Kekuatan “Kaki Lima” yang Abadi

Oleh:
Basri Amin

 

GEJALA penting di perkotaan: sektor informal. Ia lebih sering dilabeli dengan nama “Kaki Lima”. Mereka demikian dominan dan mewarnai hampir semua kota-kota kecil, sedang dan besar di negeri kita. Tepat untuk berpendapat bahwa kemampuan setiap daerah dalam mengelola sektor (ekonomi) informalnya akan sangat menentukan apakah kemajuan sebuah kota –secara fisik, ekonomi, sosial dan budaya– bisa berhasil dicapai.

Sejauh ini cenderung terkesan bahwa pekerja sektor informal seperti “parasit” ekonomi di perkotaan. Perannya selalu dibutuhkan tetapi hak-haknya lebih banyak tidak dibela, bahkan dikebiri. Perhatikanlah tentang penggunaan ruang di pasar-pasar, hak sewa yang lebih adil, jaminan sosial ekonomi yang tak menentu, dst.

Sektor informal bukanlah parasit yang menggerogoti pertumbuhan dan kemajuan kota, karena justru sebagian besar masyarakat kita (masih) tergantung pada jasa dan barang yang disediakan oleh pekerja sektor informal. Mereka sangat lincah membangun pasar atau memanfaatkan pasar dan berbagai ruang yang (potensial) untuk menjual dan memenuhi kebutuhan keseharian masyarakat.

Puluhan tahun lalu, sudah tercatat sekitar 58 jenis pekerjaan informal di Manado (Amin, 2001), lebih 180 pekerjaan di kota Surabaya dan 267 pekerjaan informal di Jakarta (Rachbini & Hamid, 1994). Entah saat ini di Gorontalo berapa jumlahnya dan bagaimana variasi ekonominya.

Yang jelas, sejak kita bangun pagi sampai malam hari begitu banyak kebutuhan kita yang dijawab oleh sektor informal. Banyak hal yang kita beli dan gunakan tanpa pajak resmi dan administrasi keuangan yang bersifat formal, tanpa kwitansi dan bukti potongan pajak pendapatan Negara, misalnya.

Meski demikian, sektor informal bukanlah penumpang gratis dalam tata ekonomi kita. Mereka tetap membayar iuran/karcis dan jenis pemasukan lainnya. Mereka tetaplah sangat terhormat di mata instansi pendapatan daerah atau Dinas Pasar, misalnya. Mereka yang bekerja sebagai pedagang Kaki Lima bahkan mempunyai pendapatan yang jauh lebih tinggi dari gaji PNS biasa.

Mereka setiap hari “pegang uang” dengan suatu kebebasan tinggi dalam mengelolanya. Di bandingkan dengan kelompok pekerjaan lain, pedagang kaki lima setiap saat mampu mengambil keputusan rasional dalam menentukan nasibnya, termasuk bagaimana usaha mereka bisa bertahan atau beragam.

Pedagang asongan, penjual makanan dan kebutuhan pokok (sembako!) di pasar-pasar dan pinggir jalan hingga tukang jahit sepatu, pengumpul besi tua dan plastik, serta tukang parkir dan bentor misalnya, adalah mereka yang secara nyata melayani publik dalam suatu ritme yang sangat nyata.

Di sektor informal, kedudukan perempuan dan pria sepertinya “sama kuatnya” dalam bekerja dan membagi jenis pekerjaan. Singkatnya, sektor informal adalah sebuah lapangan pekerjaan yang sangat luas, dan karena itulah memang pada akhirnya tidak semua jenis pekerjaan di berbagai sudut kota tampil dalam wajah cantik secara lanskap ekonomi.

Tak sedikit pekerjaan yang dijalani untuk “sekadar bisa bertahan hidup”. Banyak di antaranya yang melibatkan anak-anak yang berusia sekolah. Tak bisa juga dipungkiri bahwa sering terjadi konflik di antara pekerja informal: konflik ruang (di) pasar, di permukiman, atau di pinggiran per-toko-an, misalnya.

