Oleh:
Muh. Amier Arham
PAJAK merupakan sumber utama penerimaan negara, jika digabung dengan kepabeanan dan cukai sekitar 77 % sumbangannya terhadap APBN. Tiga tahun terakhir penerimaan pajak terus mengalami kenaikan, malahan pada tahun 2023 realisasi penerimaan pajak melampui target yang dipatok dalam APBN sebesar 108,8 %.
Kenaikan realisasi penerimaan pajak setidaknya didorong tiga hal, diantaranya; Pertama, pembenahan seluruh aspek kelembagaan Ditjen Pajak yang dilakukan oleh pemerintah untuk memudahkan akses informasi bagi wajib pajak melakukan pelaporan pajak, sehingga rasio kepatuhan pajak meningkat. Kedua, fundamental makro ekonomi yang masih kuat di tengah ketidakpastian ekonomi global, terutama konsumsi domestik berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketiga, potensi pajak masih sangat besar sehingga dari tahun ke tahun jumlah wajib pajak bertambah yang dapat berkontribusi terhadap kenaikan penerimaan pajak.
Pertumbuhan penerimaan pajak merupakan momentum untuk terus melakukan pembenahan, menjaga trust dan integritas bagi Ditjen Pajak agar kepatuhan bagi wajib pajak terkelola dengan baik. Pertumbuhan penerimaan pajak juga sekaligus menekan pembiayaan APBN dari penarikan utang baru, sebab tidak dapat dipungkiri APBN setiap tahun terbebani dengan pembayaran utang.
Pada tahun 2025 utang pemerintah jatuh tempo mencapai angka Rp 800,33 triliun, terdiri atas Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 705,5 triliun dan pinjaman jatuh tempo sebesar Rp 94,83 triliun. Jumlah utang yang akan jatuh tempo tahun depan setara dengan 47 % realisasi penerimaan pajak per November 2024 sebesar Rp. 1.688, berarti hampir separuh penerimaan pajak dialokasikan untuk membayar kewajiban (utang).
Pada saat yang sama di tahun 2025 pemerintahan baru akan memulai membiayai misi “Asta Cita” dan program prioritas yang dijanjikan selama kampanye. Oleh karena itu pemerintah mulai berjibaku mengamankan kas negara di tengah melambungnya kebutuhan belanja, solusi paling praktis lewat kebijakan fiskal dengan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 %. Padahal kenaikan PPN dari 10 % menjadi 11 % baru diterapkan dua tahun silam, yaitu 1 April 2022, dengan demikian kurun waktu tiga tahun kenaikan PPN akan mengalami perubahan dua kali, padahal sebelumnya penerapan PPN 10 % berlangsung cukup lama.
Pemerintah berdalih bahwa kenaikan PPN menjadi 12 % merupakan amanah UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang harus dijalankan, sementara perintah UUD 1945 secara serius tidak dijalankan, misalnya Pasal 33 ayat 3 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Alasan lainnya, entah bercanda atau konyol pernyataan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan rencana kenaikan PPN 12 % akan dilanjutkan karena hasil Pilpres menginginkan keberlanjutan, padahal keduanya tidak ada relevansinya.
Di tengah ketidakpastian global dan gejolak politik kawasan, serta alarm prospek ekonomi di tahun 2025 yang kurang menentu sebaiknya kenaikan PPN 12 % ditunda. Apalagi proporsi jumlah kelas menengah mengalami penyusutan, padahal mereka selama ini menjadi penggerak komsumsi domestik pendorong pertumbuhan ekonomi.
Di luar itu survei Data Indeks BRI menunjukkan bahwa indeks bisnis UMKM justru menurun sejak triwulan III tahun 2024. Penyebabnya, daya beli masyarakat anjlok dan mengakibatkan omzet UMKM turun, kemudian berdampak terhadap kredit macet UMKM meningkat di atas 4 %.
Alasan kenaikan PPN 12 % tidak semata dapat dilihat dari kacamata pelaksanaan UU, lebih dari itu dalam rangka mendongkrak pendapatan negara, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri dan penyesuaian standar internasional. Kendati hal ini perlu dikritisi sebab untuk menaikkan pendapatan negara tidak melulu dengan menaikkan pajak, masih banyak sumber-sumber pendapatan non pajak, seperti pendapatan SDA belum digali secara optimal, sistem pembagian hasil sumber daya alam di Indonesia, khususnya pada sektor pertambangan batubara dan nikel yang sangat melukai rasa keadilan.
Andrinof A. Chaniago dalam tulisannya di Kompas (19/7/2024) “Tata Kelola Batubara Rasa Kolonial”, menjelaskan penerimaan negara dari sektor pertambangan batubara jauh dari proporsional dan hanya menguntungkan sekelompok kecil pihak tertentu, sementara negara hanya memperoleh bagian yang minim. Bagian pemerintah tidak mendapatkan bagi hasil yang wajar hanya sekitar 11 – 12 %, alhasil kurun waktu selama dua tahun negara kebagian Rp. 300 triliunan saja dari nilai total produksi mencapai Rp. 3.000 triliun. Ini baru sub sektor pertambangan batubara, bagaimana dengan bagi hasil pertambangan nikel maupun pertambangan lainnya?.
