Oleh :
Basri Amin
Belakangan ini, apa saja bisa jadi tema dan objek sengketa. Ada satu kata yang mungkin akan terus membesar di zaman ini: “kekisruhan”. Hampir semua yang saksikan di media berujung pada keadaan yang paralel, yakni goncangnya (ketertiban) akal-budi dan kegaduhan (pencapaian) cita-cita.
Memang, sekian lama kita pernah diyakinkan bahwa agama adalah penyatu kesadaran bersama, tapi melalui perjalanan waktu pulalah yang akhirnya menyuguhkan gambaran yang lain. Kini agama sekalipun tampaknya menjadi faktor yang rentan “merenggangkan” relasi antar manusia. Tentu, sudah jamak dikabarkan bahwa hakikinya manusia sendirilah sebagai sumber sebabnya.
Di banyak tempat, sengketa demi sengketa terus menyeruak dan melilit. Seperti tak ada habisnya. Di negeri ini, termasuk di daerah kita dan di dunia ini, kisruh berwarna sengketa itu datang silih-berganti. Semua jadi tontonan. Semua bisa jadi persoalan. Tak kenal lapisan atas atau pun bawah, tabiat membuat sengketa nyaris sudah rata di semua kalangan dan profesi. Kita bahkan telah semakin lincah menggunakan semua aturan untuk membuat sengketa. Ini adalah sebuah perkembangan yang menyesakkan nalar sehat.
Sengketa, beserta latar yang mendasarinya, dilembagakan sedemikian rupa untuk memediasi sisi kompetitif dari perangai manusia. Pada tingkat formalnya, ini adalah cara yang paling mungkin dilakukan manusia. Tak heran kalau dalam proses pelembagaan itu, beragam pekerjaan (baru) pun muncul. Untuk satu rentetan urusan misalnya, tentang keadilan, pengadilan dan penegakan hukum, begitu banyak pelaku yang terlibat –-dan tentu saja beroleh untung–. Tidak sedikit regulasi dan institusi yang menyangga perwujudannya. Semuanya atas nama menangani “sengketa” manusia.
Pencapaian organisasional manusia terlihat dalam kemampuannya mengelola setiap sengketa yang mereka alami. Di sini, formalisme keteraturan (social order) diserahkan pada mekanisme yang tak kalah seriusnya, yakni tentang hukum, regulasi atau legislasi. Sebagai akibatnya, kitab-kitab hukum dan administrasi yang menampung timbunan regulasi yang mengatur urusan-urusan manusia semakin tebal dan tersebar. Kita menjadi spesies yang dikepung oleh aturan. Itulah yang terus berkembang, menumpuk, dan mengepung kita.
Kini telah terbentuk semacam perlombaan (masyarakat) modern dalam mengatur kehidupannya. Negara yang mengklaim diri maju dan modern ditunjukkan pada eksposenya menghasilkan tumpukan pengaturan. Dalam situasi ini, yang dikedepankan adalah aturan dalam bentuk hukum-hukum. Kepada bentuk inilah di mana hampir semua sengketa dipercayakan diselesaikan. Nilai yang mendasarinya adalah usaha mewujudkan keadilan. Tapi fakta yang masih terasa adalah wajah hukum yang cenderung “tajam ke bawah, tumpul ke atas”.
Zaman memang berubah, tapi hukum adalah pegangan yang terus diproduksi. Yang menarik di sini adalah karena masyarakat beroleh sandaran (ideal) yang membuatnya mampu menuntut hak-haknya. Di kala lain, masyarakat pun beroleh ruang untuk mempertanyakan pengabaian-pengabaian yang mereka alami. Relasi timbal balik seperti ini menjadi tidak sederhana karena laku pengabaian, kisah kalah dan menang, terbela dan terhempas, serta yang terhukum dan yang terbebas, pada satu masa pernah di alami oleh setiap individu dalam sebuah bangsa/masyarakat. Itulah sebabnya, dalam hemat saya, kekuatan hukum dalam sebuah bangsa tergambar dari konfigurasi cerita-cerita yang tumbuh di masyarakat tentang (praktik) hukum itu sendiri.
