GORONTALO -GP- Kemiskinan sepertinya masih menjadi momok bagi pemerintah daerah di Gorontalo. Kendati begitu banyak program dan anggaran yang telah digelontorkan oleh pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten-kota untuk pengentasan kemiskinan, faktanya Gorontalo belum bisa keluar dari lima besar provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi secara nasional.
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai data penduduk miskin di Indonesia untuk periode September 2020 menunjukkan, angka kemiskinan di Gorontalo mencapai 15,59 persen. Angka itu menjadikan Gorontalo berada di peringkat lima nasional di bawah Provinsi Papua yang menempati peringkat pertama provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi sejumlah 26,80 persen, disusul Papua Barat sejumlah 21,70 persen, Nusa Tenggara Timur 21,21 persen, dan provinsi Maluku sejumlah 17,99 persen.
Angka kemiskinan di Gorontalo pada September 2020 sejumlah 15,59 persen ini mengalami peningkatan dibandingkan Maret 2020 sebesar 15,22 persen serta September 2019 sejumlah 15,31 persen. Angka kemiskinan sebesar 15,59 persen pada September juga menjadikan Gorontalo sebagai provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Pulau Sulawesi. Gorontalo kalah dengan Sulawesi Barat yang malah lebih bungsu dari Gorontalo.
Angka kemiskinan di Sulawesi Barat hanya mencapai 11,50 persen. Data BPS menyebutkan, angka kemiskinan Gorontalo naik 0,37 persen dibandingkan maret 2020, atau sebanyak 185,31 ribu jiwa (september 2020), meningkat kurang lebih 290 jiwa terhadap maret 2020.
BPS mencatat sejumlah faktor yang menjadi penyebab kemiskinan di Gorontalo meningkat, yakni tingkat pengangguran terbuka (TPT) naik, pada agustus 2020 menjadi 4,28 persen, dibanding dengan agustus 2019 3,76 persen. Kondisi ini diperparah dengan pandemi Covid-19, dimana sebanyak 118,19 ribu penduduk usia kerja terdampak Covid-19.
Rincinya, 6,31 ribu penduduk menjadi pengangguran akibat Covid-19, 2,85 ribu penduduk menjadi bukan angkatan kerja akibat covid-19, 5,73 ribu penduduk sementara tidak bekerja, serta 103,30 ribu penduduk bekerja dengan pengurangan jam kerja akibat Covid-19. Faktor lainya yang ikut mempengaruhi angka kemiskinan di Gorontalo, adalah lanju inflasi umum relatif rendah, yakni tercatat 0,01 persen. Terjadi penurunan indeks harga konsumen pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 1,12 persen. Hal tersebut menjadi idikasi terjadi pelemahan daya beli masyarakat.
Dilansir dari merdeka.com, hasil survei BPS periode September 2020 mencatat memang jumlah orang miskin di Indonesia secara nasional naik menjadi 10,19 persen atau sebanyak 27,55 juta. Jumlah penduduk miskin itu tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Dilihat dari sisi persentase paling tinggi di Pulau Maluku dan Papua yaitu sebesar 20,65 persen. Jika dirinci per provinsi Papua juga masih paling besar yakni 26,8 persen.
Sedangkan dari Pulau Sulawesi berjumlah 2,06 juta atau setara 10,41 persen. Kemudian Pulau Sumatera berjumlah 6,06 juta orang atau 10,22 persen. Dari Pulau Jawa berjumlah 14,75 juta orang atau 9,71 persen. Dari Pulau Bali dan Nusa Tenggara berjumlah 2,11 juta orang atau setara 13,92 persen. Dari Pulau Kalimantan berjumlah 1,01 juta atau setara 7,51 persen.
Sementara itu, kenaikan jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode Maret 2020 dan September 2020 disebabkan oleh adanya pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia. Pada Agustus 2020, tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 7,07 persen, naik 1,84 persen dibandingkan Agustus 2019 sebesar 5,23 persen. Lebih lanjut, sebanyak 29,12 juta penduduk usia kerja atau 14,28 persen terdampak Covid-19 pada Agustus 2020, dengan rincian: 2,56 juta penduduk menjadi pengangguran, 0,76 juta penduduk menjadi bukan angkatan kerja 1,77 juta penduduk. Sementara tidak bekerja 24,03 juta penduduk bekerja dengan pengurangan jam kerja.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan jumlah kemiskinan yakni penurunan pendapatan yang dialami oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Meski demikian, masyarakat yang berada dalam lapisan bawah terdampak lebih dalam dibandingkan dengan lapisan atas. “Misal waktu itu disampaikan untuk lapisan bawah, tujuh dari 10 responden mengaku pendapatan turun, sementara kelompok atas hanya tiga dari 10 responden, dan ini (pandemi Covid-19) menyebabkan penurunan dari seluruh lapisan masyarakat,” kata Kepala BPS Suhariyanto.
Dia menjelaskan, laju inflasi secara umum juga sangat rendah. Hal itu terjadi lantaran pandemi memukul baik dari sisi penawaran dan permintaan. Selama Maret hingga Desember 2020, banyak komoditas yang mengalami penurunan harga, seperti harga beras yang turun 0,49 persen.
Berdasarkan laporan BPS, gini ratio di pedesaan pada September 2020 tercatat sebesar 0,319, naik dibanding Maret 2020 yang sebesar 0,317 September 2019 yang sebesar 0,315. Sementara gini ratio perkotaan pada September 2020 tercatat sebesar 0,399, naik dibanding Maret 2020 yang sebesar 0,393 dan September 2019 yang sebesar 0,391.
Menyikapi publikasi BPS ini, Kementerian Keuangan mengatakan, peningkatan jumlah penduduk miskian tersebut masih lebih baik dari proyeksi Bank Dunia, di mana angka kemiskinan Indonesia bisa mencapai 11,8 persen akibat pandemi Covid-19. “Artinya, program PEN sepanjang 2020 diperkirakan mampu menyelamatkan lebih dari 5 juta orang menjadi miskin baru,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febiro Kacaribu, dalam keterangan tertulisnya.
Namun demikian, hingga akhir tahun realisasinya mencapai Rp 579,78 triliun atau 83,4 persen dari yang sudah dialokasikan. Febrio mengatakan, intervensi pemerintah tersebut telah melindungi masyarakat tidak hanya dari kalangan miskin dan rentan, namun juga dari kelas menengah.
“Program tersebut berupa perluasan penerima dan manfaat Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Sembako, Bantuan Sembako Jabodetabek, Bantuan Sembako Tunai, Bantuan Langsung Tunai Dana Desa, Bantuan Beras PKH, Bantuan Tunai Penerima Kartu Sembako, Subsidi Gaji/Upah, Kartu Pra Kerja, Diskon Listrik, Subsidi Kuota Internet untuk mendukung Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), Bantuan Subsidi Upah (BSU) BPJS Ketenagakerjaan dan tenaga pendidik honorer,” ujar Febrio.
Realisasi sementara program perlindungan sosial untuk mendukung konsumsi rumah tangga mencapai Rp 220,39 triliun di sepanjang 2020 atau lebih tinggi dari alokasi awal sebesar Rp203,9 triliun. Selain itu, pemerintah juga mendukung masyarakat miskin dan rentan melalui insentif dunia usaha, terutama kepada kelompok Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), agar tetap bertahan dari dampak pandemi. “Dukungan PEN untuk UMKM diberikan untuk menopang permodalan dan cash flow agar tetap bertahan dan dapat melakukan jump start pada masa pemulihan ekonomi,” jelas Febrio. (merdeka/rmb)
Comment