Oleh:
Dahlan Iskan
HOTEL saya di Madinah hanya sepelemparan piring dari Masjid Abu Bakar. Berarti Anda sudah tahu: dekat sekali dengan gerbang 316 Masjid Nabawi –masjid utama yang dulunya rumah Nabi Muhammad.
Antara hotel saya dan masjid Abu Bakar ini dipisahkan oleh taman kecil. Biar pun pohonnya tumbuh dengan malasnya, tapi ada beberapa tempat duduk melingkar. Bisa duduk-duduk melihat begitu banyak merpati berebut makanan yang Anda tebarkan.
Antara masjid Abu Bakar dan Masjid Nabawi kini juga sudah ada taman. Lebih besar. Tempat duduknya lebih banyak. Indah. Rapi. Tertata. Seperti di Amerika.
Bisa sambil melihat orang belanja emas di dekat taman itu. Atau lihat antrean di KFC yang panjang. Ada loket antre khusus wanita.
Pohon-pohon di taman ini juga sangat malas bertumbuh seperti tidak bisa menghargai semangat yang menanam mereka.
Udara kering. Sejuk tapi kering. Terasa baal di wajah. Di bibir. Di telapak. Sinar matahari seperti lampu yang volumenya dinaikkan.
Setiap kali hendak salat di Masjid Nabawi selalu melewati masjid Abu Bakar: mungil, antik, indah. Masjid ini difungsikan sebagai monumen: di situlah dulu rumah Abu Bakar, pemimpin Islam pertama setelah Nabi Muhammad wafat.
Sesekali masjid dibuka. Saya juga ingin lihat dalamnya: karpet tebal. Tidak ada yang lain. Saya lihat beberapa orang salat di karpet itu. Tidak boleh lama-lama. Gantian.
Masjid Abu Bakar ini juga hanya sepelemparan piring dari Masjid Ali bin Abi Thalib: pemimpin keempat setelah Abu Bakar, Umar, dan Usman.
Masjid Ali juga berfungsi sebagai monumen: di situlah dulu rumah Ali.
Masjid monumen ini belum dibuka untuk umum. Lingkungannya masih direnovasi. Dibuatkan taman.
Berarti rumah dua khalifah itu berdekatan. Di satu taman yang tersambung: untuk perspektif saat ini.
Tapi di zaman itu letak rumah dua khalifah tersebut bisa beda RT. Atau beda gang. Beda lorong.
Pun dengan rumah Nabi Muhammad, yang kini jadi bagian terlama Masjid Nabawi: di halaman yang sama. Tapi di zaman itu bisa terasa lebih jauh.
Banyak rumah kampung yang memisahkannya. Karena Masjid Nabawi terus diperluas –dan halamannya terus ditambah– maka rumah Nabi, rumah Abu Bakar dan rumah Ali seperti tidak berjarak lagi.
Meski jarak rumah mereka begitu dekat perbedaan pendapat dua tokoh itu bisa begitu jauh.
Anda sudah tahu: begitu Nabi Muhammad wafat, ada pertemuan penting di teras rumah milik tokoh asli Madinah: Sa’ad bin Ubadah.
Teras ini dulunya jadi tempat berkumpul tokoh-tokoh dari suku tuan rumah. Tapi sejak Nabi Muhammad pindah ke Madinah (dari Makkah) tempat berkumpul itu pindah ke rumah Nabi.
Begitu ada kabar Nabi wafat, tokoh-tokoh asli Madinah kumpul kembali di teras rumah Sa’ad. Mereka membicarakan siapa yang harus menggantikan Nabi sebagai pemimpin masyarakat.
Sa’ad sendiri, sebagai tuan rumah, lagi sakit. Agak berat. Padahal suaranya sangat ditunggu. Maka Sa’ad mewakilkan ke anaknya untuk berbicara. Intinya: pemimpin baru harus dari suku Madinah asli.
Selama Nabi tinggal di Madinah memang banyak tokoh dari Makkah yang ikut tinggal di Madinah. Suku mereka berbeda. Tokoh seperti Sa’ad khawatir pemimpin baru nanti dari kaum pendatang. Padahal yang paling berjasa atas Islam adalah orang Madinah.
Mereka tahu: saat Nabi menyebarkan Islam di kampungnya, penentangan luar biasa. Sampai Nabi mau dibunuh. Begitu Nabi hijrah ke Madinah masyarakat Madinah menyambut dengan sukacita: sampai berebut agar Nabi mau tinggal di rumah mereka.
Islam pun berkembang dari Madinah. Dari rumah Nabi yang kini jadi Masjid Nabawi itu.
Tentu tokoh-tokoh pendatang mendengar: ada rapat besar di teras rumah Sa’ad. Mereka pun ke sana. Perkumpulan di teras itu membesar. Campur.