Tidak perlu semua orang menghapal pasal-pasal dalam kitab-kitab hukum. Yang dibutuhkan adalah tekad yang kuat untuk “tidak melanggar” hak-hak umum dan kepentingan orang lain. Dengan begitu, yang harus diusahakan adalah kepekaan atas makna kebajikan (manusiawi) yang terkandung dalam (misi) lahirnya sebuah pengaturan. Dasar etis itu adalah penghargaan kepada tertib bersama dan usaha-usaha bersama mewujudkan tertib itu di berbagai arena hidup dan kesempatan. Perlu ditekankan di sini soal kesempatan karena dalam banyak hal kita cenderung lalai menggunakan kesempatan yang kita punyai untuk menegakkan “tertib hidup” itu dalam ukuran sehari-hari, dan di ruang-ruang hidup yang kita lakoni secara rutin.
Di jalan-jalan raya dan di tempat-tempat kerja dan organisasi-organisasi kita, “tertib hidup” hendaklah menjadi pegangan agar kepungan sengketa dalam bernalar dan dalam berhubungan tidak semakin menjalar. Kebiasaan membahasakan harapan tidaklah harus ditimpali dengan nada-nada angkuh dan sok mengatur. Kebiasaan menutup-nutupi kegagapan dan kegagalan tidaklah harus dibenci dengan bahasa apatisme, melainkan dengan dialog dan keterbukaan. Tak ada kepongahan yang bisa bertahan dengan penyumbatan atau penutupan –dengan kuasa dan bahasa apa pun–. Ia akan meledak melalui celah-celah kesadaran yang tumbuh dari dalam (jiwa) masyarakat itu sendiri.
Pertentangan dengan mudah diciptakan, ditiru, ditebalkan, dan disirkulasi. Terlalu banyak sebab, urusan dan media yang memicu perangai sengketa. Terpecahnya banyak kepentingan material, citra dan status, serta tindakan-tindakan “antisipasi politis” –secara langsung– telah membentuk (struktur) bernalar dan bertindak kita sedemikian rupa sehingga keadaan di sekitar cenderung kita baca menurut “peta kepentingan” yang sudah kita bangun sekian lama.
Memang, tak semuanya bisa dengan mudah disadari, karena gejala sengketa ini bermula dari pecahnya orientasi (diri) yang kita tempa sendiri dan salurkan perjalanannya yang manut menurut (bayangan) riwayat hidup kita. Setiap kita mempunyai bayangan diri seperti itu. Dan masalahnya adalah karena bayangan itu demikian mudah dicemari oleh pecahan-pecahan nalar, moral dan rujukan pengalaman yang tidak seluruhnya mampu kita kendalikan.
Percampuran kesadaran dan ketidaksadaran, antara keaslian dan keterasingan, serta orientasi diri dan artikulasi organisasi, adalah keadaan yang menyertai pola bahasa dan pola kerja kita sejauh ini. Meski banyak ruang yang berperan mengatur, bahkan memberi kita nasehat dan tuntunan, tapi hilangnya kontrol kita terhadap gempuran informasi (news, events & social media) secara langsung memaksa kita untuk “lumpuh” di sektor-sektor tertentu. Ketika semua menjadi tontonan dan kita pun tergoda untuk di-tonton, maka kita tidak lagi tegas mengurai kedirian kita yang sebenarnya. Meski berusaha mengatakan “tidak kepada sengketa” yang bersifat publik dan/atau lintas individu, tapi diam-diam kita telah mewujudkan sengketa jenis lain bernama desas-desus dan persangkaan. Kita sangat potensial menjadi masyarakat yang makin terbiasa berdesas-desus, waswas dan saling curiga. Dengan itulah kita (terulang) terpeleset menyikapi hidup. Bagaimana? ***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu
E–mail: basriamin@gmail.com
Comment