Oleh:
Basri Amin
PROVINSI yang banyak acara! Pentingkah dan berdampakkah itu semua ke masa depan. Seriuskah kita menyadari diri sebagai daerah yang masih “tertinggal” dalam banyak hal. Daya saing (pembangunan) kita masih jauh dari harapan. Kota-kota kita di kepung oleh peminta-minta. Ekonomi kita dikepung oleh sektor informal. Kelas menengah kita masih bermental “tukang” daripada menjadi penggerak yang gigih dan konsisten.
Tetapi, kita ditakdirkan mengemban misi masa depan yang luhur karena Gorontalo berhasil mencatatkan figur-figur pemikir dan pembaru di Republik ini sejak abad ke-20 di bidang sains, teknologi, ekonomi, budaya, dan pendidikan.
JAUH sebelum Gorontalo menjadi (provinsi), perhatian dan pengetahuan dunia tentang wilayah sudah muncul di tempat-tempat penting di dunia. Tak heboh memang, tapi ia memberi jejak yang fundamental –-tentu saja jika dipelajari dan dipahami—oleh generasi masa kini.
Apa buktinya? Di lapangan budaya dan sains, beberapa bagian tentang kekayaan sumberdaya alam Gorontalo dan budayanya sudah disebut-sebut oleh penulis terkenal C.B.H.Von Rosenberg, ketika menerbitkan bukunya di Amsterdam tahun 1865, sekitar 172 halaman. Tak lama berselang, penulis lainnya yang cukup luas pengalaman dan pengetahuannya tentang daerah ini, J.G.F. Riedel, menulis artikel panjang tentang Gorontalo, terbit tahun 1869.
Lebih sepuluh tahun kemudian, di sebuah kota penting di Jerman, lahirlah buku Holontalo: Glossar und Grammatische Skizze, tahun 1883, karangan Dr. Wilhelm Joest, terbit di Berlin, 158 halaman. Pada tahun 1900-an, tulisan tentang Gorontalo terus bertambah, meskipun didominasi oleh penulis-penulis Eropa. Pada periode inilah, professor Van Vollenhoven merumuskan “wilayah hukum adat” tahun 1907 yang kemudian menerbitkan dua jilid bukunya pada tahun 1918 dan 1931. Beliau meletakkan Gorontalo pada urutan wilayah hukum adat ke-9 dari total 19 “daerah adat” di Nusantara. Saya mencatat, ada dua kata Gorontalo yang dirujuk oleh Van Vollenhoven, yakni: “linula” dan “huta”.
Gorontalo kita makin membutuhkan wawasan dunia yang baru. Pemimpin dan generasi baru daerah ini sebaiknya mengarahkan kesana kapasitasnya. Kultur progresif seharusnya menghasut percakapan dan kerja-kerja keseharian kita…
Jika pada beberapa waktu kita pernah menjadi perhatian dan sumber pengetahuan dunia, termasuk tentang demokrasi, kini sudah tiba saatnya kita tampil lebih bermarwah dan gesit. Gorontalo mestinya “berbicara” kepada dunia. Untuk itu, momentum demi momentum kita butuhkan.
Seremoni Ulang Tahun provinsi Gorontalo sebaiknya dicanangkan lebih terbuka, cerdas, dan berwawasan ke masa depan. Dengan terlebih dahulu jujur-terbuka dengan paradoks-paradoks pembangunan yang tengah dikerjakan sekian puluh tahun terakhir ini. Berhentilah merayakan jargon, resepsi, dan upacara.
Sudah berulang di media ini (Spektrum) saya menyatakan bahwa ada tiga tema besar yang krusial menjadi perhatian bersama. Bahwa banyak hal yang sudah dan tengah dikerjakan sejauh ini, semua itu tak mungkin kita pungkiri. Semuanya kita syukuri! Tapi beberapa hal mendasar yang sebaiknya tidak membosankan dipercakapkan adalah perbaikan-perbaikan yang menentukan kondisi jangka panjang.
Kota dan Budaya Kreatif
Wajah Gorontalo, pertama-tama, tergambarkan dari pencapaian kota-kotanya. Uniknya, pembangunan kota-kota kita, dalam hemat saya, masih sangat keteteran. Hampir semuanya dipercayakan kepada “pihak ketiga” untuk hal-hal fisik dan “perencanaan besar” (masterplan).
Kota kita amat terbatas kita tumbuhkan dan kelola berdasarkan kreativitas kita sendiri dan memanfaatkan “otak otentik” yang aktif-hadir (secara kolektif) di tengah-tengah masyarakat. Memang, membangun wajah dan spirit kota bukanlah hal murah dan mudah. Ia membutuhkan leadership, kapasitas parancangan, ketekunan kerja, dan visi yang berdampak.
