JAKARTA – GP – Komisi pemberantasan korupsi (KPK) membongkar praktek suap berupa pemberian fee proyek bagi kepala daerah. Praktek haram ini, membuat KPK meringkus Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah (NA). Gubernur peraih Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) di tahun 2017 itu, dicokok KPK saat sedang tidur di rumah dinasnya, dalam ragkaian operasi tangkap tangan (OTT), Sabtu (27/2) dini hari.
NA berani mengucap sumpah atas nama Tuhan, jika dirinya tidak terlibat dalam kasus suap itu, saat keluar dari gendung KPK, usai menjalani pemeriksanaan, Ahad (28/2). Kendati demikian, lembaga antirasuah, tetap memborgolnya, dan mengenakan rompi orange khas tersangka korupsui. Masih berjaket hitam, celana jeans, bermasker putih, serta topi berwarna dengan tangan diborgol, langkah cepat NA meninggalkan Gedung KPK sempat terhadang puluhan awak media yang telah menunggunya hampir 12 jam. NA berusaha tegar meski suaranya terdengar lirih. Pundaknya sedikit bongkok, mungkin karena kelelahan menjalani pemeriksaan hampir 1×24 jam.
Orang nomor satu di Sulsel ini ditetapkan tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pengadaan barang dan jasa, perizinan dan pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemprov Sulsel Tahun Anggaran 2020-2021. Selain Nurdin Abdullah, KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya yakni Edy Rahmat yang merupakan Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Sulsel, dan Direktur PT Agung Perdana Bulukumba, Agung Sucipto sebagai pemberi suap.
“Ternyata Edy itu melakukan transaksi tanpa sepengetahuan saya. Sama sekali tidak tahu, demi Allah demi Allah,” tegas NA di Gedung KPK, dikutip fajar.co.id, Ahad (28/2) dini hari, sebelum memasuki mobil tahanan KPK. Pada kesempatan itu pula, Nurdin Abdullah memohon maaf kepada seluruh masyarakat Sulawesi Selatan. Itu pesan terakhir NA hingga mobil tahanan KPK membawanya ke Rutan KPK, cabang Pomdam Jaya Guntur. “Saya mohon maaf,” kata Nurdin terdengar lirih seraya berlalu.
Ketua KPK Firli Bahuri saat gelar konferensi pers, kemarin, mengatakan, NA diduga menerima suap total Rp5,4 miliar dengan rincian pada 26 Februari 2021 menerima Rp2 miliar yang diserahkan melalui Edy dari Agung. Tak hanya itu, NA juga diduga menerima uang dari kontraktor lain di antaranya pada akhir 2020 NA menerima uang sebesar Rp200 juta, pertengahan Februari 2021 NA melalui ajudannya bernama Samsul Bahri menerima uang Rp1 miliar, dan awal Februari 2021 NA melalui Samsul Bahri menerima uang Rp2,2 miliar.
Firli mengurai kronologi penangkapan NA, awalnya tim KPK menerima informasi adanya dugaan penerimaan sejumlah uang oleh penyelenggara negara yang diberikan oleh Agung Sucipto (AS) selaku kontraktor kepada NA, melalui perantara Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Sulsel, Edy Rahmat (ER) sebagai representasi sekaligus orang kepercayaan NA.
“Pukul 20.24 WIB, AS bersama IF (Irfandi, red) menuju ke salah satu rumah makan di Makassar. Dan setiba di rumah makan tersebut telah ada ER yang menunggu,” kata Firli dalam konferensi persnya, Ahad (28/2). Mereka kemudian meninggalkan Rumah Makan Nelayan dengan beriringan mobil. Irfandi mengemudikan mobil milik Edy Rahmat. Sedangkan Agung Sucipto dan Edy Rahmat bersama dalam mobil milik Agung menuju ke Jalan Hasanuddin Makassar.
“Dalam perjalanan tersebut, AS menyerahkan proposal terkait beberapa proyek pekerjaan infrastruktur di Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan, tahun anggaran 2021 kepada Edy,” ungkapnya. Sekitar pukul 21.00 WIB, Irfandi kemudian mengambil koper yang diduga berisi uang dari dalam mobil milik AS dipindahkan ke bagasi mobil milik ER, di jalan Hasanuddin.
