Oleh:
Yogo Prasetyo
BEBERAPA hari lagi masyarakat Indonesia akan merayakan hari raya Idul Fitri. Sesuai tradisi, momen menjelang lebaran selalu diwarnai hiruk pikuk belanja masyarakat. Dorongan belanja semakin menguat seiring diterimanya tambahan pendapatan berupa tunjangan hari raya (THR) oleh sebagian masyarakat. Pada satusisi, konsumsi masyarakat berdampak positif pada bergeraknya perekonomian, khususnya pada sektor perdagangan dan sektor industri, termasuk pelaku UMKM.
Berdasarkan teori perilaku konsumen, kita sebagai konsumen selalu mencoba untuk memaksimalkan kebutuhan, kepuasan, atau kegembiraan dengan berbelanja. Kegiatan membelanjakan uang dengan membeli barang merupakan hal yang mengasyikkan, terlebih ketika kita merasakan adanya tambahan pendapatan dan informasi diskon besar-besaran yang diberikan oleh penjual menjelang lebaran, maka kita pun tergiur melakukan belanja melebihi kebutuhan dan tanpa sadar, kita melakukan impulsive buying.
Impulsive buying menurut Rook and Fisher (“Normative Influences on Impulsive Buying Behavior”, 1995) adalah perilaku belanja spontan, tidak memiliki kontrol dalam melakukan pembelian, membeli produk secara tiba-tiba atau tanpa perencanaan, dan tidak memikirkan konsekuensi setelah melakukan pembelian.
Pada impulsive buying, belanja yang dilakukan tidak lagi didasarkan pada kebutuhan (needs), namun pada keinginan (wants) bukan “need”, bahkan terkadang hanya disebabkan dorongan membeli ketika melihat-lihat toko (in-store browsing), baik toko fisik (mall dan pasar) atau toko online.
Perilaku impulsive buying secara umum berdampak negatif pada dua aspek. Pertama adalah menjadikan diri kita menjadi pribadi yang boros dan rentan untuk melakukan pembiayaan tambahan atau kredit yang akan menjadi beban keuangan pada masa depan, terlebih saat ini proses melakukan pinjaman menjadi lebih mudah dengan fasilitas kartu kredit dan pinjaman online.
Dampak negative kedua, perilaku impulsive buying dapat mendorong kenaikan harga. Berdasarkan teori ekonomi sederhana, kenaikan permintaan barang pada kondisi penawaran atau pasokan tetap (ceteris paribus) akan menyebabkan kenaikan harga. Dampak kenaikan harga akan lebih besar untuk komoditas yang pasokannya sangat terbatas, namun permintaannya meningkat tinggi pada momen bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri, yaitu bahan makanan, seperti beras, bawang, rica, tomat, daging ayam, minyak goreng, tepung, gula dan sebagainya.
Kenaikan harga bahan makanan tersebut juga akan menimbulkan efek kenaikan harga produk olahannya, yaitu makanan di warung dan rumah makan, serta kue lebaran. Pada ujungnya akan mendorong laju inflasi yang tinggi dan berpotensi menurunkan daya beli masyarakat pada umumnya.
Setidaknya ada tiga upaya yang bisa kita lakukan untuk menghindari impulsive buying. Pertama, kita bedakan antara keinginan dan kebutuhan, susun perencanaan belanja menjelang lebaran sesuai prioritas kebutuhan keluarga. Kedua adalah member batasan penggunaan kartu kredit dan fitur paylater pada belanja online. Ketiga adalah berupaya untuk tetap logis dalam menyikapi isu-isu kelangkaan barang yang mendorong kita untuk membeli dan menimbun barang secara berlebihan.
Hal-hal kecil yang kita lakukan dapat berdampak besar bagi diri kita dan masyarakat sekeliling kita, bahkan perekonomian secara keseluruhan. Dalam teori butter fly effect, disebutkan bahwa “kepakan sayap kupu-kupu di hutan Amazon dapat menyebabkan badai di belahan bumi lainnya”. Teori ini memperkuat bahwa kita perlu melakukan perubahan dari diri kita untuk melakukan belanja bijak, meski pun kecil, namun dapat berdampak besar bagi kebaikan kita semua. (*)
Penulis adalah Pegawai
Bank Indonesia Provinsi Gorontalo,
Isi tulisan adalah pendapat pribadi.
Comment