Oleh :
M.Rafid Farhan
”Memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru” begitulah bunyi satu dari delapan misi Asta Cita yang diusung oleh Presiden RI Prabowo Subianto untuk mewujudukan Indonesia Emas 2045. Mari fokus pada kalimat ”swasembada pangan”, secara global ketahanan pangan masih diselimuti berbagai isu, mulai dari fragmentasi perdagangan dunia sampai ke isu geopolitik dan konflik antar negara.
Melihat situasi yang berkembang, Presiden RI menargetkan swasembada pangan tercapai paling lambat pada tahun 2026 melalui penguatan pada komoditas beras, jagung dan garam. Langkah tersebut juga sebagai salah satu upaya untuk mengandalikan inflasi pada tahun mendatang. Meskipun komoditas jagung tidak memberikan efek langsung terhadap inflasi, namun apabila harganya meningkat, komoditas jagung dapat mempengaruhi harga dari daging ayam dan telur ayam.
Sebagai langkah awal mendorong terbentuknya swasembada pangan, Menteri Koordinator Pangan memangkas kuota impor jagung pada tahun 2025 menjadi hanya sebesar 900 ribu ton, dari semula diusulkan sebesar 1,7 juta ton. Kebijakan swasembada pangan Pemerintah Pusat diprakirkaan dapat mendorong perekonomian Provinsi Gorontalo yang kerap dikenal sebagai provinsi penghasil jagung.
Berdasarkan wilayah, Provinsi Gorontalo merupakan salah satu produsen komoditas jagung di Pulau Sulawesi, hanya tertinggal dari Provinsi Sulawesi Selatan. Di Level Nasional, Provinsi Gorontalo bahkan menempati peringkat ketujuh sebagai Provinsi penghasil jagung terbanyak. Namun demikian, produktivitas jagung di Provinsi Gorontalo masih tertinggal atau sebesar 48.19 Ku/Ha dibandingkan Provinsi Sulawesi Selatan yang produktivitasnya mencapai 58,99 Ku/Ha diatas rata-rata Nasional yang sebesar 58,86 Ku/Ha.
Rendahnya produktivitas disebabkan oleh jagung yang ditanam pada lahan miring seiring dengan terbatasnya lahan dan kondisi geografis Provinsi Gorontalo yang didominasi oleh daerah perbukitan sehingga meningkatkan risiko terjadinya gagal panen akibat bencana longsor pada periode curah hujan yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa sisi infrastruktur pertanian khususnya terasering di Provinsi Gorontalo masih terbilang terbatas. Lalu, bagaimana Provinsi Gorontalo dapat memanfaatkan program swasembada pangan dan turut berkontribusi mewujudkan misi tersebut?
Provinsi Gorontalo haruslah memanfaatkan setiap program Pemerintah Pusat tahun 2025. Kementerian Pertanian selaku pemilik proyek swasembada pangan memliki pagu anggaran mencapai Rp29,37 triliun, lebih banyak dibandingkan usulan awal yang sebesar Rp7,91 triliun. Penambahan anggaran yang signifikan tersebut sebagai salah satu upaya penguatan sisi hulu sektor pertanian melalui operasionalisasi lahan, bantuan benih, dan pembangunan infrastruktur pertanian.
Kementerian Pertanian pun turut meningkatkan alokasi pupuk subsidi Provinsi Gorontalo sampai dengan 17,26% dengan skema penyaluran yang lebih sederhana dan berlaku mulai 1 Januari 2025. Penyederhanaan penyaluran tersebut memegang peran yang vital sebab pada tahun 2024 berdasarkan data dari PT Pupuk Indonesia, pupuk subsidi di Provinsi Gorontalo hanya tersalurkan sebesar 60,7% dari total alokasi. Lebih lanjut, hanya 61,0% petani yang menebus pupuk subsidi. Selain itu, Pemerintah juga meningkatkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) jagung pakan menjadi Rp5.500/kg dari yang semula sebesar Rp5.000/kg sehingga meningkatkan semangat petani.
Dengan berbagai macam program untuk mendorong swasembada pangan pada tahun 2025, Pemerintah Daerah Gorontalo perlu memanfaatkan program dimaksud sehingga masyarakat khsususnya yang bekerja pada sektor pertanian menerima manfaatnya. Perbaikan infrastruktur pertanian khususnya infrastruktur terasering menjadi kunci peningkatan produksi dan produktivitas pada tahun 2025.
Berdasarkan riset yang dilakukan Universitas Negeri Gorontalo, penanaman jagung pada lahan terasering dapat meningkatkan produksi jagung semula 6,26 ton/Ha menjadi 7,10 ton/Ha (H. Diu, Ramli et al, 2023) Apabila dapat dimanfaatkan dengan baik, pertumbuhan ekonomi lebih dari 5% seperti masa pra-pandemi dapat diperoleh dengan pasti. (*)
Penulis adalah ekonom yunior