Tapi, kebersamaan dan optimisme tetap mereka pegang erat. Di mana ada pasar, di sana ada uang, barang, dan pekerjaan. Di mana ada kemauan dan koneksi teman, pasti bisa bekerja dan dapat uang. Itu modal utama!

Sektor informal memainkan peranan penting dalam ekonomi kita. Sektor ini banyak menyerap tenaga kerja dan memberikan kontribusi terhadap pendapatan (pemerintah) daerah dalam bentuk pajak atau retribusi.

Namun demikian, keberadaan sektor informal cenderung masih dipandang ilegal dan sebagai kelompok marginal (pinggiran). Inilah yang masih sering menimbulkan persoalan, terutama dalam persepsi pemerintah: sumber masalah ketertiban, kebersihan, keamanan dan kenyamanan kota.

Sektor informal perkotaan adalah gambaran bahwa kota telah menjelma sebagai tumpuan harapan bagi masa depan sejumlah pihak yang terpinggirkan dalam pembangunan dan dalam struktur ekonomi secara umum. Kota adalah gejala yang penuh paradoks. Kota adalah ruang konsentrasi modal dan pusat fasilitas pembangunan, tetapi di kota pulalah kemiskinan ‘absolut’ dan kekumuhan tempat tinggal bagi “penduduk tak bercukupan” (Hadad, 1985).

Sektor informal kota secara klasik selalu bisa dan mudah dijelaskan dalam konteks proses terjadinya kaum miskin kota sebagai dampak serius dari kuatnya tendensi perpindahan penduduk desa ke kota (urbanisasi) karena keterbatasan lapangan kerja.

Hal ini merupakan akibat langsung dari belum adanya kemajuan pembangunan sektor pertanian/pedesaan yang signifikan. Harapan hidup yang cenderung (dikesankan) lebih baik di kota dan menyempitnya lapangan pekerjaan di perdesaan adalah alasan dasar masyarakat untuk pindah ke kota.

Kondisi ini sesungguhnya mengurangi tingkat pengangguran di satu sisi, tapi sekaligus menciptakan urbanisasi yang berlebihan di kota di sisi lain.  Kita cenderung bosan membangun empati dan semangat bahwa sektor informal adalah jawaban.

Padahal semangat untuk menjadi penjual yang kaya inisiatif adalah modal utama, karena lapangan kerja di sektor formal tak pernah terbuka untuk semua golongan masyarakat. Yang terbukti adalah pembangunan tenyata masih melahirkan kesenjangan baru, antara golongan kaya dan miskin, antara desa dan kota, antara yang berpekerjaan dengan gaji regular dan yang bergaji tidak tetap.

Dari kota Peru di Amerika Latin, Hernando De Soto (1992) membuktikan bahwa sektor informal benar-benar mempunyai daya tawar tinggi dalam sejumlah sektor kehidupan perkotaan. Solidaritas di kalangan sektor informal untuk memperoleh tempat di kota makin berarti meskipun mereka tetap menghadapi kekuatan-kekuatan mapan.

Sektor informal mempunyai daya wiraswasta dan mobilitas ekonomi yang tinggi, sampai-sampai sektor transportasi sekalipun bisa dimasuki mereka. Sejumlah regulasi perkotaan dapat dipengaruhi atau bahkan ditentukan, terutama untuk tiga urusan: perumahan, transportasi, dan perdagangan. Semua ini dihadapi oleh mereka dengan cara berorganisasi.

Di negeri ini, mungkin sudah saatnya komunitas ‘Kaki Lima’ memperkuat kembali daya tawar mereka di kota-kota, tanpa perlu menunggu jadwal Pilkada atau Pemilu, atau karena kebijakan belas-kasih dari elite (di) masyarakat. ***

 

Penulis adalah
Fellow di Pusat Analisis Regional – PuSAR Indonesia
E-mail: [email protected]