oleh:
Gusnar Ismail
Hubungan Pusat dan Daerah
Asas yang dianut undang-undang pemerintahan daerah berimpilkasi pada pola hubungan pusat-daerah. Menurut Pasal 1 butir 7 UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah [pusat] kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah hakekatnya menja diwewenang, tanggungjawab, tugas, dan kewajiban daerah, baik penentuan kebijakan, perencanaan, maupun pembiayaannya. Pelaksana tugas penyelenggaraan urusan-urusan yang telah diserahkan itu dalah perangkat daerah itu sendiri, khususnya dinas-dinas daerah. Sedangkan pengertian dekonsentrasi menurut Pasal 1 butir 8 UU No.32/2004 adalah pelimpahan wewenang oleh pemerintah [pusat] kepada gubernur sebagai wakil pemerintah [pusat] dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Urusan-urusan yang dilimpahkan itu tetap menjaditanggungjawab pemerintah pusat, baik mengenai perencanaan, pelaksanaan, maupun pembiayaannya. Pelaksana urusan yang didekonsentrasikn adalah perangkat wilayah termasuk instansi vertikal.
Menurut Salamoen [1994] hubungan pusat dan daerah dapat dilihat dari beberapa pendekatan yakni,
a] Pendekatan sistem, dimana hubungan pusat dan daerah merupakan hubungan dalam kerangka sistem pemerintahan negara.
b] Pendekatan kewilayahan, dimana hubungan pusat dan daerah merupakan hubungan kewilayahan. Suatu wilayah adminstratif sebagi bagian dari wilayah kesatuan. Suatu daerah otonom merupakan daerahnya negara kesatuan.
c] Pendekatan adminstratif, hubungan pusat dan daerah merupakan hubungan dalam kerangka satu sistem adminstrasi secara nasional.
d] Pendekatan manajemen pemerintahan, terdapat beberapa jenis hubungan pusat dan daerah yakni, hubungan tugas, hubungan fungsional, hubungan hirarkis, hubungan keuangan, dan hubungan tanggungjawab.
Merujuk pada makna dan pendekatanhubunganpusat dan daerah, maka polahubungan pusat dan daerah merupakan manisfestasi dari sistem politik dan ketatanegaraan yang dianut oleh rezim yang berkuasaseperti yang termaktubdalamundang-undangtentangpemerintahandaerah.
Menurut Sarundayang [2005] ada dua model utama dalam hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yakni model pelaksana, dan model kemitraan. Pemerintah daerah model pelaksana ciri yang menonjol adalah pemerintah daerah hanya berkewajiban melaksanakan kebijakan yang dibuat secara terpusat dengan diskresi yang sangat kecil dengan tanpa hak untuk berbeda. Implikasinya pemerintah daerah hanya berkedudukan sebagi obyek yang bergantung kepada pejabat birokrasi yang terpusat.
Pemerintah dengan ciri model kemitraan adalah pemerintah daerah yang diakui memiliki legitimasi politik dan berwenang menguasai sumber daya dan berwenang dalam bidang perundang-undangan. Dalam model ini pemerintah daerah berkedudukan sebagai subyek penyelenggaraan pemerintahan daerah, meskipun demikian dalam hubungan kemitraan ini pemerintah daerah tetap dalam posisi sub ordinative terhadap pemerintah pusat. Hal tersebut adalah logis karena dalam negara kesatuan, pemerintah pusat yang memiliki kewenangan tertinggi dan tidak ada negara dalam negara.
Jika pola hubungan pusat-daerah dikaitkan dengan bandul sentralisasi dan desentralisasi serta perundang-undangan tentang pemerintahan daerah, maka akan memperlihatkan kecenderungan kearah pola hubungan keagenan atau kepola hubungan kemitraan, misalnya pola hubungan pusat-daerah yang dikonstruksi dalam UU No. 5/1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah adalah kesetaraan atau kemitraan, dimana undang-undang ini menggunakan asas dekonsentrasi dan desentralisasi dilaksanakan secara bersama-sama. Kaloh [2002] mengatakan, konstelasi sedemikian dibangun untuk menjamin integrasi nasional dan persatuan dan kesatuan nasional yang kuat, dilain pihak tetap menjamin munculnya inovasi dan kreativitas daerah yang mengacu pada paradigma otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab. Pola hubungan pusat-daerah menurut UU No.5/1974 dalam pelaksanakannya mengalami deviasi sehingga dominasi pemerintah pusat makin besar yang kemudian menyebabkan ketergantungan daerah kepusat, sehingga pola hubungan pusat-daerah selama pelaksanaan UU No.5/1974 cenderung menjadi pola hubungan keagenan.
Pola hubungan yang dikonstruksi UU No.5/74 berbanding terbalik dengan pola hubungan pusat-daerah dalam UU No.22/1999 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 4 Ayat [1] dan [2] menegaskan bahwa pemerintah provinsi dan daerah kabupaten/kota tidak mempunyai hubungan hierarki. Tekanan otonomi daerah adalah pada kabupaten/kota sebagai daerah otonom, sedangkan provinsi sebagai daerah otonom sekaligus sebagai wilayah admintrasi. Impilkasinya, hubungan koordiansi pusat-daerah tetap relevan, namun fungsi pengarahan berubah menjadi konsultasi. Oleh sebab itu hubungan antar daerah dan antar tingkat pemerintahan lebih bersifat konsultatif dan koordinatif dalam nuansa kemitraan [Riyadi & Brata kusumah, 2004], dengan demikian, pola hubungan yang efektif antara pusat-daerah dalam konteks UU No. 22/1999 adalah hubungan kemitraan.