Apa yang kita saksikan belakangan ini, terasa sekali bahwa para pengelola kota-kota kita masih cenderung sok tahu dan mengambil jalan pintas. Mereka kurang mampu berimajinasi dengan kerja dan selanjutnya bercakap intensif dengan warganya di berbagai segmen kerjanya, terutama dengan kelompok profesional, pekerja seni dan kalangan pebisnis. Meski tampak ramai dan sibuk, kota-kota kita terasa kering dan tanpa identitas. Warna gedung dan sebaran market dan “mart” memang banyak di mana-mana, tapi itu semua tak lebih dari sekadar pewarnaan yang acak, egois dan saling mengepung.
Taman-taman dibangun hanya untuk menunggu lingkaran kerusakannya kembali. Kekuatan partisipasi di tingkat rukun-rukun warga dan kelurahan nyaris tak bergerak. Praktik “kota berkelanjutan” nyaris belum pernah kita bahas memadai. Kita bahkan cenderung ikut-ikutan dengan jargon yang indah dan cerdas di telinga tapi amat sulit berbekas dan bermakna sehari-hari. Kita rentan ikut-ikutan ber-Inggris dengan kata “Park”, dst. Padahal, wawasan lanskap, teknologi persampahan, edukasi masyarakat, keamanan, dan tata kelola kota-kota kita terseok-seok.
Di banyak titik kita butuh landmark yang menyebar dengan karakter, citra dan radius pengaruh yang memadai. Dengan begitu, siapa pun yang datang di Gorontalo bisa merasakan, menyaksikan dan mendokumentasikan “aura” peradaban kota-kota kita.
Mutu Manusia dan Sumberdaya Alam
Mutu hidup manusia dan daya dukung sumberdaya alam kita hendaknya menjadi prioritas. Di permukaan, kedua sektor mendasar ini meskipun relatif ramai dibahas dan di-programkan, tapi kita masih lemah mencapai sebuah pelembagaan mutu manusia itu. Proses pendidikan mengalami semacam teknikalisasi yang hebat atas nama kurikulum, desentralisasi yang naik-turun, infrastruktur, dan kebijakan SDM guru yang berputar-putar.
Padahal, ketika di tingkat lokal kita sudah mempunyai sekolah-sekolah vokasi atau Politeknik, itu artinya lapisan kelompok terampil sudah harus menjadi basis perubahan dalam skala yang lebih produktif, secara ekonomi dan penerapan teknologi. Pada bagian lain, setiap tahun kita meluluskan anak-anak kita yang unggul di bidang sains dan bidang-bidang kompetitif lainnya, tapi sepertinya mereka kita “biarkan” mencari nasib-nya masing-masing secara domestik. Gorontalo kita belum punya pelembagaan Pusat-Pusat Keunggulan (center of excellent) yang handal mengerjakan terobosan-terobosan berlapis, generasi baru yang berdaya-tahan dan intens-berkelanjutan menggerakkan kerja-kerja bermakna ke masa depan.
Sejalan dengan tantangan mutu manusia, perhatian kita kepada lingkungan hidup mensyaratkan sebuah emosi (pembangunan) yang makin serius. Pola bencana alam, perubahan iklim dan potensi SDA, kondisi mutu air tanah, luasan hutan produktif dan manggrove, produktivitas pertanian dan perikanan kita, kondisi DAS, Danau Limboto, dan wilayah perbukitan, pesisir dan pulau-pulau kita, adalah sebuah sistem ekologis yang butuh pemahaman dan penanganan yang kompleks.
Sebuah titik temu antara yang ekologis dan yang ekonomis sudah harus lebih progresif dikerjakan. Kita jangan abai dengan potensi ekonomi masyarakat yang berada di perdesaan dan di pesisir. Skala produksi mereka bisa terpacu dengan kepekaan kebijakan yang menyentuh penyediaan infrastruktur dasar (jalan, jembatan, listrik, air, dst) dan akses mereka kepada pasar. Dengan itu, sambil skala ekonomi rakyat terus membaik, revolusi mental agraris secara intens kita gerakkan dan akhirnya akan melahirkan kegembiraan ekonomi dan kepemimpinan baru di/dari pinggiran.
Kebudayaan dan Jati Diri
Kebudayaan yang mendasari sebuah etik kekuasaan dan etos hidup yang damai dan progresif, haruslah pula diberi ruang ber-nafas dan ber-karya yang lebih luas dan longgar. Tanpa tradisi yang memihak kepada tumbuhnya strategi budaya yang menjembatani daya cipta, sains dan teknologi, pluralitas masyarakat dan organisasi kebutuhannya yang terus berubah, kita hanya akan tumbuh menjadi bangsa yang terbiasa mengurus keramaian, hal-hal kecil dan agenda jangka pendek. ***
Penulis adalah Direktur PuSAR Indonesia;
Bekerja di Universitas Negeri Gorontalo
E-mail: [email protected]