Manajemen Kebisingan: Strategi Politik Air Keruh

Oleh :
Taufiq Fredrik Pasiak

 

HARI ini, kalau Anda masih terfokus pada kekuasaan yang represif, pembungkaman, dan pelarangan, maka saya pastikan pikiran Anda sudah ketinggalan zaman. Kekuasaan tak perlu lagi sensor, represi, atau larangan terang-terangan. Jika ada, saya bisa pastikan itu kamuflase saja.

Yang dibutuhkan hanyalah satu hal: kebisingan. Ketika ruang publik dipenuhi suara, justru di sanalah kebenaran tenggelam. Ini bukan kebetulan. Ini strategi. Saya menyebutnya: manajemen kebisingan. Dasar teorinya, karena manusia masa kini—apalagi anak-anak muda—adalah manusia-manusia yang mudah teralih perhatian, kurang fokus, dan kaya pemahaman tapi dangkal (akibat multitasking, informasi hanya di level permukaan saja).

Manajemen kebisingan adalah teknik mengalihkan fokus kolektif lewat limpahan informasi, kontroversi, drama, dan emosi yang terus-menerus disebarkan di ruang digital. Bukan dengan membungkam kritik, tapi menenggelamkannya dalam banjir notifikasi. Ketika semuanya terdengar, tak ada lagi yang benar-benar didengar. Inilah bentuk baru dari kontrol.

Fenomena ini bekerja secara halus tapi sistematis. Ketika publik sedang bertanya soal naiknya utang negara, kebijakan yang merugikan buruh, atau lemahnya penegakan hukum, ruang digital justru dibanjiri dengan perang meme, skandal artis, dan ocehan politisi nyeleneh. Tak ada larangan. Tapi juga tak ada ruang untuk berpikir. Semuanya ramai. Semuanya reaktif.

Dari perspektif neurosains, otak manusia hanya mampu fokus pada sebagian kecil dari stimulus yang datang setiap detik. Sistem Reticular Activating System (RAS) bertugas menyaring informasi berdasarkan tingkat urgensi dan muatan emosional. Konten yang lucu, menggemaskan, mengagetkan, atau memancing kemarahan lebih cepat diproses oleh otak dibanding analisis yang tenang dan dalam.

Sistem ini bekerja sama dengan amigdala—pusat emosi dasar—yang mendahului kerja prefrontal cortex, pusat nalar dan pengambilan keputusan. Inilah mengapa, dalam dunia yang bising, kita lebih mudah bereaksi ketimbang merenung. Kita menjadi reaktif tinimbang reflektif. Reaktif itu: mudah terpicu, mudah marah, mudah tersinggung, mudah menyala dan mudah terbakar.

Psikologi sosial menyebutnya overexposure dan kelelahan emosi. Ketika masyarakat terus dibanjiri isu remeh dan emosi ekstrem, otak mengalami kelelahan kognitif. Sistem limbik terus dipicu tanpa jeda, sementara prefrontal cortex tak diberi waktu untuk mencerna. Akibatnya, kita cepat tersulut, mudah curiga, tapi malas berpikir mendalam. Refleksi digantikan impuls. Kritik berubah menjadi hiburan, dan ruang diskusi disulap jadi panggung reaksi. Ini bukan sekadar kehilangan fokus, tapi kemunduran kapasitas demokrasi yang diam-diam terjadi di bawah tekanan konten viral.

Saya akan menggunakan perspektif yang lebih segar dan relevan untuk zaman ini dalam memahami bagaimana kekuasaan bekerja—mengacu pada pemikiran filsuf Jerman kelahiran Korea Selatan, Byung-Chul Han. Dalam banyak tulisannya, Han menunjukkan bahwa kekuasaan sekarang tak lagi menindas dengan cara kasar seperti dulu.

Ia tidak melarang atau menekan, tapi justru membuat kita merasa bebas. Kebebasan itulah yang jadi alat kontrol paling halus. Han menyebutnya pergeseran dari “kuasa negatif”—yang bunyinya “jangan lakukan ini”—menjadi “kuasa positif” yang terdengar seperti “kamu bebas jadi apa saja yang kamu mau.” Terdengar membebaskan, tapi sebenarnya membuat kita terus-menerus merasa harus berprestasi, tampil sempurna, dan sibuk membuktikan diri di depan orang lain.

Dalam bukunya Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies of Power (2017), Han menggambarkan bagaimana hari ini, tanpa disuruh pun kita sudah mengawasi diri sendiri. Kita sibuk menilai diri, membandingkan, mengejar validasi sosial, dan tak pernah merasa cukup. Dalam dunia digital, ini makin kuat. Kita terus scroll, terus posting, terus terlibat. Padahal, otak kita punya batas.

