Oleh:
Yogo Prasetyo
Sejak virus COVID-19 melanda Ibu Pertiwi, banyak hal buruk yang ditimbulkan karena virus tersebut tak hanya menyerang kesehatan masyarakat, tetapi juga menghantam sektor ekonomi. Hal tersebut dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat dalam melakukan pembayaran kredit yang mereka pinjam sehingga meningkatkan resiko kredit bermasalah di bank (Non Performing Loan/NPL). Ketika resiko kredit meningkat, maka berpotensi mengganggu kinerja bank dan stabilitas sistem keuangan yang pada akhirnya berdampak pada pemulihan pertumbuhan ekonomi.
Untuk mengurangi resiko tersebut maka Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.11 Tahun 2020 pada tanggal 13 Maret 2020 tentang Stimulus Dampak COVID-19 yaitu berupa restrukturisasi (pemberian keringanan) kredit atau pembiayaan terhadap debitur yang terdampak COVID-19 yang berlaku satu tahun sampai 31 Maret 2021. Restrukturisasi tersebut berupa penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit atau pembiayaan, dan konversi kredit/ pembiayaan menjadi Penyertaan Modal Sementara. Sasarannya adalah untuk usaha kecil yang terkena dampak COVID-19 dengan nilai pinjaman dibawah Rp 10 milyar terutama UMKM, pekerja harian, nelayan, ojek online, dan usaha kecil lain. Hal tersebut dinilai sangat perlu karena sejak terkena dampak COVID-19 pelaku ekonomi skala kecil ini mengalami penurunan omset penjualan/pendapatan yang sangat drastis.
Melihat kondisi terkini yang belum stabil, melalui siaran pers OJK pada tanggal 20 Desember 2020 kebijakan restrukturisasi tersebut akhirnya diperpanjang sampai batas waktu 31 Maret 2022. Selain itu, OJK menyebutkan program restrukturisasi kredit hingga 30 November 2020 telah mencapai Rp 951,2 triliun dari sekitar 7,53 juta debitur di perbankan yang terdiri dari 5,80 juta debitur UKM dengan nilai Rp 382 triliun dan 1,73 juta debitur non UKM dengan nilai Rp 569,2 triliun. Nilai yang cukup besar dan diharapkan cukup membantu pelaku ekonomi terdampak COVID-19.
Namun kebijakan tersebut bukan tanpa resiko, banyak pihak yang memprediksi program restrukturisasi berimbas pada tergerusnya keuntungan bank tahun berjalan. Utamanya bagi perbankan yang mayoritas kreditnya adalah di segmen UMKM. Sebagai ilustrasi jika penundaan angsuran pokok dan bunga dilaksanakan maka secara langsung akan mempengaruhi pendapatan sehingga bank tidak dapat memperoleh pendapatan bunga selama jangka waktu berlakunya restrukturisasi tersebut. Jika dilihat dari rasio kemampuan bank mengelola aktiv aproduktif dalam menghasilkan pendapatan bunga bersih (Net Interest Margin/NIM), dalam Laporan Statistik Perbankan 2020 dari OJK diketahui perbankan secara nasional mengalami penurunan rasio NIM pada periode Oktober 2020 sebesar 4,68 persen dari periode sebelumnya sebesar 4,85 persen pada Oktober 2019.
Kendatipun demikian, tidak semua nasabah terkena dampak langsung dari virus corona sehingga tidak berhak mendapatkan restrukturisasi kredit. Para debitur itulah yang saat ini membantu kinerja perbankan karena sanggup memenuhi kewajiban secara baik dan lancar. Berdasarkan sumber data dari Bank Indonesia, sektor yang memiliki resiko rendah – dampak rendah dan resiko rendah – dampak sedang terhadap COVID-19 adalah sektor pertambangan, pertanian, kehutanan dan perikanan. Dengan penerapan protokol kesehatan dan dukungan dari Pemerintah Daerah, diharapkan sektor tersebut tidak butuh waktu lama untuk dapat bangkit.
Keyakinan positif tersebut seolah menyulut semangat perbankan agar tetap memiliki performa yang baik, dengan mencari berbagai alternatif strategi dalam memperoleh laba. Antara lain, dengan jeli menemukan dan memilih nasabah baru saat penyaluran kredit yang memiliki resiko kecil dalam gagal bayar. Kedua, membeli surat berharga dengan imbal hasil tinggi dan resiko rendah. Ketiga, menganekaragamkan cara dalam pengelolaan asset berupa memonitor penyusutan asset dan menciptakan manajemen resiko. Hal tersebut ditempuh untuk membantu Pemerintah dalam memulihkan perekonomian nasional. (*)
Penulis merupakan Staf Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Gorontalo.
Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili lembaga tempat bekerja
Comment