Oleh:
Zelika Enjelina Manangin
Mahasiswa PGSD Universitas Negeri Gorontalo
TAHUN ini, tepatnya tahun 2024 sepertinya menjadi tahun yang memuakkan dalam dunia pendidikan karena adanya konflik politik anggaran pendidikan yang tidak memadai dan memperburuk kualitas pendidikan yang ada di Indonesia.
Bagaimana bisa anggaran yang sudah disiapkan oleh pemerintah tidak cukup untuk pendidikan di negeri kita? Apakah memang tidak cukup atau sudah ada campur tangan lain dalam hal ini. Tidak alasan yang benar-benar relevan sejauh ini.
Saat ini kita menyelami realita bahwa pendidikan di negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Sekarang ini, kita dihadapkan dengan konflik politik anggaran dan biaya kuliah tinggi yang dipicu oleh tuntutan dan menjadi masalah bagi pejuang pendidikan.
Saya membaca kajian Kusuma (Kompas, 30 Mei 2024) yang menuliskan tentang Politik Anggaran Pendidikan yang membuat kita bisa bernalar bersama. Beliau juga membahas mengenai komitmen anggaran, alokasi dan “refocusing” serta implementasi dan harapan tentang “Politik Anggaran Pendidikan”. Dan juga juga menanyakan suatu pertanyaan yang mungkin bisa mewakili banyak pihak.
Demikian kutipannya: “kemana larinya 20 persen anggaran APBN dan APBD untuk pendidikan yang menjadi amanat konstitusi ?”. Kini yang menjadi masalah adalah timbulnya dilema pasca pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/ PUU-V/2007 yang menyebutkan bahwa “minimal 20 persen anggaran pendidikan itu sudah termasuk anggaran pendidik”. Di sinilah mulai muncul kekhawatiran karena jika kita mengikuti keputusan yang dibuat Mahkamah Konstitusi maka anggaran 20 persen tersebut akan cenderung lebih berat ke pembayaran gaji terhadap Pendidik dan bisa saja hal tersebut dapat berpengaruh terhadap kebutuhan pendidikan lainnya, seperti biaya pembangunan infrastruktur sekolah dan refitalisasi fasilitas pembelajaran. Oleh Kusuma dikatakan bahwa ternyata “anggaran minimal 20 persen pendidikan tidak benar-benar dianggarkan dan dikelola secara optimal untuk pendidikan sebab harus berbagi dengan yang lain” (Kompas, 30 Mei 2024).
Lalu sekarang pertanyaannya: kenapa kita harus membagi anggaran sektor pendidikan dengan sektor lain? Bukankah itu sudah ada bagiannya masing-masing?
Begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab. Kenapa tidak dibalik saja! Sektor lain yang mengalokasikan dana mereka untuk pendidikan, toh juga ini demi kepentingan pendidikan di Indonesia.
Terkadang, kita kurang menyadari ada berapa banyak anak-anak yang hidup di jalanan dan tidak bersekolah. Jika tidak bisa memberikan dana tambahan untuk sekolah, maka setidaknya anak-anak yang tinggal di jalanan tetap bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak harus menyekolahkan mereka, membelikan buku bacaan kepada seorang anak misalnya maka hal tersebut bisa mengubah sedikit masa depan negara yang tidak dapat kita prediksi kedepannya seperti apa. Apakah pendidikannya jauh lebih baik atau malah sebaliknya, we never know.
Hal berbeda juga bisa kita lihat pada perguruan tinggi negeri. Saat ini, “meski kenaikan uang kuliah UKT “dibatalkan”, tetapi tingginya biaya pendidikan di perguruan tinggi masih akan dihadapi dan dikeluhkan orangtua serta berpotensi membuat para calon mahasiswa mengundurkan diri karena tak sanggup membayar” (Kusuma, 2024).
Dalam implementasi dan harapan, hanya satu yang bisa kita lakukan yaitu melakukan monitor dan pemantauan terhadap amanat konstitusi 20 persen anggaran yang “katanya” untuk pendidikan, apakah hal tersebut sudah dijalankan atau belum. Jika hal semacam ini kita tindaki, kemungkinan banyak pihak yang akan lebih mempertanggung jawabkan amanah yang diembannya, semoga saja. Masalah lainnya yaitu gaji Guru. Mengutip dari Kompas (Kusuma, 2024), ia menjelaskan bagaimana sulitnya Guru untuk menganteri demi memperoleh kemakmuran yaitu dengan cara mengikuti rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau Calon Pegawai Negri Sipil (CPNS).
Semoga saja ada keadilan untuk manusia-manusia tanpa tanda jasa ini, karena di negeri ini, Guru terlihat seperti dihormati tapi kenyataannya diam-diam dikhianati. Perihatin rasanya dengan hal ini. Jika pemerintah bisa menganalisis lagi masalah ini, mereka harus meyakini pendidikan sebagai investasi yang strategis, yang perlu mendapat perhatian penuh. Dengan menaikkan anggaran pendidikan, hal tersebut bisa membuat sebagian calon mahasiswa yang nantinya akan masuk ke perguruan tinggi kemungkinan tidak bisa melanjutkan pendidikan mereka lagi karena terhalang masalah biaya.
Oleh Risza, yang menulis tentang Biaya Kuliah Tinggi Empaskan Mimpi, dinyatakan bahwa seharusnya pemerintah mendahulukan terlebih dahulu apa yang menjadi perhatian dan fokus terhadap masalah yang timbul dalam dunia pendidikan terutama pada perguruan tinggi. Kampus seharusnya bisa memberikan perhatian lebih terhadap masalah yang sering terjadi pada calon mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri seperti “Salah Memasukkan Data” (Kompas, 31 Mei 2024).
Semua ini saya pikirkan setelah membaca konsep-konsep dasar bahwa “education encompasses many values and hopes” yang kami pelajari di Mata Kuliah Sociology of Education (2024). Kalimat ini sepertinya cocok untuk kita ungkapkan setelah melihat isu ini. Banyak sekali harapan-harapan serta nilai-nilai yang dipatahkan hanya karena beberapa hal.
Semoga pendidikan di Indonesia bisa bersinar layaknya mentari yang memberikan cahaya dan kehidupan bagi seluruh makhluk tanpa memandang mana yang layak dan tidak. ***
Penulis adalah
Mahasiswa PGSD Universitas Negeri Gorontalo
Comment