Neurosains menunjukkan bahwa sistem dopamin di otak akan terus mendorong kita mencari sensasi “dilihat” dan “diakui”—meski cuma lewat ‘likes’, ‘tags’ dan ‘views’. Ini bikin sistem emosi kita (limbik) jalan terus, sementara bagian otak yang bertugas menilai secara jernih (prefrontal cortex) justru tumpul karena lelah. Kita jadi reaktif, bukan reflektif. Sibuk tampil, tapi lupa berpikir.

Di sinilah kekuasaan bekerja dengan sangat rapi. Bukan lagi membungkam kritik, tapi membuat kita terlalu sibuk untuk mengkritik. Kita merasa aktif, padahal sebenarnya sedang diarahkan. Han mengingatkan, bentuk dominasi baru itu bukan lewat larangan, tapi lewat dorongan untuk terus produktif dan positif. Dan dalam sistem ini, kelelahan menjadi alat kekuasaan paling ampuh. Masyarakat yang lelah jadi lebih mudah diarahkan, lebih gampang ikut arus, dan lebih memilih hiburan daripada kebenaran.

Mari kita ambil sedikit contoh; bagaimana saat kebijakan besar disahkan diam-diam, sementara publik sibuk memperdebatkan gaya bicara selebritas atau viralnya aksi prank politik. Keputusan soal revisi undang-undang, penghapusan subsidi, atau pergeseran anggaran terjadi di tengah linimasa yang gaduh tapi kosong. Anda bisa membuat daftar sejumlah UU dan kebijakan itu. Fenomena ini bukan sekadar disinformasi. Ini adalah strategi orkestrasi perhatian.

Manajemen kebisingan juga membuat kita merasa seolah-olah sedang aktif berpolitik—karena ikut mengomentari, membagikan, atau menyindir—padahal sejatinya kita sedang ikut dalam permainan yang dirancang untuk membelokkan arah perhatian. Ini bukan keterlibatan. Ini ilusi partisipasi.

Jangan heran, jika di tengah era yang katanya penuh keterbukaan informasi, justru daya kritis publik makin melemah. Bukan karena masyarakat makin bodoh, tapi karena makin lelah. Kita tidak kekurangan data, tapi kehilangan kemampuan memilah. Kita tidak dilarang berpikir, tapi terus diganggu untuk tidak sempat berpikir.

Otak kita dijejali begitu banyak hal remeh dan emosional hingga kehilangan energi untuk fokus pada yang penting. Dan di situlah kekuasaan bekerja dengan paling efektif: bukan dengan menekan, tapi dengan membanjiri. Bukan dengan membungkam, tapi dengan membuat kita sibuk. Saat kita merasa paling bebas, justru di situlah kita sedang paling mudah diarahkan—karena perhatian kita sudah habis dipakai untuk hal-hal yang tidak berdampak.

Apa yang bisa dilakukan? Karena itu, yang perlu kita bangun bukan hanya literasi informasi, tapi literasi atensi. Kita harus mulai memahami bagaimana perhatian kita bekerja, bagaimana otak kita bereaksi terhadap stimulus digital, dan bagaimana emosi kita bisa dimanfaatkan oleh narasi kekuasaan. Penelitian menunjukkan bahwa otak manusia membutuhkan ruang hening untuk bisa kembali berpikir jernih—prefrontal cortex baru aktif optimal ketika tidak dibanjiri notifikasi.

Maka, istirahat dari layar bukan sekadar detoks digital, tapi juga bentuk kecil dari perlawanan. Membatasi paparan konten emosional ekstrem, memelihara ruang dialog pelan di komunitas kecil, atau sekadar memilih membaca tulisan yang mendalam alih-alih hanya headline—itu semua adalah langkah empirik yang bisa dilakukan siapa saja.

Solusi bukan selalu tentang perubahan besar, tapi tentang keberanian memilih untuk fokus pada yang penting. Menyadari bahwa tidak semua yang viral itu bermakna, dan tidak semua yang gaduh itu layak didengar. Di tengah dunia yang memaksa kita bicara, keberanian untuk diam sejenak dan berpikir adalah bentuk kebebasan yang paling langka. Dan mungkin, paling mendasar. Karena demokrasi yang sehat tidak lahir dari kebisingan, tapi dari kesadaran yang jernih. Dan kesadaran hanya mungkin hadir jika kita kembali menguasai perhatian kita sendiri. (*)

 

Penulis adalah Ilmuwan Otak dan
Pemerhati Sosial Politik

Comment