Para tokoh mengemukakan pendapat tentang bagaimana setelah Nabi wafat. Termasuk tokoh pendatang seperti Abu Bakar dan Umar.
Mereka saling adu pendapat. Yang sudah bicara pun bicara lagi. Terus bergantian. Saling merekomendasikan nama yang pantas menggantikan Nabi Muhammad. Baik yang dari pendatang maupun tokoh asli Madinah.
Ada satu tokoh penting yang tidak hadir: Ali bin Abi Thalib. Suami Fatimah, berarti menantu Nabi Muhammad.
Saat itu Ali pilih berada di rumah Nabi. Mengurus kematian mertuanya itu.
Jarak antara rumah Nabi dengan teras itu kira-kira 500 meter. Tentu, waktu itu, dipisahkan oleh banyak rumah, rumah kampung model Arab.
Di perhelatan di teras itu banyak yang menyebut nama Umar pantas jadi pemimpin baru. Tentu banyak juga yang tidak setuju.
Akhirnya, setelah bertele-tele, Umar berdiri. Ia menggapai Abu Bakar. Ia menyatakan bai’at pada Abu Bakar. Ia angkat Abu Bakar sebagai pemimpin barunya.
Melihat apa yang dilakukan Umar yang lain pun ikut bai’at. Jadilah Abu Bakar, tergolong paling tua saat itu, khalifah pertama.
Tentu ada yang khawatir: bagaimana kalau Ali tidak mau mengakui Abu Bakar sebagai pemimpin baru. Bukankah banyak yang berpendapat Ali-lah yang sebenarnya lebih berhak jadi pemimpin baru. Nabi sendiri mengakui kehebatan Ali –dan orang tahu itu.
Maka dicarilah Ali: agar mau ke teras itu untuk berbai’at pada Abu Bakar.
Ketika ada yang berhasil menemuinya, Ali pun menjawab: apakah jenazah Nabi dibiarkan tidak ada yang mengurus?
Banyak sekali tafsir atas ucapan Ali itu. Sebagian tafsir menilai Ali memang tidak mau mengakui kepemimpinan Abu Bakar. Ali merasa dirinya lebih berhak memimpin.
Banyak juga yang menilai Abu Bakar terpilih hanya karena Ali tidak hadir di teras itu. Seandainya ada Ali di sana keadaan bisa berbeda.
Memang ada juga yang menilai Ali masih terlalu muda. Saat itu. Mungkin semuda Gibran –untuk menafsirkan apa yang pernah diucapkan Khofifah Indar Parawansa saat kampanye untuk Prabowo-Gibran. Saat ikut Nabi hijrah ke Madinah usia Ali 23 tahun.
Tanpa pengakuan dari Ali, legitimasi Abu Bakar kurang kuat. Maka ada upaya untuk memaksa Ali berbai’at ke Abu Bakar.
Ali tetap tidak mau. Sampai pun rumah Fatimah dikepung.
Begitu penting peristiwa di teras itu. Dari situlah istilah ijma ulama bermula.
Ahli-ahli sejarah dari dunia Barat pun banyak melakukan penelitian peristiwa di teras itu. Mereka meneliti sebagai ilmuwan murni.
Tanpa keterikatan emosi dan keimanan. Anda bisa banyak belajar dari literatur independen tersebut. Tidak hanya seperti di pelajaran tarikh Islam di madrasah.
Dalam sejarah Islam peristiwa di teras itu terkenal dengan sebutan saqifah Bani Saidah. Artinya: teras Bani Saidah.
Rumah berteras itu memang rumah keprabon keturunan Saidah, tokoh besar di Madinah sebelum Islam.
Saya ke teras itu Jumat lalu. Diantar oleh Mas Bajuri, pemilik travel Bakkah yang membawa saya umrah sekarang ini.
Saat saya masih menjadi Pak Boss dulu, Mas Bajuri menjadi pemred mingguan Nurani –media untuk ummat. Ia lulusan fakultas syariah (hukum Islam) UIN Sunan Ampel Surabaya.
Saya yang minta untuk diantar ke teras itu. Ternyata memang dekat sekali. Teras itu sekarang sudah mepet ke halaman Masjid Nabawi.
Jangan berharap terasnya masih ada. Teras itu sudah jadi tanah kosong. Hanya ada satu pohon di pojoknya.
Tanah kosong itu dipagari. Mungkin akan jadi hotel sebentar lagi.
Bahwa di situlah teras Bani Saidah bisa Anda baca dari tulisan yang ada di pagar itu. Banyak orang berkelompok di halaman masjid di dekat pagar itu: mereka mendapat penjelasan dari tour leader soal terpilihnya Abu Bakar. Versi mereka masing-masing.
Setelah melihat pagar itu saya berkesimpulan: bergegaslah ke Madinah. Mumpun jendelanya masih ada –ups, mumpun pagarnya masih ada. (Dahlan Iskan)
Comment