya jelas, rasional dan visioner. Berbagai kelebihan yang dimiliki atasan akan membantu para staf untuk bekerja secara lebih cerdas, bukan lebih keras. Disamping itu, keterlibatan staf dalam pemecahan permasalahan strategis juga akan meningkatkan pemahaman bersama, bahwa permasalahan organisasi yang dipecahkan secara bersama akan lebih berhasil dibanding bila dipecahkan sendiri oleh pimpinan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kepemimpinan transformasional dapat memberikan berbagai pengaruh positif terhadap pegawai, pemimpin, dan organisasi. Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, yang dibutuhkan kerjasama dari seluruh komponen organisasi untuk memecahkan berbagai masalah strategis. Model kepemimpinan semacam itu tampaknya tepat untuk diterapkan dalam lingkungan birokrasi. Budaya kerjasama yang terbentuk dapat merubah sikap pegawai terhadap perkembangan organisasi dan peningkatan kinerja serta perhatian yang ditunjukkan oleh pimpinan juga akan menciptakan iklim yang kondusif dalam organisasi. Pada akhirnya, seperti diasumsikan Erik Rees (2006), model kepemimpinan ini akan bermuara pada peningkatan kondisi ekonomi, sosial, budaya kerja, dan spiritual seluruh komponen organisasi.
Setelah mendiskusikan perbedaan antara dua model kepemimpinan dalam birokrasi, pertanyaan kemudian adalah, dapatkah kepemimpinan transaksional berubah menjadi transformasional? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama perlu disampaikan bahwa dalam teori kepemimpinan terdapat tiga konsep dasar yang dapat mengubah seseorang menjadi pemimpin (Bass 1989 & 1990), yaitu: (i) berdasarkan perilaku yang dimiliki (the trait theory), (ii) berdasarkan suatu peristiwa penting yang terjadi secara tidak sengaja (the great events theory), dan (iii) berdasarkan kemauan yang kuat untuk menjadi pemimpin.
Dengan demikian, kemauan keras merupakan kunci utama untuk dapat merubah perilaku kepemimpinan. Namun, tambah Bass, untuk mencapai tujuan perubahan seorang pimpinan harus mau mengembangkan diri melalui studi mandiri, pendidikan, pelatihan, dan pengalaman sehari-hari secara terus-menerus. Bahkan, seandainya pemimpin tersebut sudah dianggap berhasil sekali pun.
Selanjutnya perlu disepakati bersama, bahwa tujuan transformasi kepemimpinan birokrasi adalah meningkatkan kompetensi kepemimpinan menjadi lebih baik. Kita tahu, konsep dasar kepemimpinan yang baik adalah karakter teladan dan pengabdian total kepada organisasi. Dalam pandangan pegawai, kepemimpinan adalah semua yang dilakukan atasan untuk mencapai tujuan dan menjaga keutuhan organisasi. Pemimpin yang dihormati dilihat dari siapa (sikap dan perilaku), apa yang diketahui (pekerjaan, tugas-tugas), dan apa yang dikerjakan (pelaksanaan tugas, cara memotivasi, dan memberikan arahan).
Penutup
Melakukan reformasi birokrasi dengan pendekatan sistemik berarti mencakup seluruh sub-sub sistem yang ada. Diantaranya yang cukup signifikan adalah perilaku kepemimpinan birokrasi. Kita tahu, karena pengaruh hierarki kekuasaan, implementasi kepemimpinan birokrasi banyak yang sudah bergeser dari model transaksional ke arah tradisional (feudal). Perilaku semacam inilah yang selalu dituntut adanya loyalitas total dari staf, supaya adanya peluang mengembangkan nepotisme yang berujung korupsi, dan kental berbau politik kekuasaan. Oleh itu, diperlukan reformasi terhadap kinerja birokrasi transaksional agar sesuai dengan tujuan semula, tuntutan masyarakat, dan perkembangan zaman. Dengan demikian, arah reformasi adalah merubah kinerja yang selama ini umumnya dilakukan menjadi kinerja yang diharapkan masyarakat dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam mengubah malpraktik perilaku kepemimpinan birokrasi perlu dilakukan transformasi perilaku pemimpin. Perubahan ini hanya berhasil apabila ada kemauan keras dari pelaku kepemimpinan, dibarengi dengan usaha mengembangkan diri tanpa henti melalui studi mandiri dan berbagai media pembelajaran. Bahkan, seperti dikatakan oleh Bass, terus berlanjut walaupun seorang pemimpin telah dianggap berhasil meningkatkan kompetensi kepemimpinannya. Artinya, pemimpin telah berhasil mengubah karakter dan kemampuan kepemimpinannya dalam melaksanakan tugas dan mempengaruhi pegawai, sehingga menjadi teladan bagi lingkungannya, dan pada akhirnya merubah kondisi ekonomi, sosial, budaya kerja, dan spiritual seluruh komponen organisasinya.
Untuk dapat melakukan dua pekerjaan besar tersebut—yakni merubah arah kinerja dan sistem organisasi birokrasi,—tentu diperlukan pimpinan birokrasi yang mampu mendorong semangat, merubah nilai, dan memperhatikan kebutuhan karyawan melalui kewenangan dan pengaruh yang dimilikinya untuk bersama-sama mencapai tujuan organisasi. Karakteristik seperti inilah yang mendasari konsep transformasi kepemimpinan birokrasi.(*)
Penulis adalah Dosen FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta
Comment