Sepak Bola Dalam Politik Global

Oleh:
Hamka Hendra Noer

 

FERRARO (2015) menyatakan “soccer is one of the most popular in the world and is played on all continent”, sepakbola adalah salah satu olahraga paling populer di dunia dan dimainkan disemua benua. Memang sepakbola merupakan cabang olahraga yang paling banyak digemari dan menarik perhatian masyarakat dunia—terlepas dari faktor usia, jenis kelamin, dan status sosial.

Perusahaan riset multinasional Ipsos menemukan bahwa Indonesia memiliki penggemar sepak bola terbesar di dunia. Dari seluruh responden Indonesia, proporsi yang menyukai sepak bola mencapai 69 persen. Angka ini merupakan yang tertinggi dibandingkan puluhan negara lain yang disurvei. Indonesia mengalahkan Arab Saudi yang proporsi penggemar sepak bola mencapai 67 persen, serta Uni Emirat Arab 65 persen (Annur, 2022).

Data tersebut benar, sepak bola menjadi olahraga yang paling digemari dan populer di Indonesia. Bahkan, olahraga ini dimainkan oleh semua tingkatan, mulai dari anak-anak, laki-laki, maupun perempuan, anak muda hingga orang tua. Karena itulah, masyarakat Indonesia dikenal fanatik terhadap sepak bola.

Sebagai bukti bahwa sepak bola olahraga terpopuler, pada 21 Desember 2022 unggahan Lionel Messi dalam akun instagram @leomessi memecahkan rekor dunia sebagai unggahan paling banyak disukai. Unggahan berupa galeri foto tentang keberhasilan Messi di Piala Dunia Qatar itu telah disukai lebih dari 67 juta kali dan mendapat 1,8 juta komentar (Kompas, 21/12/2024).

Sepak bola menjadi magnet tersendiri bagi para penggemarnya. Semua mata seakanterbius akan olahraga yang sering dijuluki sebagai “permainan si kulit bundar” ini.Hal tersebut menyebabkan banyaknya perhatian massa yang tersedot dan membuat orang-orang dengankepentingan tertentu, termasuk politik tertarik untuk masuk ke dunia sepak bola.

Apalagi akhir-akhir ini publik sepak bola tanah air tengah dilanda euforia dengan Timnas Indonesia. Hal ini terlihat dari antusiasme baik di dunia maya maupun dunia nyata. Apalagi, dengan bergabungnya sejumlah pemain keturunan memberikan daya tarik tersendiri. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sepak bola mempengaruhi dunia politik global.

Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas euforia pendukung Timnas Garuda di Gelora Bung Karno (GBK) yang berjumlah 70 ribu orangketika melawan Australia. Begitu pun, saya tidak membahas kehebatan Erick Thohir  mantan presiden Inter Milan (2013-2018) dan Ketua Umum PSSI (2023-2027) mampu menaturalisasi pemain keturunan yang bermain di Liga Eropa dan AS masuk dalam Timnas Garuda danmenjadikan Indonesia bisa berbicara banyak ditingkat Asia bahkan Dunia sekalipun.

Adapun soalan prestasi Timnas Garuda menuju piala dunia, biarkan PSSI lebih kompoten dan mumpuni untuk mengkaji strategi dan taktik yang dibutuhkan oleh sepak bola Indonesia. Sedangkan dalam artikel ini, penulis akan membahas korelasi antara sepak bola dan politik, dan bagaimana olahraga paling populer di dunia mempengaruhi dunia politik global.

SEPAK BOLA DAN POLITIK

Suatu ketika Frankly wakil dari Komite Olimpiade Internasional pernah berujar “sports are sports, do not mix sport with politics”. Menurutpresiden Soekarno, itu tidak benar. Antitesis Soekarno menanggapi pernyataan Frankly, “sports has something to do with politics! Indonesia proposes now to mix sports with politics”. Bagi Soekarno, justru dengan wataknya, olahraga menjadi semacam konvergensi yang mempertemukan berbagai kepentingan, termasuk politik (Bayu Aji, 2022)

Secara harfiah, sepak bola dapat digunakan sebagai alat politik. Pada tingkat negara, pertandingan sepak bola dapat digunakan untuk menunjukkan kekuatan dan keunggulan dari suatu negara. Contohnya adalah ketika Brasil memenangkan Piala Dunia tahun 1970, membantu eksistensi identitas nasional Brasil dan memperkuat posisi politiknya di Amerika Selatan.

