Oleh :
Basri Amin
Bagi banyak orang, kampung adalah ruang untuk sebuah tingkat praktik kehidupan bernama “pergi”, sekaligus sebagai ruang yang akan memintanya untuk “pulang”. Di sini, ada kuasa budaya yang tak bisa kita tolak, sadar atau tidak, bahwa kampung tak mungkin dilupakan orang. Banyak orang yang bahkan berwasiat untuk “dimakamkan” di kampung halamannya. Orang boleh berkarier “setinggi langit”, tapi adalah mustahil untuk ia mampu melupakan kampung-nya. Itu adalah sesuatu yang tidak mungkin, meskipun yang bersangkutan boleh jadi sudah lama “mengabaikan” kampungnya, bisa karena rantau, ikatan keluarga baru atau pun karena trauma.
Ketika menyebut kata “kampung”, memang selalu ada kesan sebagai sesuatu yang berada di kejauhan, di desa-desa yang guyub, penuh keterbatasan, agraris atau pun pesisiran. Kampung, untuk sekian lama, untuk sebagai orang, juga terkesan sebagai sesuatu yang sebaiknya (?) “ditinggalkan”, entah untuk sementara atau pun untuk selamanya –tanpa bermaksud melupakannya–. Ini tentu sejalan dengan kondisi kita beberapa dekade silam bahwa semua simbol dan fasilitas kemajuan berada di perkotaan, bukan di perdesaan –yang bersuasana kampung–.
Dulunya, meninggalkan kampung (halaman) selalu didasarkan oleh cita-cita untuk mencari kemajuan. Kampung lalu identik dengan desa-desa yang pedalaman, kemudian kota-kota identik dengan keterdidikan dan kemakmuran. Tradisi “merantau” pun berkembang luas. Kebanyakan karena alasan ekonomi (berniaga atau bekerja) dan untuk perbaikan pendidikan (sekolah lebih tinggi dan bermutu).
Budaya “pergi” (ke luar kampung, ke kota-kota lain, dst) kemudian meluas dan berlangsung lama, sementara tradisi “pulang” (kampung) menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dengan jenis “pelampiasan” tertentu. Gejala ini sudah tentulah tidak bermakna tunggal karena kerinduan terhadap kampung bisa ditemukan alasan-alasan emosional dan religiusnya sekaligus. Mudik lebaran adalah contohnya! Sangat terpisah dengan gejala liburan yang lebih memberi kebebasan kepada kita untuk “pergi” ke suatu tempat yang kita pilih sendiri, tradisi mudik -–meskipun meluas dan heboh— tapi ruangnya sangat terbatas dan tunggal, yakni hanya diperuntukkan untuk (kembali) ke “kampung halaman”. Padahal, kembali atau pulang, dalam arti mudik sangat jelas tidak permanen. Mereka akan pulang untuk pergi (kembali) ke tempat mereka bekerja dan beranak-pinak (misalnya, di Jakarta, dst).
Masalah jarak, transportasi, biaya dan waktu, dengan mudah dikalahkan oleh “panggilan rindu” kampung halaman itu. Dasar rindu seperti ini sangat kultural, dan bahkan bisa dikatakan azasi dan religius bagi setiap orang. Nilai silaturrahim, tradisi ziarah kubur, ritual “ketupat” dan bersedekah, adalah beberapa faktor nyata. Terang sekali, agama dan budaya bertemu dengan erat dan hangat ketika masyarakat manusia berdaulat menentukan aktivitasnya.
Kampung adalah dasar yang memberi ikatan tertentu kepada seseorang atau sekelompok orang. Meski demikian, bobotnya tidaklah selalu sama dan sebangun, bagi setiap orang. Bagi sebagian masyarakat¸ persamaan kampung adalah pengikat dan rujukan identitas, tapi bagi sebagian yang lain, kampung tidak lebih sebagai nostalgia, masa lalu, atau rujukan bagi narasi nilai-nilai tertentu. Bahkan, kampung bisa menjadi sebuah “jendela masa” ketika memandang cakrawala tertentu yang lebih baru, segar, menantang dan menjanjikan.
Setiap orang, sadar atau tidak, sengaja atau tidak, sesungguhnya mengendapkan kesan dan kesatuan kosmologis dan pandangan etis tertentu mengenai apa itu kampung, bagaimana menempatkannya dan bagaimana menggunakannya dalam setiap etape kehidupannya. Sehingga, kampung adalah ruang awal (baca: kampung lama) untuk pergi dan selanjutnya ia membentuk dan menemukan ruang pilihan (baca: kampung baru) baginya.
