Lulus kuliah cepat, tujuan yang tepat?

Oleh :
Rosidatul Arifah

Masa perkuliahan adalah penentuan terbesar untuk melanjutkan kehidupan mahasiswakedepannya. Meraih gelar sarjana dalam usia semuda mungkin adalah suatu prestasi yang amat mengharumkan nama keluarga, juga menunjukkan identitas strata yang menggambarkan bahwa mereka berasal dari kalangan yang terdidik secara studi dan memperbaiki latar belakang keluarga, bagi keluarga yang memang belum memiliki lulusan sarjana.

Masa studi normal perkuliahan mahasiswa jenjang S1 dapat dituntaskan selama 8 semester atau kurang lebih 4 tahun, namun ada juga yang memilih mempercepat studi mereka selama 3,5 tahun.

Tentu alasannya berbeda-beda, ada yang ingin mempercepat studi mereka memang karena sudah melihat lapangan pekerjaan, ingin melanjutkan ke pendidikan selanjutnya, atau demi mengejar predikat cumlaude, atau bahkan karena faktor ekonomi sehingga memaksa mereka agar cepat menuntaskan perkuliahan.

Lulus dengan waktu yang lebih cepat ini tentu amat diminati dan menjadi tujuan serta harapan oleh mahasiswa kebanyakan,terutama bagi mahasiswa baru, dan tentu juga menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa lainnya karena memang mereka sama-sama mengetahui betapa sulitnya dunia perkuliahan, terutama di semester akhir.

Namun tidak menutup kemungkinan, ternyatajuga banyak mahasiswa yang malah tertarik untuk memperlama masa studi mereka. Sebagian mahasiswa ini malah tertarik untuk memperpanjang masa studi mereka dengan berbagai alasan dan faktor yang menjadi landasan mereka, bukan hanya karena rasa malas belaka.

Sebagian mahasiswa yang tertarik untuk memperpanjang masa studi ini, biasanya akan memanfaatkan waktunya untuk memperoleh pengalaman sebanyak-banyaknya, baik berupa lomba-lomba, terlibat kepengurusan ormawa, magang, pertukaran pelajar, kegiatan organisasi dalam dan luar kampus serta kegiatan bermanfaat lainnya.

Mereka beranggapan, kuliah dengan masa studi yang lama namun menghasilkan pengalaman yang bisa dibawa hingga tua adalah sesuatu yang amat membanggakan dibandingkan buru-burukuliah namun hanya mengejar gelar “sarjana muda” saja, tetapi tidak memiliki pengalaman yang baik dan cerita-cerita menarik selama di perkuliahanselain hanya pengalaman akademik. Sedangkan lowongan perkerjaan selalu membutuhkan kandidat lulusan yang memiliki pengalaman dan bukan seputar akademik saja.

Lantas, manakah yang lebih menguntungkan antara kuliah dengan waktu yang singkat dan menjadi lulusan terbaik  dalam akademik, tetapi tidak mengikuti berbagai kegiatan kemahasiswaan atau malah kuliah dengan masa studi yang cenderung lebih lama, namun memperdalam, melatih dan mempersiapkan softskill dan hardskilldengan mengikuti berbagai macam kegiatan kemahasiswaan? Pertanyaan ini tentu menjadi momok besar di kalangan mahasiswa untuk memilih antara salah satu pilihan tersebut.

Mahasiswa adalah oknum intelektual yang berfikir. Sebagai seseorang yang berfikir, mereka harus menimbang-nimbang terhadap segala keputusan yang akan diambil. Menurut pandangan penulis, kuliah dengan hanya mengejar gelar “sarjana” dengan terburu-buru hingga menyepelekan bahkan melangkahi segala bentuk kegiatan kemahasiswaan di kampus bukan merupakan hal yang efisien untuk melirik lapangan pekerjaan. Didukung oleh dua alasan besar, sebagai berikut.

Pertama, untuk menjadi kandidat yang berkualitas,mahasiswa perlu meningkatkan kemampuan  softskills dan hardskillsSoftskills adalah kemampuan berkomunikasi, karakteristik, serta kecerdasan emosional seseorang. Sementara hardskills adalah kemampuan yang dibutuhkan dalam pekerjaan.

Kemampuan ini amat dibutuhkan mahasiswa guna kehidupan kedepannya, terutama dalam mempersiapkan diri untuk lapangan pekerjaan. Kemampuan seperti komunikasi, kerja sama, dan tanggung jawabini bisa dilatih mahasiswa dalam berorganisasi, seperti mengikuti ormawa, UKM dan kepanitiaan yang sering digalakkan di kampus.

Kedua, “Jangan sampai saat lulus, CV masih kosong”. Jika mahasiswa hanya menggiatkan diri 100 persen hanya fokus terhadap tugas-tugas akademik, tanpa menyeimbangkan diri dalam keterlibatan kegiatan kemahasiswaan, tentu mahasiswa tidak memiliki pengalaman yang banyak, sedangkan bagian terpenting dari pendidikan adalah pengalaman.

Sementara lapangan pekerjaan yang akan dilamar tentu membutuhkan CV yang tidak meminta kualitas akademik saja. Mau tidak mau, kebanyakan mahasiswa yang melamar pekerjaan akan dihadapi dengan pertanyaan yang menanyakan pengalaman apa saja yang mereka peroleh selama berkuliah. Tentu ini akan menjadi musuh terbesar bagi mahasiswa yang hanya buru-buru menuntaskan perkuliahan tanpa menyeimbangkannya dengan pengalaman

Perkuliahan tidak hanya sebatas akademik saja, banyak hal-hal diluar akademik yang bisa menjadi wadah untuk menggaet pengalaman dan tentu menjadi kesan serta cerita yang mendalam yang akan diingat sepanjang masa oleh mahasiswa. Oleh karena itu, kuliah-pulang kuliah-pulang(kupu-kupu) dengan hanya mementingkan nilai akademik demi memburu wisuda dalam masa seminim mungkin tanpa mempertimbangkan hal-hal yang berada di luar akademik, saya rasa merupakan sesuatu yang kurang efisien.

Namun, kuliah dengan semester yang sangat panjang, hingga menghabiskan seluruh jatah semester yang tersisa juga bukan merupakan hal yang efisien, atau hanya memfokuskan diri terlibat dalam seluruh agenda kemahasiswaan tanpa memperhatikan nilai akademik juga merupakan hal yang rumpang. Karena antara organisasi dan akademik haruslah sejalan.

Semua kembali kepada mahasiswa yang bersangkutan, sebagai kaum intelektual yang berfikir, mereka dintuntut untuk mengakomodasikan waktunya, menyeimbangkan antara kepentingan akademik dengan softskillsdan hardskillyang dilatih melalui berbagai kegiatan kemahasiswaan. “Bagian terpenting dalam pendidikan adalah pengalaman”. (*)

Penulis adalah mahasiswi aktif
Sastra Indonesia, FIB Unand dan tengah aktif berkegiatan
di LPK (labor penulisan kreatif) FIB UNAND.

 

Comment