Dalam beberapa kasus, pertandingan sepak bola dapat digunakan untuk memperkuat hubungan antara negara-negara yang memiliki hubungan politik yang rumit. Sebagai contoh, pertandingan persahabatan antara Israel dan Maroko tahun 2021 membantu memperbaiki hubungan antara dua negara tersebut. Di sisi lain, sepak bola juga dapat memperlihatkan ketidaksetaraan antara negara pesepakbola.

Selain itu, sepak bola dapat menjadi wadah bagi isu-isu sosial dan politik. Banyak pemain sepak bola terkenal menggunakan platform mereka untuk mengadvokasi isu-isu seperti hak asasi manusia, rasisme, dan kesetaraan gender. Sebagai contoh, Marcus Rashford, pemain tim nasional Inggris, menggunakan pengaruhnya untuk memperjuangkan hak makanan gratis bagi anak-anak miskin di Inggris.

Contoh lain, gerakan Black Lives Matter—perlawanan rasisme, diskriminasi, dan ketidaksetaraan yang dialami oleh orang kulit hitam di AS—juga berdampak pada dunia sepak bola, dengan banyak pemain dan tim sepak bola mengambil tindakan untuk mendukung gerakan ini. Namun, sepak bola juga dapat menjadi sumber konflik dan ketegangan politik. Banyak persaingan sepak bola memiliki sejarah panjang konflik antara tim dan pendukungnya.

Ada banyak contoh dimana pertandingan sepak bola menyebabkan kekerasan antara pendukung tim yang berbeda. Kekerasan antara pendukung sepak bola telah menjadi masalah sosial yang serius di beberapa negara. Misalnya, Hooliganisme oleh supporter Inggris ketika berlangsungnya babak Final Liga Champions Eropa tahun 1985 yang mempertemukan Liverpool dan Juventus. Di Indonesia, kekerasan terjadi antara pendukung Persija dengan Persib serta Persebaya dengan rival beratnya Arema FC.

Sepak bola memiliki korelasi yang kompleks dengan politik global karena dapat digunakan sebagai alat politik untuk menunjukkan kekuatan nasional dan memperkuat hubungan antara negara.Namun, sepak bola juga dapat memperlihatkan ketidaksetaraan ekonomi global, menjadi wadah bagi isu-isu sosial dan politik, dan menjadi sumber konflik dan ketegangan politik. Oleh karena itu, peran penting dari pemerintah danFédération Internationale de Football Association (FIFA) harus memastikan bahwa sepak bola digunakan sebagai alat positif untuk mempromosikan perdamaian dan persatuan, serta mendukung isu-isu sosial yang penting.

Dalam hal ini, FIFA sebagai organisasi sepak bola internasional harus memainkan peran yang lebih aktif dan bertanggung jawab dalam mempromosikan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan melalui sepak bola. Selain itu, penting bagi pemerintah dan organisasi sepak bola di setiap negara untuk memastikan bahwa sepak bola dipandang sebagai kekuatan positif dalam masyarakat dan digunakan untuk mendukung isu-isu sosial dan politik kemasyarakatan.

Jadi, sepak bola juga memiliki korelasi yang kompleks dengan politik global. Sepak bola dapat digunakan sebagai alat politik, menjadi wadah bagi isu-isu sosial dan politik, dan menjadi sumber konflik sekaligus ketegangan politik.

