Oleh:
Basri Amin
SEORANG profesor dan muridnya yang terbaik berhasil membuktikan satu hal: kesetiaan. Keduanya demikian setia menjalani pembelajaran bersama, melalui dialog, tanya jawab, serta kepedulian tinggi yang melampaui segala macam kepentingan (praktis) persekolahan yang sekian lama sama-sama dipikulnya di kampus. Mereka berhasil keluar dari rutinitas penugasan kuliah, keterkesimaan teknologi pembelajaran dan perjumpaan regular di ruang-ruang kelas.
Justru ketika beban-beban praktis dan teknis pendidikan itu hilang, yang hadir adalah proses pembelajaran tentang “makna hidup”, kebersamaan sesama pencari ilmu, dan kesetaraan manusia di hadapan realitas pengetahuan. Amat terasa bahwa tanpa melalui khotbah dan buku buku, keduanya sepakat dalam dalam hal prinsipil: “kebodohan dimulai ketika kita berhenti belajar…”
Keduanya, antara mahasiswa dan profesornya ini, menjalani hidup hingga kematian datang dengan nyata dan penuh makna. Mengikuti riwayat mereka berdua, jenis kurikulum dan format kuliah yang mereka jalani, bahan-bahan ajar dan media yang mereka kembangkan, sistem ujian dan penilaian yang mereka sepakati, sungguh sebuah praktik pendidikan (tinggi) yang kini makin jarang kita saksikan di Barat maupun di Timur.
Meski di antara mereka adalah hubungan maha guru (profesor) dan murid (mahasiswa), tetapi keduanya tidak melandaskan prosesi kuliahnya dengan logika dan hirarki yang kaku. Tak ada praktik feodalisme akademis dalam kesadaran mereka. Tak ada sesembahan pangkat dan pemanggilan nama!
Sang profesor pun tak pernah “sok tahu” apalagi melalui proyeksi diri “wajib dirujuk” pendapatnya. Ia tak pernah memaksakan teori-teori yang sang profesor punyai atau gemari, atau paradigma yang ia anut. Ia jauh dari rasa “punya sesuatu” (kebenaran) yang begitu handal dan wajib diterima muridnya.
Ia adalah profesor yang sadar akan bahaya egoisme profesi dan kepongahan pengetahuan yang belum sepenuhnya teruji-panjang nan ketat di alam terbuka. Ia amat sadar tentang keterbatasannya dalam pencapaian. Sehingga, sekalipun ia punya nama besar dan terpandang di bidangnya, itu semua tak membuatnya kikir dalam menyapa dan mendengar jalan-jalan pikiran murid-muridnya. ia sungguh-sungguh membimbing, bukan sebaliknya membuat muridnya “bimbang” dan “bergantung” kepada bayang-bayang sosoknya serta fatwa fatwa (kewenangan) posisinya.
Profesor ini sempurna mengajar dan mendidik hingga ajal menjemputnya. Kuliahnya amat khusus, mahasiswanya pun amat terbatas, dan prosesi wisudanya pun amat istimewa. Dalam seminggu, kuliahnya hanya berlangsung di hari Selasa. Saya terkagum membaca kembali prosesi kuliahnya dan bagaimana ketekunan mahasiswanya mencatat, memahami, dan menghayati setiap materi kuliahnya. Adalah profesor Morrie Schwartz (Brandeis University di Massachusetts) bersama murid terbaiknyak, Mitch Albom, melalui kuliah mereka setiap hari Selasa yang di kemudian hari dibukukanya dalam Tuesdays with Morrie (1997[2014]).
Buku laris dan ditulis dengan bahasa yang apik dan sugestif. Sebuah pencerahan tentang pendidikan yang sebenarnya dan tentang kesejatian relasi Guru dan Murid. Pendidikan yang mengantarkan keduanya menemukan “makna hidup” dalam sebuah wisuda bernama: acara pemakaman. Dengan itulah, ada rasa yang abadi bahwa “kuliah sejati tak pernah berakhir”. Atau, dalam kata-kata Mitch Albom, sang Murid dan Guru bertemu dalam suasana “jatuh cinta kepada harapan”.
