Oleh:
Basri Amin
PADA tanggal 26 November 1949, sebuah surat panjang yang cerdas dikirimkan dari Gorontalo kepada Komisaris Negara Utara NIT di Tomohon, Minahasa. Surat unik tersebut bisa dikatakan sebagai keterangan klarifikasi dan rekomendasi tentang kedudukan seorang tokoh (Islam) Gorontalo terpandang di masa itu. Nama besar beliau adalah Tom Olii, seorang tokoh Muhammadiyah yang dikenal luas perannya di Celebes Oetara dan di tingkat nasional.
Tanda tangan asli Tom Olii untuk pertama kalinya saya sentuh dan pelajari langsung ketika bersama-sama Zulkifli Lasimpala menulis risalah tentang Ibrahim Muhammad (1915—1976), seorang tokoh besar Kepanduan nasional Ikatan Pandu Indonesia (IPINDO) dari Gorontalo, dengan kiprah leadership kepanduannya di level Asia Tenggara dengan menyandang “Gilwell Wood Badge” khusus.
Dalam dokumen IPINDO, kita menemukan posisi beliau bersama Pandu Agung, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Beliau juga adalah tokoh penting dalam pergerakan Patriotisme “23 Januari 1942” yang sangat diandalkan oleh Nani Wartabone dan Pendang Kalengkongan. Ibrahim Muhammad juga punya kedekatan khusus dengan nasionalis Gorontalo yang berdarah Jawa, R.M. Koesno Dhanupojo (Amin & Lasimpala, 2021).
Penting diketahui bahwa di masa yang kritis, antara tarikan nasionalisme yang digerakkan oleh golongan terpelajar yang cenderung memilih jalan “diplomasi, perundingan dan demokrasi” dan kelompok aktivis (organisasi) pergerakan politik yang setiap saat rela menjadi martir bagi kemerdekaan Indonesia, di sepanjang Desember 1945 – Desember 1946, demikian meruncing di Gorontalo.
Tom Olii (1902) termasuk dalam golongan terpelajar-pemuda-organisatoris yang lebih meyakini jalan demokrasi dan strategi politik dalam memenangkan “kemerdekaan” Indonesia. Ia memilih jalan itu, demi Kemerdekaan yang lebih cerdas dan parmanen tanpa melalui perang-fisik yang ekstrim dan berhadap-hadapan dengan kekuatan Belanda yang masih sangat keras dan terbuka kekuasaannya di Indonesia Timur pada periode Desember 1945—1949, bahkan masih terus eksis sampai awal 1950-an (Kahin, 1970; Husain, 2023).
Adalah Ajoeba Wartabone, Kepala Daerah Sulawesi Utara, tokoh pemerintahan Indonesia Timur terpandang sejak pertengahan 1940-an, yang menulis surat panjang tentang Tom Olii kepada Komisaris Negara Utara NIT di atas, tertanggal 26 November 1949 di atas.
Dari dokumen langka tersebut, kita bisa menemukan jejak sejarah yang penting tentang masa-masa kritis daerah Gorontalo tahun 1945—1946 dalam menentukan peran politiknya secara nasional. Dari catatan Ajoeba Wartabone kita pun jadi tahu tentang sejumlah dilema yang harus disikapi dengan matang oleh tokoh-tokoh utama Gorontalo di masa itu. Faktor “darah bangsawan”, tingkat keterpelajaran, keluasan pergaulan dan kematangan memainkan sejumlah aliansi politik tingkat regional dan nasional menjadi sangat penting.
Kalangan politik-terpelajar Gorontalo memang sejak awal terkesan selalu mampu menekan, mengecoh dan memanfaatkan dilema-dilema pemerintahan Belanda di Indonesia Timur. Hal mana Belanda, di sepanjang periode tersebut, demikian obsesif mengerahkan kepentingan rekolonisasinya—di wilayah yang cukup luas, plural, dan kaya sumberdaya alam Indonesia Timur.
Tom Olii bisa dikatakan sangat taktis memerankan ketokohan Islam-nya, baik melalui Muhammadiyah dalam kedudukannya yang tinggi sebagai Konsul, maupun ketika Jepang datang dengan sikap kerasnya kepada Islam, Tom Olii terlibat dan membentuk organisasi “Djamijah Islamijah”, dan selanjutnya dibubarkan dan berganti nama menjadi “Madjelis Islam” (setelah tahun 1945). Sejak periode tersebut, terutama di masa Negara Indonesia Timur”, kedudukan Tom Olii menjadi “Penasehat urusan Islam” (Adviseur voor Islamtische Zaken) dan sempat dipekerjakan khusus di Kementerian Sosial NIT.
Di Gorontalo sendiri, kedudukan Tom Olii beroleh gelar yang khas dari kalangan Adat, dengan menempatkannya sebagai “Jogugu Agama” dengan otoritas tertentu dalam menjalin urusan-urusan tertentu dengan otoritas kolonial Belanda di sepanjang 1945—1950.
Di masa yang cukup genting, seorang tokoh nasional bernama Mochtar Lutfie dari Jakarta pada pertengahan tahun 1946 mengunjungi Gorontalo dan melakukan pembicaraan khusus dengan Tom Olii, dengan maksud menentukan sikap menjelang Konferensi NIT di Denpasar (Desember 1946). Siapa Mochtar Lutfie? Kita bisa menyimak keterangan singkatnya melalui https://id.wikipedia.org/wiki/Muchtar_Lutfi. Artikel singkat tentang kiprahnya di Makassar pernah ditulis elegan oleh Buya Hamka tahun 1980-an.
Tom Olii lahir di Gorontalo pada 17 Juli 1902. Ia pernah belajar di HIS Gorontalo dan di Manado, selanjutnya menempuh pendidikan lanjutan dan aktif bekerja di Surabaya, sebelumnya di Cepu, Rembang, Jawa Tengah (1919—1924). Sepanjang periode 1925—1930 aktif bekerja di Gorontalo. Sejak tahun 1929 aktif di Muhammadiyah Celebes Oetara (Keresidenan Manado) (Dos: 15-35.0). Sejak Desember 1947, menjadi Anggota Parlemen NIT, setelah Konferensi Denpasar. Beliau juga menjad Anggota DPRS periode 1950-an. Secara super singkat, riwayat beliau terbaca melalui https://id.wikipedia.org/wiki/Tom_Olii.
Elite modern Gorontalo tidak sekadar melewati zamannya begitu saja. Mereka berhasil mematrikan peran-peran kesejarahan pentingnya untuk negeri besar ini. Karakter utama kejuangan dan kepahlawanan mereka adalah kesediaan berkorban, belajar yang banyak, tampil di masa sulit dan bergaul lintas bangsa. Bagaimana di masa kini?. Populisme dan bebalisme laku di mana-mana. ***