Oleh :
Muchlis S. Huntua,S.Ag, M.Si
Salah satu instrumen penting yang sejatinya menjadi pusat perhatian seluruh elemen masyarakat di Provinsi Gorontalo, adalah tantangan daerah ini dalam menghadapi era Indonesia Emas, Gorontalo Emas 2045 yang dikorelasikan dengan kondisi Bonus Demografi.
Kelebihan populasi jumlah penduduk produktif, dikatakan menjadi bonus demografi, apabila populasi jumlah penduduk usia produktif tersebut, memiliki tingkat produktivitas dan daya saing yang tinggi, hingga dapat berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi dan kemajuan bangsa ini. Jika tidak, maka yang akan terjadi adalah “malapetaka demografi”,
Bonus demografi merupakan suatu bonus yang dinikmati oleh suatu negara atau daerah yang menyuguhkan peluang (window of opportunity) sebagai akibat atau dampak dari besarnya proporsi penduduk produktif.
Dengan begitu, yang patut dijawab, dirumuskan dan diformulasikan oleh seluruh elemen di daerah ini, adalah pertanyaan ; sejauhmana tingkat produktivitas dan daya saing masyarakat Gorontalo, ketika jumlah populasi penduduk usia produktif (15-64 tahun) jauh lebih tinggi dibandingkan usia tidak produktif (0-14 dan 65 ke atas).
Jika merujuk pada sajian data dari BPS Provinsi Gorontalo tahun 2020 saja, jumlah penduduk usia produktif di daerah yang berjuluk Serambi Madinah ini, mencapai angka 411. 186 jiwa dari total penduduk 1.171.691 jiwa.
Dari angka tersebut memang sepintas, jumlah usia produktif, populasinya masih dibawah usia dengan kategori tidak produktif yakni dengan komposisi yang hampir berimbang sekitar 500 ribu jiwa lebih.
Namun jika merujuk pada jumlah populasi penduduk usia 0-14 tahun yang mencapai angka 150.408 pada tahun 2020, dengan tingkat laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 1,16 persen setiap tahunnya, maka pada 2025 Provinsj Gorontalo sudah mulai berada pada zona bonus demografi dan diprediksi akan mencapai puncaknya pada 2035.
Dalam hitungan angka-angka, memang kondisi Gorontalo sedikit berbeda secara nasional, dimana puncak bonus demografi di seluruh Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2025.
Berdasarkan hal itu, maka sebenarnya, Gorontalo masih memiliki rentang waktu yang cukup untuk berbenah dalam rangka mempersiapkan bonus demografi pada tahun 2035 dan menghadapi Indonesia Emas pada tahun 2045.
Itu artinya, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten dan Kota saat ini, sejatinya sudah mulai merumuskan strategi kebijakan dalam menghadapi bonus demografi, minimal dalam 5-10 tahun ke depan.
Upaya untuk mempersiapkan dan merumuskan kebijakan strategi menghadapi Bonus Demografi itu dipandang sangat penting dan krusial, karena beberapa faktor yang terkait dengan realitas yang boleh dikatakan “miris”, diantaranya ;
Pertama, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Gorontalo yang saat ini masih berstatus sebagai daerah dengan IPM terendah di Indonesia, yakni 68,49 persen pada tahun 2019.
Bahkan dari angka ini, Provinsi Gorontalo merupakan yang terendah di kawasan regional Sulawesi yang menjadikan Gorontalo berada di bawah Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.
Kedua, dari data yang dirilis oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tahun 2013, indeks Daya Saing Provinsi Gorontalo berada di urutan 26 dari 34 Provinsi di Indonesia.
Sementara indeks Produktivitas Gorontalo berada pada rangking 30 dari 34 Provinsi di Indonesia (Kantor Berita Antara, 8 Januari 2013).
Dari 2 indikator di atas menunjukkan, bahwa Provinsi Gorontalo menghadapi tantangan yang tidak ringan.Paling tidak, Provinsi Gorontalo hari ini tidak sekadar menghadapi tantangan dan persoalan yang biasa-biasa saja, tapi tantangan yang luar biasa kompleks dan multi dimensional yang membutuhkan semangat dan komitmen kerja keras yang tinggi dari seluruh elemen di masyarakat.
Tulisan kolumnis sekaligus akademisi UNG, Basri Amin yang menyebut Gorontalo sebagai “Daerah Miskin yang banyak Acara”,(Gorontalo Post, 3 Juli 2023), sebenarnya merupakan “tamparan keras” yang sejatinya membangunkan Gorontalo agar tidak terlena dalam buaian seremoni yang terkadang tidak menyentuh persoalan yang substantif bagi masa depan Gorontalo.
Sebenarnya, terkait persoalan bonus demografi dan Gorontalo Emas 2045 sudah dibahas dan dirumuskan pada kegiatan Silaturahmi Nasional (Silatnas) III Presidium Nasional (Presnas) Pembentukan Provinsi Gorontalo yang digagas Ketua Dewan Pembina Presnas Prof. Nelson Pomalingo pada akhir Juni 2021 lalu di Limboto.
Kala itu, seluruh tokoh Gorontalo dari daerah-daerah di Indonesia dan dari Gorontalo sendiri secara bersama-sama telah merumuskan berbagai “buah pikiran konstruktif” tentang Gorontalo masa depan.
Dari kegiatan ini sebenarnya, seluruh elemen di Gorontalo sudah memiliki kerangka berpikir dan fondasi berpijak tentang gerakan menuju Gorontalo Emas 2045 dengan bonus demografinya.
Persoalannya sekarang, apakah para pemangku kepentingan di daerah ini mau duduk bersama dalam satu meja untuk “moawota” dalam rangka merancang, merumuskan dan memformulasikan kembali buah pikiran konstruktif yang telah dihasilkan tersebut?
Ataukah masih ada instrumen solusi lainnya yang perlu ditelaah kembali untuk sebuah gerakan dan strategi Gorontalo dalam kerangka menghadapi bonus demografi, Gorontalo Emas dan Indonesia Emas?
Tentu semuanya berpulang kembali kepada para pemangku kepentingan di daerah ini. Yang jelas, Gorontalo hari ini masih menyimpan berbagai tantangan yang cukup berat dan sangat membutuhkan sebuah perjuangan, strategi dan gerakan yang konsisten, konkrit, fokus dan menyeluruh. Semoga (*)
Penulis adalah Ketua Senat Universitas NU Gorontalo dan Pelaksana UPTD KPH VII DLHK Provinsi Gorontalo
Comment