Murid sejati itu, Mitch Albom, sebenarnya sudah berpisah lama dengan guru-nya ini. Tetapi karena kerinduan tentang pelajaran yang sebenarnyalah yang membuat dia kembali berguru dan menemui profesornya, Morrie Schwartz. Ketika itu, Morrie, dalam masa-masa sulit karena serangan penyakit ganas yang menyerang sistem sarafnya. Kuliah hebat yang mereka lakoni terbentang pada masa-masa sang profesor menjalani penyakit seriusnya. Mereka memanfaatkan waktu belajar dengan amat saksama, saling peduli dan manusiawi.
Apa itu Guru (profesor) yang sebenarnya? Mitch menjawab “orang yang melihat Anda sebagai batu berharga yang belum diolah; sebuah berlian yang kearifannya dapat digosok sampai berkilauan.“
Punya nama besar dengan kematian yang indah adalah anugerah hidup yang tak ternilai. Sebagai manusia terdidik tinggi, tak ada harapan paling teratas baginya selain “kematian yang baik dan mulia.”
Dalam perkara kematian, semua rasionalitas manusia berhenti dengan sendirinya. Justru dalam kesediaan kita untuk menerimanya adalah jawaban yang paling rasional. Tapi “bagaimana”, menerima dan menjalani kematian serta perkara-perkara lanjutan setelahnya? Pengetahuan manusia lagi-lagi terhenti. Ia membutuhkan saluran pengetahuan lain, kebeningan spiritual, dan ketaatan tambahan yang luar biasa serta bantuan dari Guru atau para “Penunjuk jalan” kepadanya.
Sejarah mencatat, dalam pencermatan Mitch Albom (2014, bahwa “para pengarang, ilmuwan dan selebriti yang dengan lantang menyatakan bahwa Tuhan itu tidak ada, semua itu mereka katakan saat mereka masih sehat dan popular dan didengarkan oleh para pengikut dan pendengarnya. Tapi apa yang terjadi saat hening menghadapi ajal? Saat itu mereka tak punya panggung lagi, dunia mulai berputar meninggalkan mereka. Pada tarikan nafas terakhir, lewat rasa takut, lewat penampakan, pencerahan yang terlambat datang, mereka berubah pikiran tentang Tuhan…”
Pengalaman (wisuda) kematian profesor Schwartz dan prosesi kuliahnya bersama mahasiswanya Mitch Albom menarik kita petik hikmahnya. Bahwa ketinggian derajat keilmuan hanyalah tangga kesekian untuk mencapai makna dan manfaat hidup. Tetapi, ia juga bisa sebagai tangga rapuh yang mewadahi kejatuhan kita–.
Profesor Schwartz, bahkan di masa-masa yang sangat sulit, ketika harus menggunakan bantuan tongkat, beliau tetap menyampaikan kuliahnya dengan kejujuran tinggi. Di kelasnya, ia dengan wibawa menyampaikan pesan kepada mahasiswanya tentang resiko mengikut kuliahnya yang potensial batal karena “kondisi kesehatannya”. Ia, lagi-lagi menanamkan keabadian pengetahuan dan integritas pribadi, bahwa selalu ada letak terdalam dan yang terjujur tentang kewajiban hidup dan pencapaian ilmu.
Keterdidikan mensyaratkan laku-hidup yang konsisten. Termasuk tentang hidup yang akan berakhir dengan kematian. Sebagai sebuah momen, kematian bisa dijelaskan secara teknis, tetapi prosesinya baik oleh yang mengalaminya maupun bagi mereka menyaksikannya, tentulah memberi gambaran dan rasa yang berbeda-beda.
Sang professor ini, Morrie, telah memberi pelajaran tentang makna hidup dan “jalan kematian” yang benar. Bahwa tidak banyak Guru sejati. Demikian pula tak banyak murid yang setia. Ujian bagi keduanya adalah kehadiran dan kesungguhannya ketika prosesi pencerahan akal-budi, pembentukan watak-diri dan kebangkitan jiwa-nurani-merdeka berlangsung. Tanda kelulusan dan pencapaiannya terletak ketika salah satu di antaranya telah tiada atau ketika satu di antaranya menjemput kepergianya. ***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu
Surel: [email protected]
Comment