EFEK SEPAK BOLA DALAM POLITIK

“Kick politics out of football”.Ungkapan ini sering kita dengar dalam sepak bola modern, tapi apakah hal tersebut bisa benar-benar terjadi? Dalam perkembangannya sepak bola sedari dulu menjadi ruang memperjuangkan ekspresi politik dari paling kiri hingga paling kanan. Bahkan tidak sedikit klub sepak bola berdiri atas tujuan politik. Jadi, tak ayal sepak bola dapat menggerakkan massa yang besar dan suporter menjadi hal yang sangat sakral. Sampai sakralnya lebih dari ratusan klub mempensiunkan nomor punggung angka 12 sebagai wujud penghormatan pada “orang ke-12” (the twelfth man), atau sebutan untuk para suporter.

Seperti halnya Barcelona mempunyai slogan yang sangat kontra dengan Real Madrid, “Kita boleh kalah dengan siapa saja, tapi tidak dengan Madrid”. FC Barcelona adalah ideologi dan simbol perlawanan bangsa Catalan, seharusnya perlawanan mereka tertuju pada bangsa Castilan dan klub-klub sepak bola pendukung kerajaan Spanyol seluruhnya. Hal tersebut terjadi karena Real Madrid adalah klub dari ibukota Spanyol. Klub dari ibukota Spanyol tidak hanya Real Madrid, ada Atletico Madrid sebuah klub Angkatan Udara dalam sejarahnya menggunakan tentara untuk membantai penduduk Catalan saat perang saudara.

Tetapi, rivalitas Barca dengan Atletico tidaklah sekental dengan El Real. Arti kata Real dan simbol mahkota di atas lambang klub ibu kota tersebut memiliki sejarah dimana pada awal berdirinya, tidak ada nama Real pada klub ibu kota ini, hanya Madrid FC. Penambahan kata ‘Real’ pada awalan klub ini diberikan oleh Raja Spanyol, Alfonso XIII pada tahun 1920 seperti pemberian sebuah gelar the royal (bangsawan) bagi klub yang mewakili hegemoni sang Raja tersebut.

Bahkan konflik agama menjadi bumbu penyedap di sepak bola Israel, Hapoel Tel Aviv sejak berdiri 1923 sangat dekat dengan kaum kelas pekerja. Hapoel sendiri berarti pekerja yang dari namanya sudah menggambarkan haluan politiknya, mereka menentang rasisme dan zionisme. Di Liga Israel, Hapoel punya rival abadi yaitu Beitar Jerusallem FC yang justru sangat rasis dan fasis. Mereka tak pernah mau menerima pemain berkulit hitam, muslim atau berketurunan Arab.

Pernah di tahun 2013,Beitar Jerusallem FC menolak dua pemain baru muslim dan langsung memprotes keras. Berbeda dengan Hapoel yang terbuka untuk semua negara dan agama, mereka anak semua bangsa. Tak hanya di Stadion, Hapoel juga mengambil andil dalam demonstrasi jalanan bersama buruh dengan menyuarakan isu feminis dan lingkungan.

“Football its not just a simple game, its weapon of the revolution,” ungkap Che Guevara (Harris, 2011). Dalam perkembangannya sepak bola bukan cuma hal kotor dan alat politik. Jikalau memang sepak bola adalah hal yang merusak, ia tidak akan pernah bertahan berabad-abad lamanya dan tak akan pernah kering cerita mengenai sepak bola.

Cerita Didier Drogba memiliki reputasi yang begitu hebat sepanjang kariernya bermain sepak bola, menjadi legenda Chelsea setelah mengabdi di Stamford Bridge selama sembilan tahun. Sang legenda Pantai Gading mampu menghentikan perang saudara yang berkecamuk di negara asalnya.

Seperti yang dilaporkan oleh BBC pada tahun 2005, Drogba bermain untuk Pantai Gading melawan Sudan dalam ajang kualifikasi Piala Dunia 2006. Mereka wajib meraih hasil yang lebih baik dari pesaing terdekat, Kamerun yang melawan Mesir pada malam yang sama. Pantai Gading memenangkan laga tersebut. Setelah peluit panjang dibunyikan, Kamerun ditahan imbang 1-1 oleh Mesir, dengan hanya beberapa menit tersisa Kamerun mendapatkan hadiah penalti. Beruntung bagi Drogba dan kawan-kawan, penyerang Kamerun, Pierre Wome gagal mengeksekusi penalti, sehingga memungkinkan Pantai Gading lolos ke Piala Dunia untuk pertama kalinya dalam sejarah.