Skema bagi hasil SDA selama ini sepatutnya menjadi concern pemerintah, negara mendapatkan bagian kecil untuk kepentingan orang banyak, sementara kelompok kecil pemain di sektor pertambangan mendapatkan bagian yang besar. Maka kenaikan PPN 12 % dapat dipahami jika banyak reaksi muncul dari berbagai kalangan, karena ini perlakuan yang kurang adil bagi kelas menengah ke bawah.
Mendorong kenaikan pendapatan negara dengan cara menaikkan PPN 12 % sepertinya pemerintah telah kehilangan jurus, cari jalan pintas dengan berlindung pada regulasi yang mereka buat sendiri bersama DPR. Lewat regulasi itu membuat pemerintah merasa punya pijakan kuat untuk terus melangkah menerapkan PPN 12 %.
Namun di tempat lain, pemerintah sepertinya tak memiliki kekuatan dihadapan para pelaku usaha tambang untuk meminta bagi hasil yang lebih proporsional. Pada saat yang sama pelaku usaha dimanjakan dengan berbagai fasilitas pajak, misalnya di tahun 2025 pemerintah berencana membebaskan PPN dan PPnBM mobl listrik dan hybrid.
Setali tiga uang, di tahun depan pemerintah kembali menggulirkan pengampunan pajak (tax amnesty) jilid 3, artinya pemerintah bersama DPR mengakui masih banyak pengemplang pajak yang mengikuti program pengampunan pajak sebelumnya tidak sepenuhnya mendeklarasikan 100 % hartanya dan memenuhi kewajiban pembayaran pajaknya. Kepada mereka seharusnya bukan lagi memberi pengampunan berjilid-jilid, akan tetapi sejatinya sudah masuk pada tahapan penindakan (punishment).
Persoalan pokok berikutnya adalah penerapan PPN 12 %, besaran itu menempatkan Indonesia proporsi PPN-nya tertinggi di kawasan ASEAN bersama dengan Filipina. Padahal Vietnam justru menurunkan tarif pajaknya dari 10 % menjadi 8 % untuk dapat merangsang daya beli dan mendorong geliat bisnis, dengan demikian harga barang dan jasa turun agar ekonomi mereka tumbuh.
Ada peluang lain yang semestinya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan porsi penerimaan pajak, yakni mengoptimalkan kebijakan ekstensifikasi pajak dengan menjaring wajib pajak baru yang selama ini belum sadar, atau bahkan melakukan penghindaran pajak.
Atas hal tersebut pihak ADB memberikan saran bahwa pemerintah dapat mengoptimalkan penerimaan pajak dengan memperkuat penegakan terhadap kebijakan pajak yang sudah diberlakukan. Langkah-langkah seperti itu efektif di negara-negara lain meningkatkan penerimaan pajak.
Berdasarkan data yang ada sampai akhir tahun 2024 jumlah wajib pajak di Indonesia baru mencapai sekitar 70 juta, dibandingkan dengan jumlah penduduk masih cukup banyak yang belum terjaring pajak. Langkah lain yang patut mendapat perhatian pemerintah, yakni penegakan terhadap kepabeanan dan cukai karena ditengarai masih maraknya barang selundupan dari luar, di sektor ini Indonesia kehilangan devisa puluhan triliun.
Dampak Kenaikan PPN
Lazimnya pengenaan pajak dibebankan kepada produsen, tapi dalam prakteknya produsen menggeser beban pajak kepada konsumen dengan cara menaikkan harga jual barang. Kendati secara nominal kenaikan pajak hanya 1 % dari penetapan sebelumnya, nampak kecil akan tetapi memberikan dampak luas.
Kenaikan PPN 12 % menggerus daya beli masyarakat, berefek pada menurunnya konsumsi, disaat yang sama konsumsi adalah komponen paling besar mendorong pertumbuhan ekonomi. Kenaikan PPN 12 % yang dikenakan pada barang mewah untuk jangka pendek memang tidak elastis tapi terjadi untuk jangka panjang, itu artinya dampaknya tidak berasa dalam satu dua minggu tapi beberapa bulan dan tahun kedepan berubah (elastis). Menghadapi situasi demikian, produsen akan mengurangi produksi, efek dominonya mengurangi pekerja.
Pada lain sisi, kenaikan PPN menjadi 12 % akan memicu inflasi, hal ini disadari pemerintah maka diluncurkan pemberian insentif dengan memotong pembayaran listrik separuh dan bantuan beras 10 kg selama dua bulan bagi kelompok kelas bawah. Padahal elastisitas kenaikan harga barang mewah justru baru terasa beberapa bulan berikutnya, hal itu kemudian menambah pengeluaran kelas menengah. Dan mereka akan bergeser menjadi kelompok rentan, karena prakteknya selama ini bila terjadi kenaikan harga barang mewah otomatis akan diikuti kenaikan barang normal (kebutuhan pokok).(*)
Penulis Adalah Guru Besar
Fakultas dan Bisnis UNG