Selanjutnya, sekitar pukul 23 Wita, Agung diamankan dalam perjalanan menuju Bulukumba. Sedangkan sekitar pukul 00.00 wita, Edy beserta uang senilai Rp 2 miliar di dalam koper turut diamankan di rumah dinasnya. Dari hasil pengembangan, KPK kemudian mengamankan NA di rumah dinas gubernur sekira pukul 02.00 wita.
Firli Bahuri menyebutkan bila Agung Sucipto yang merupakan Direktur PT Agung Perdana Bulukumba (APB) sudah lama kenal baik dengan NA. Agung disebut berkeinginan mendapatkan beberapa proyek pekerjaan infrastruktur di Sulsel, di mana sebelumnya yang bersangkutan telah mengerjakan beberapa proyek di Sulsel beberapa tahun sebelumnya. “AS (Agung Sucipto) sebelumnya telah mengerjakan beberapa proyek lain di Sulsel di antaranya; Peningkatan Jalan Ruas Palampang – Munte – Bontolempangan di Kab. Sinjai, Bulukumba (DAK) Tahun 2019 dengan nilai Rp 28,9 miliar,” kata Firli.
“Rehabilitasi jalan parkiran 1 dan pembangunan jalan parkiran 2 Kawasan Wisata Bira bantuan keuangan Provinsi Sulsel 2020 kepada Kabupaten Bulukumba TA 2020 dengan nilai proyek Rp 7,1 miliar,” imbuhnya.
Firli mengatakan sejak bulan ini Agung diketahui berkomunikasi aktif dengan Edy Rahmat yang disebut pula sebagai orang kepercayaan Nurdin Abdullah. Komunikasi itu dijalin agar Agung kembali mendapatkan proyek di Sulsel untuk tahun ini. “Dalam beberapa komunikasi tersebut, diduga ada tawar-menawar fee untuk penentuan masing-masing dari nilai proyek yang nantinya akan kerjakan oleh AS,” kata dia.
Hingga akhirnya NA disebut sepakat memberikan pengerjaan sejumlah proyek termasuk di Wisata Bira untuk Agung. Firli mengatakan suap dari Agung untuk Nurdin diserahkan melalui Edy Rahmat. “AS selanjutnya pada tanggal 26 Februari 2021 diduga menyerahkan uang sebesar Rp 2 miliar kepada NA (Nurdin Abdullah) melalui ER (Edy Rahmat),” sebut Firli.
Sementara itu, Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan, berencana akan memberikan bantuan hukum kepada NA. Rencana bantuan hukum ini digaungkan setelah Nurdin ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto menilai, NA atau Nurdin adalah sosok yang baik. Dia mengaku kaget saat Nurdin terjaring operasi tangkap tangan pada Jumat (26/2) malam.
“Beliau adalah sosok yang mendalami ilmu-ilmu pertanian dan betul-betul mendedikasikan diri bagi kepentingan masyarakat. Sehingga kami sangat kaget atas kejadian tersebut,” kata Hasto di Jakarta, Ahad,(28/2). Hasto mengakui, PDIP tidak boleh intervensi hukum. Namun pihaknya tentu akan melakukan berbagai hal yang terkait advokasi. Tindakan ini akan menunggu keterangan secara lengkap dari KPK terlebih dahulu.
“Pada prinsipnya melihat kepemimpinan beliau, masukan yang diberikan dari jajaran DPD PDI Perjuangan Sulawesi Selatan, agar partai memberikan advokasi. Untuk itu, kami masih menunggu perkembangan lebih lanjut terkait hal tersebut,” ucap Hasto. Hasto mengakui pihaknya masih belum bisa lepas dari rasa syok, karena rekam jejak Nurdin yang sangat baik. “Rekam jejaknya sangat baik. Apakah ini ada faktor x yang kami belum ketahui, kami masih menunggu penjelasan lebih lanjut dari KPK,” pungkas Hasto. Saat pilgub Sulsel lalu, NA diusung PDI Perjuangan.
Sebagai penerima suap NA dan ER disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sedangkan sebagai pemberi Agung Sucipto disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. (fajar/jpnn)
Comment