Setelah laga usai Drogba lalu berpidato; “masyarakat Pantai Gading,dari Utara, Selatan, Tengah dan Barat, kami membuktikan hari ini bahwa semua warga Pantai Gading dapat hidup berdampingan dan bermain bersama dengan tujuan yang sama, untuk lolos ke Piala Dunia. Kami berjanji kepada anda bahwa selebrasi akan menyatukan semua orang, hari ini kami memohon kepada kalian,” lanjutnya sembari diikuti para pemain yang berlutut. “Satu negara di Afrika dengan begitu banyak kekayaan tidak boleh jatuh ke dalam perang. Tolong taruh senjata kalian dan adakan pemilihan,” para pemain kemudian bangkit dan bersorak. “Kami ingin bersenang-senang, jadi berhentilah menembakkan senjata kalian!,” tegasnya.

Pidato Drogba itu memiliki efek yang sangat besar, membantu dua kubu yang berperang naik ke meja perundingan, gencatan senjata akhirnya ditanda tangani. Setahun berselang, Drogba mengatakan bahwa pertandingan internasional melawan Madagaskar akan diadakan di Utara Pantai Gading, Bouake, wilayah yang dulunya dikuasai oleh pemberontak. Laga tersebut digelar tahun 2007, Pantai Gading menang dengan skor 5-0 atas Madagaskar. Drogba yang turut mencetak gol pada akhir pertandingan diarak keliling lapangan. Momen tersebut kian menyatukan masyarakat Pantai Gading.

Kekuatan sepak bola adalah satu-satunya olahraga yang memiliki inner power untuk membangkitkan kebersamaan dalam melakukan perlawanan entah digunakan untuk perdamaian atau revolusi. Kita lihat, bagaimana sepak bola menjadi motor penggerak Revolusi Mesir. Keberadaan Ultras Ah-Ahly Mesir berawal dari tak mampunya partai oposisi menyuarakan haknya.Rezim Husni Mubarak memunculkan anekdot,  “satu-satunya ruang kritis dimana orang bisa mengekspresikan diri adalah Ikwanul Muslimin di Masjid dan Ultras di stadion sepakbola”. Suporter Ultras Ah-Ahly hadir saat kebebasan berserikat diberantas habis oleh rezim Mubarok.

Terjadilah Arabian Spring melanda Mesir di penghujung tahun 2010 membuat Ultras Ah-Ahly akhirnya turun ke jalan dan keluar dari jalurnya sebagai suporter. Mereka bergabung bersama jutaan rakyat Mesir lainnya dalam revolusi 25 Januari. Mereka memaksa mundur Husni Mubarak yang otoriter sudah berlangsung selama 30 tahun dengan memanfaatkan militer dan membuat demokrasi yang semu. Jika rezim memasang tentara dan polisi sebagai tameng,  maka Ultras Ah-Ahly lah garda terdepan melindungi demonstrasi rakyat. Akhirnya, rezim otoriter Husni Mubrak jatuh.

Catatan penulis, dalam sepak bola, kemenangan dengan cara tidak sportif akan dicatat dalam sejarah olah raga. Sebagaimana diingatkan oleh Lago (2016),  “keberhasilan olahraga secara menyeluruh ditentukan oleh seberapa bersih kita berdemokrasi. Semakin bersih, jujur dan beradab dalam berdemokrasi, olahraga juga akan berhasil”. Semoga dengan dilantiknya presiden Prabowo Subianto 20 Oktober 2024 menjadi momentum kemenangan buat rakyat dan suporter Indonesia. Bagi rakyat, esensi berdemokrasi, kemenangan kedaulatan rakyat. Dan bagi suporter, kebangkitan sepak bola Indonesia menuju pentas dunia. (*)

 

Penulis adalah Dosen Ilmu Politik, FISIP,
Universitas Muhammadiyah Jakarta

Comment