Dalam UU No.32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah, pola hubungan kemitraan pusat-daerah menjadi lebih terukur, sebagaimana diatur pada Pasal 2 Ayat [5] yang menyebutkan hubungan sebagaimana dimaksud pada Ayat [4] meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam, dan sumber daya lainnya.
Aplikasi pola hubungan pusat-daerah di era otonomi luas,nyata, dan bertanggungjawab, maka pemerintah pusat yang menetapkan standard, melakukan fungsi monitoring, supervisi, mengawasi, dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah pada daerah otonom, pola hubungan kemitraan pusat-daerah di negara kesatuan tidak menghilangkan fungsi dan peran pemerintah pusat.
Dalam konteks penanganan pandemi covid-19, UU No.32/2004 Bab III Pasal 13 [1] point e dijelaskan bahwa bidang kesehatan skala provinsi menjadi urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi, Pasal 14 [1] bidang kesehatan dengan skala kabupaten/kota merupakan urusan wajib dan menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota.
Berdasarkan UU ini maka hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait distribusi kewenangan dan tanggungjawab dalam menangani pandemi covid-19 telah diatur dengan jelas, dimana pemerintah daerah kabupaten/kota berwenang dan bertanggungjawab atas penanganan pandemi covid-19 yang berskala kabupaten/kota, apabila terjadi eskalasi pandemi maka penanganannya menjadi kewenangan dan tanggungjawab pemerintah daerah provinsi, demikian selanjutnya pemerintah pusat dapat mengambil alih kewenangan dan tanggungjawab penanganannya apabila pandemi covid-19 esekalasinya bersakala nasional.
Dalam menghadapi meluasnya pandemi covid-19 pemerintah telah mengambil kebijakan, antara lain;
- Menetapkan pandemi covid-19 sebagai bencana nasional
- Kampanye “Mencuci tangan pakai sabun, Menggunakan Masker, Mengatur Jarak”
- Pembatasan Sosial Berskala Besar [PSBB]
- Bantuan sosial kepada masyarakat terdampak
- Pemulihan Ekonomi Nasional [PEN]
- Adaptasi tatanan kehidupan baru.
Dengan sinergi pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota manajemen penanganan pandemi covid-19 telah berjalan dengan baik namun perangkat dan sumber daya yang ada di pemerintah daerah khususnya kabupaten/kota belum dimanfaatkan dengan optimal, misalnya pemerintah kecamatan, desa/kelurahan, organisasi kemasyarakatan tingkat kecamatan/desa/kelurahan, tokoh agama, tokoh masyarakat belum digerakkan secara optimal, paling tidak untuk menyelenggarakan upaya pencegahan melalui kampanye “mencuci tangan, menggunakan masker, mengatur jarak’.
Sebagai konsekwensi negara kesatuan dengan sistem desentralisasi maka peran dan determinasi pemerintah pusat dalam penanganan pandemi covid-19 sangat besar, hal ini dapat dimaklumi karena pemerintah pusat memilki kewenangan tertinggi atas tingkatan pemerintahan yang ada, pandemi covid-19 dinyatakan sebagai bencana nasional, dan pemerintah pusat memiliki sumber daya keuangan yang besar, namun perangkat pelaksana pemerintah pusat tidak cukup untuk mengatasi pandemi covid-19 yang menyebar hampir keseluruh daerah. Oleh karena itu desentralisasi penangannya seyogyanya didistribusikan kepemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten dan kota dengan otonomi yang ada dipandang mampu mengatasi permasalahan tersebut sedangkan pemerintah pusat sebagai pengambil kebijakan strategis dan pengawasan, khusus pemerintah daerah provinsi disamping berperan melaksanakan penanganan pandemi covid-19 dengan skala provinsi juga berperan sebagai koordinator pemerintah daerah kabupaten dan kota dalam kapasitas gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Kehadiran pemerintah adalah sesuatu yang urgen bagi proses kehidupan masyarakat. Di tingkat lokal, kewenangan di bagi berdasarkan wilayah yang ada diberbagai pemerintahan daerah di seluruh negara [Sarundayang, 2005].
Untuk mewujudkan fungsi pemerintahan tersebut, maka pemerintahan perlu semakin didekatkan kepada masyarakat, sehingga pelayanan yang diberikannya menjadi semakin baik. Menurut Smith [dalam Rasyid, 1998], salah satu cara untuk mendekatkan pemerintahan kepada masyarakat adalah dengan menerapkan kebijakan desentralisasi. Asumsinya, pemerintahan berada dalam jangkauan masyarakat, pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat, hemat, murah, adaptif, responsive, akomodatif, inovatif dan produktif serta partisipatif. Dalam rangka penanganan pandemi covid-19 pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bersinergi.
Pemerintah daerah harus kreatif dan inovatif dalam mengambil kebijakan yang senantiasa dikoordinasikan dengan pemerintah pusat. Arahan pemerintah pusat melalui Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional harus menjadi rujukan dalam penanganan pandemi covid-19. Semua kebijakan daerah yang terkait dengan covid-19 harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada pemerintah pusat. Dari aspek efesiensi dan kecepatan pengambilan dan pelaksanaan kebijakan konsultasi kepusat yang dilakukan oleh pemerintah daerah akan memperlambat implementasi kebijakan namun disadari bahwa konsultasi kepusat dilkakukan seiring dengan upaya alokasi anggaran untuk menunjang pelaksanaan kebijakan di lapangan. (bersambung)
Penulis Adalah : Tenaga Profesional Bid. SosialBudaya dan PolitikDalam Negeri Lemhannas R.I
Comment