Oleh
Basri Amin
Sukses Tim Nasional kita di Singapore pada kejuaraan AFF 2021, jelas membanggakan. Di bagian yang amat menentukan, “mentalitas Korea Selatan” terasa (ikut) menempa pemain-pemain nasional kita. Shin Tae-yong adalah figur pelatih yang menyalakan api (patriotisme) bangsa melalui bola. Pemain kita masih sangat muda! Dunia mengakui potensi besar mereka. Kuncinya di mana? Mentalitas!
Ketika Presiden Joko Widodo menggetarkan jargon “Revolusi Mental” di awal pemerintahannya di periode pertama, saya terkesima. Cerdas! Menyentuh! Historikal! Rupanya, beliau sangat Soekarno(is). Wajar! Jokowi adalah seorang “nasionalis berpartai merah”. Soekarno bukan hanya akar tunggang Partai Nasional Indonesia (PNI), tapi ia adalah sekaligus tokoh sentral penyatu bangsa ini. Orator dan aspirator hebat. Tak heran kalau Soekarno demikian bermimpi mensinergikan Nasionalisme-Agama-Komunisme (Nasakom). Gagalkan Soekarno? Sejarah masih akan terus memberinya penilaian…
Sebagai Presiden, Soekarno, adalah sosok abadi bagi Indonesia: proklamator kemerdekaan dan Presiden pertama Indonesia. Sungguh tak ternilai jasa-jasanya. Meski demikian, dari sekian banyak jasanya yang terpenting, dalam hemat saya, adalah bahwa Soekarno melentingkan wibawa Indonesia di panggung dunia. Bukan hanya karena memang Soekarno adalah figur terdidik yang retorik, tapi ia berhasil memerankan itu semua karena memang ia punya bacaan luas dan kemampuan mendunia.
Soekarno punya dunia banyak karena menguasai banyak bahasa dunia. Tak heran kalau sejumlah blok kerjasama, inisiatif kawasan, dan forum-forum internasional berhasil digalang oleh Soekarno di masanya. Ia melahirkan sebuah “generasi” yang mendunia dalam peran-perannya. Generasinya amat cinta buku; mereka dewasa berdebat dan kokoh moral dalam berpolitik. Bertarung dengan kebesaran cita-cita. Tetap ada ironi tapi tak pernah ada dendam yang membara. Dan, satu lagi yang terang: tak pernah ada di antara mereka yang memperkaya diri sendiri karena uang negara.
Ideal memang. Soekarno adalah Presiden penyatu yang pemberani. Hal serupa diwujudkan oleh Presiden Gus Dur. Untuk semua presiden kita, tugas sebagai “penyatu” bangsa memang terkesan terdepan dikerjakan. Gejolak sedikit saja, Presiden pasti tak tinggal diam. Caranya saja yang berbeda. Ada yang cenderung militeristik demi stabilitas (Soeharto), ada yang memilih cara dialog dan humanitarian seperti Gus Dur dan ada pula yang melalui aksi afirmasi nyata (desentralisasi) di masa B.J. Habibie dan Megawati, serta pelembagaan ruang publik-demokratis dalam sistem bertata-negara dan tata-hukum di zaman SBY. Di periode Jokowi, yang terasa adalah “serba kunjungan” dengan gaya orang biasa.
Di masa ini, “bahasa yang empatik” cenderung dinyatakan sebagai metode baru menyegarkan keindonesiaan kita. Ketidakadilan dan kesenjangan dijawab dengan infrastruktur, kunjungan berulang ke daerah-daerah, serta populisme kebijakan tertentu. Handalkah hal ini merawat keindonesiaan? Sejarah masih akan menguji. Yang jelas, benturan-benturan (politik) identitas, kerancuan-kerancuan dalam kebijakan publik, kepemihakan kepada hak-hak sipil, serta ketegasan bangsa di percaturan global cenderung (masih) dipertanyakan. Kita masih menunggu warisan kepresidenan seperti apa yang akan diwujudkan oleh Jokowi. Prestasi olah raga? Ibu Kota negara yang pindah di Kalimantan? Kemakmuran yang makin merata? Koruptor di kalangan pejabat negara?
