Cendekiawan Muslim yang Sarjana Sejarah (Azyumardi Azra, 1955-2022)

Oleh :
Basri Amin

Beliau adalah cendekiawan Paripurna. Professor yang terang-benderang membuktikan marwah (panggilan) “profession” dan konsisten menjaga tanggung jawab Toga Hitam kesarjanaannya. Baktinya untuk Indonesia terpantul dari sikap-sikap hidup, keteladanan, dan karya-karyanya. Negeri ini sungguh berbangga (pernah) ‘melahirkan’ seorang Azyumardi Azra, Sang Mahaguru Kajian Sejarah Islam Asia Tenggara. Karya seminalnya, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII (1992 [1994]) dipuji di tingkat dunia. Karya ini dirujuk oleh hampir semua studi-studi Islam dan Asia Tenggara di Barat dan di Timur.

Untuk menghasilkan karya hebat ini, lebih dua tahun beliau melakukan studi di Aceh, Jakarta, Ujung Pandang, Yogyakarta, Kairo, Makkah, Madinah, Leiden, New York, dst. Hasilnya adalah sebuah disertasi yang dipuji di Universitas Columbia (1992). Tapi, Azyumardi (tetap) menyebut karyanya sebagai “langkah awal dalam upaya menyelidiki sejarah sosial dan intelektual ulama dan pemikiran Islam di Indonesia”. Rendah hati betul! Padahal, tidak kurang dua puluh delapan manuskrip langka telah dikaji olehnya sekian tahun; membaca dan merujuk sekitar lima belas jurnal ilmiah tingkat dunia tentang Indonesia, Asia, Timur Tengah dan Islam. Selanjutnya, tidak kurang dari lima ratus enam puluh tiga artikel, disertasi, dan literatur yang dipelajari dan dirujukan dengan sangat ketat dalam penulisannya.

Beginilah ciri-ciri sarjana dan cendekiawan yang sebenarnya: intim dengan rujukan, luas bacaannya, gigih belajar dan mencari data, jujur-kritis merujuk karya orang lain, persisten menyelidiki dan menghayati subject matter yang dikajinya, dan mendalam pemahamannya. Temuan-temuan dan gagasan harus dibuka di depan mata sarjana lain atau di tengah-tengah community of scholars.

Hari-hari ini, menjadi sarjana, pakar, birokrat, profesional, politisi, dan aktivis, ukurannya relatif mudah ditandai. Dewasa ini kita juga makin mudah menemukan kalangan “cerdik-pandai-terpelajar…”. Gelar-gelar akademis adalah bagian dari “pesta” foto-foto, “selebrasi” acara oleh kawanan sendiri, dan “panggung” klaim diri yang dipublikasi. Padahal, keringat-karya, isi kepala, wawasan hidup, dan penghayatan kesarjanaan lebih tampak sebagai “tambal-sulam” yang terus-terusan dihiasi cahaya kepalsuan.

Cendekiawan, kendati adalah juga sebuah status dan pencapaian yang tak terpisah dengan kerja-kerja pengetahuan–, tapi sesungguhnya keberadaan cendekiawan tak begitu jelas di masa sekarang. Bukankah semua orang dengan mudah mengumpul pengetahuan dan membangun status keterpelajaran?. Tentang bidang apa saja! Anda percaya atau tidak padanya, soal teruji-tidak isinya, itu soal lain. Dalam perkara “ilmu” pun, di mana-mana “pasar-bebas” sudah terbuka. Sarjana dan gelar sudah di mana-mana.

Bahkan kini, yang lebih sering tampak di permukaan adalah sebuah gejala kesarjanaan yang, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Bung Hatta, yakni tentang “intelektual yang disewa oleh para penguasa” (Hatta, 1984).

Jika cendekiawan adalah para pemikir, maka kampus adalah gudangnya cendekiawan. Tapi, sungguh benarkah demikian? Mengakukah dengan status tersebut bagi mereka yang bekerja di kampus? Jika cendekiawan harus bergelar akademis, apakah jejak cendekiawan besar dalam sejarah dunia meniscayakan gelar? Atau, apakah cendekiawan haruslah beririsan dengan jabatan tertentu di ranah publik?

Posisi “cendekiawan” sepertinya membawa persoalan tersendiri. Terutama, bagi mereka yang hendak, atau yang sudah merasa, pantas menyandang sebutan (sebagai) Cendekiawan –-dengan “C” besar–, dengan label tambahan lainnya. Di sisi lain, haruskan cendekiawan punya organisasi? Apa saja bentuk-bentuk karya dan kerjanya sehingga ia dipandang pantas hadir di sebuah masyarakat yang maju kebudayaannya?

Berkaca dari Professor Azyumardi Azra (1955-2022), semoga kita semua dan negeri tercinta ini masih terus tumbuh dan melahirkan anak-anak negeri yang teguh dalam mengerjakan tugas-tugas keilmuannya. Beliau tak pernah berhenti bekerja untuk keluhuran “kebajikan publik” di mana falsafah, sejarah, ilmu, biografi, dan agama menjadi sumber yang senantiasa segar dan menyegarkan nalar dan nurani kita sebagai bangsa dan sebagai umat Manusia. Di antara sekian banyak karya hebat Prof. Azyumardi Azra adalah “Perspektif Islam di Asia Tenggara (Columbia, 1988-1989). Sebuah karya suntingan yang sangat berharga karena berhasil mengurai banyak rujukan terkemuka dan menilainya.

Kendati demikian, bagi kita di Utara Sulawesi, khususnya Gorontalo, peta penting penyebaran Islam Nusantara ternyata “tidak terlihat” bahwa kita punya relasi islamisasi dengan Sulu (1450) dan Mangindanau (1480), melainkan secara jelas melalui jalur Ternate, Maluku Utara (1490) ke Manado dan Gorontalo (1495). Terima kasih Prof. Azyumardi. Selamat kembali kepadaNya. ***

Comment