Melalui rotasi dan ritual per-kampung-an itulah cakrawala hidupnya terus meluas dan mengkristal, sehingga semua kampung yang pernah ditemui dan yang turut membentuk pertumbuhan pribadi dan pengalamannya adalah kampung-kampung yang ia rindukan. Selanjutnya, “ikatan etis” baru pun terbentuk. Ia akan terus (menanggung) sebuah tanggung jawab atas ikatan emotif-etis itu melalui “penjagaan nama” dan melalui kerja-kerja yang terus menjalar dan membentuk pematangan kemanusiaan yang dihayatinya.
Saya pun membenarkan proposisi seperti itu. Sepanjang karier dan penghidupan saya, begitu banyak ruang “kampung” yang membentuk wawasan, memberi pilihan-pilihan arah dan perbadingan. Semuanya adalah “dunia kesadaran” yang sungguh-sungguh memberi kekayaan tersendiri. Itulah sebabnya, saya terus memilih, memilah dan mengakumulasi begitu banyak jalan, inspirasi, dan tanggung jawab –untuk belajar dan bekerja, kemudian melampaui sekat-sekat (sempit) primordialisme dan jebakan (sangka) etnosentrisme, serta kepicikhatian dalam berkebudayaan dan berkebangsaan.
Biasanya, menjelang Idul Fitri dan beberapa hari setelahnya, ada-ada saja orang bertanya kepada saya, “Bapak tidak pulang kampung, ya?; Basri, tidak mudik, ya?! Sudah tentu, orang-orang tersebut sepertinya sudah mematok dalam benak-naluriahnya bahwa bagi orang-orang yang tidak terlahir di (wilayah) Gorontalo, maka Gorontalo adalah bukan kampung (halamannya). Orang yang tidak lahir dan tumbuh di sebuah daerah, maka ia cenderung disangka bahwa ia akan seratus persen dan setiap saat “rindu” dengan tanah (kampung) kelahirannya.
Pandangan umum seperti ini wajar dan berlaku di banyak tempat dan di banyak (kelompok) di masyarakat kita. Tapi ketika dibaca dari sisi lain, gejala seperti ini sekaligus memberi tanda kepada kita bahwa selalu terdapat “stok” pengetahuan dan tindak-bahasa keseharian yang setiap saat memasuki dan mencoba mengatur —atau bahkan mendikte– cakrawala sosial keseharian kita. Adalah umum bahwa masyarakat manusia cenderung membutuhkan identitas tertentu –dan ikatan kampung adalah salah satunya–.
Persilangan wawasan budaya dan pematangan praktik-praktik hidup yang makin majemuk sudah berlangsung lama di negeri ini. Proses sejarahnya sudah sangat panjang, saling mengisi dan memperkaya. Kini, proses itu terus berlanjut dengan arus pergaulan, pengalaman dan perjumpaan yang makin intens di negeri ini. Generasi yang terlahir sejak 1950an dalah mereka yang banyak menempa dirinya dalam lingkungan sosial yang majemuk –-secara etnis dan agama–, terutama ketika mereka menempuh pendidikan di kota-kota. Merekalah yang mulai merasakan suatu “kesadaran baru” mengenai kampung sebagai “tempat lahir dan masa kanak-kanak atau remaja”, tapi dari mereka pulalah kesadaran baru muncul bahwa “budaya pergi” ke tempat-tempat lain yang jauh adalah hak dan harapan sekaligus, yakni “demi menuntut kemajuan…demi membentuk kehidupan yang lebih baik…”. Lepas dari adanya faktor penarik dan pendorong, posisi kampung tidak lagi “mengikat” —kecuali bagi sebagian kalangan perempuan masih berlaku prinsip untuk tidak pergi jauh-jauh–.
Suatu ketika, posisi kampung mulai melebar maknanya ketika muncul bentukan kata sifat dengan sebutan “kampungan”. Oleh KBBI (1990: 438), kampungan diartikan “kebiasaan di kampung…terbelakang (belum modern); kolot; tidak terdidik dan tidak tahu sopan santun…”. Pembedaan tetaplah bertahan, dan dominasi dalam memperlakukan bahasa pun berkembang dengan mengesankan bahwa bagaimana pun, kampung tetaplah tak terpisahkan dengan desa dan dusun, atau sekelompok rumah yang kumuh di pinggiran (perkotaan). Dan, ketika menyebut “kampung halaman”, maka itu lebih merujuk kepada “daerah atau desa tempat kelahiran…”. Akhirnya, banggalah dengan kampung, tapi hati-hatilah jangan sampai jadi “orang kampungan” dalam berbahasa, bertindak dan berkarier di kota-kota. ***
Penulis adalah Bekerja di Universitas Negeri Gorontalo
Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)
E-mail: [email protected]
Comment