Dalam banyak hal, peran kita di tingkat dunia cenderung tak menggetarkan “keseimbangan internasional”. Sebagai contoh sederhana, meski sudah beberapa kali diselenggarakan pertemuan “diaspora Indonesia” –sebagai forum manusia Indonesia yang berkiprah di berbagai bidang utama di berbagai negara–, tapi kita belum sepenuhnya berhasil mendayagunakan jaringan dan kapasitas mereka untuk kepentingan nasional yang lebih luas. Praktik-praktik cerdas yang mereka capai selama ini dan apa-apa yang mereka telah kontribusikan di negara-negara maju, nyaris tak kita “copy” untuk berbagai bidang dan institusi. Di lembaga pendidikan misalnya, kultur akademis dan leadership yang progresif hingga kini masih terbayangi oleh “feodalisme” posisi dan fasilitas. Bahkan tak jarang, kolusi (kepentingan ‘gerombolan’ jangka pendek) dan nepotisme (keluarga dan organisasi) masih menyelinap diam-diama. Ia terus mengakar dan menyebar di banyak situasi.
Presiden penyatu yang pemberani kita butuhkan karena putaran zaman yang melilit Indonesia membutuhkan haluan yang kokoh. Terpaan global yang menusuk semua titik lokalitas kita meniscayakan visi bersama yang terkonsolidasi. Ledakan informasi menerpa semua orang, tapi tak semua golongan siap mengunyah itu semua dengan kadar kesadaran dan volume pemanfaatan yang sama. Teknologi, di masa kini, adalah sesuatu yang meliputi banyak hal. Kita tak bisa menghindar darinya. Ia ibarat makanan. Harus selalu ada! Tapi, ia tak akan memberi faedah apa-apa kalau takaran, perlakuan, dan kandungannya tak kita perhitungkan. Ledakan masif inilah yang kini merasuki masyarakat kita. Pengaruhnya sangat besar: hoaks, kriminalitas, kehampaan, agresifitas, hipokrisi, dst. Lalu, negara berperan di mana? Pengatur signal dan frekuensi udara? Berkuasa memblokir akun? Perluasan propaganda anti teror? Kampanye damai di ruang-ruang publik?
Banyak perkara silih-berganti di depan Presiden Jokowi. Cukupkah waktu untuk menangani dan mengelola itu semua? Ancaman kekeringan, gempa bumi, terorisme, sebaran penyakit, internasionalitas kondisi Papua, serta “hadiah demografi” semuanya hadir bersamaan. Belum gelombang industri digital di tengah-tengah ekonomi dunia yang bergejolak. China makin tampak besar. Dan Amerika yang makin gagap tapi angkuh.
Ratusan juta penduduk, tapi dengan kesenjangan yang belum jua membaik. Lalu, Presiden hendak “menyatukan” yang mana? Saya kira, jargon “presiden penyatu” adalah sangat positif di tengah-tengah bangsa super majemuk seperti Indonesia. Tapi, dalam skala yang lebih luas, penyatuan seperti ini adalah sekaligus sebagai penanda bahwa bangsa ini –dari waktu ke waktu– demikian membebani presidennya dalam urusan pluralisme Indonesia. Secara normatif, tentu ini adalah perkara mendasar. Presiden harus menjamin harmoni sosial di negeri ini. Presiden memegang amanah “melindungi segenap hajat hidup orang banyak”. Bersamaan dengan itu, Presiden juga tentulah sangat paham tentang tugas-tugas konstitusionalnya yang lain. Hanya saja, perspektif presidensial seperti ini belum menunjukkan “kebesaran” Indonesia sebagai negara-bangsa.
Amanah untuk aktif “menjaga ketertiban dunia”, adalah juga sebuah tuntutan yang tak kalah seriusnya untuk diperankan oleh Indonesia. Di sinilah Presiden harus berani melihat dan memperlihatkan kepada bangsanya, bahwa Indonesia adalah bangsa yang aktif di tingkat dunia. Tak cukup dengan rutin bersidang di forum-forum dunia dan merativikasi konvensi-konvensi internasional, juga aktif mengutarakan pernyataan-pernyataan kemanusiaan untuk Palestina, Rohingnya, dst, tetapi juga secara lantang memberi gagasan bandingan dan praktik baik tentang isu lingkungan, tata kelola pemerintahan, pembangunan mutu manusia, demokrasi, keamanan, kesehatan global, hak azasi manusia, dst. Pak Presiden, yang butuh disatukan adalah cita-cita bangsa, mutu manusia Indonesia yang mengelola alam negeri ini, serta kesetiaan kita untuk merasakan keadilan dan kemakmuran, dan terus aktif menjadi bagian dari planet bumi yang sehat dan damai. ***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu
E-mail: basriamin@gmail.com











Discussion about this post