Oleh
Basri Amin
—-
Bagaimana membedakan antara tokoh, pejabat, pemimpin, pembaru, dan pecundang? Mudah saja sebenarnya. Bacalah kamus bahasa Indonesia! Bagaimana tentang penghianat, pejuang, pahlawan, penakluk, dan kesatria? Juga tersedia di kamus. Uniknya, di alam nyata, yang kita saksikan adalah kekacauan konsep dan pemahaman.
Di sebuah masyarakat yang mengalami “transisi kesadaran” yang berliku-liku, semua hal bisa diwakili oleh siapa saja –sejenis Sang Aku yang lihai (maju) ke depan– , sebagai pihak yang paling berhak “mewakili masyarakat”. Sumberdaya bersama dengan mudah dibelokkan –bahkan dimanipulasi– oleh keharubiruan publikasi dan propaganda. Cara-cara yang berulang selalu direproduksi dari waktu ke waktu. Padahal, yang terjadi adalah motif permainan yang tidak pernah berubah: hipokrisi yang dihias-cerdas di ruang-ruang publik. Maka, kecerdasan berpola “pertukangan” pun dirayakan dengan pembahasaan yang wah.
Di Spektrum Sosial ini (2019), indikasi-indikasi kegagapan kita menyikapi perubahan sudah ditandaskan. Jelas sekali bahwa jargon “generasi unggul” dan visi “Indonesia Emas 2045” membutuhkan konsolidasi di tingkat lokal dan regional. Dinamika (hadiah) demografi kita tak bisa disikapi sederhana dengan ilmu-ilmu lama yang semata lincah menghitung angka-angka dan fakta-fakta material yang disertai gelombang-gelombang (kurva) analisis, tetapi seharusnya mampu dirumuskan sejak dari dasar-dasar kebudayaan dan spirit keIndonesaan kita. Apa itu? Adalah kebangsaan yang etosnya terpantul dalam tradisi pergaulan dunia dan kemajemukan lintas bangsa. Adalah juga, dari sebuah struktur jiwa bangsa yang tumbuh-kokoh dari kesadaran yang egaliter dan demokratis, termasuk dalam soal-soal etik berpemerintahan/bernegara dan visi tata-kelola sumberdaya.
Generasi baru akan tetap saja mengalami kesulitan produktif. Ini terjadi bukan karena “kekangan” dari sektor kekuasaan yang arogan, melainkan berupa sikap-sikap keseharian kita yang gagal menciptakan iklim produktif yang bersentuhan langsung dengan kalangan muda. Percakapan yang tidak menggugah aspirasi penemuan baru di ruang-ruang pendidikan; sikap-sikap defensif yang mereduksi hak-hak anak-anak kita di bidang-bidang yang mewadahi talenta mereka, adalah bentuk-bentuk dari “iklim sosial” yang melemahkan proses “menjadi unggul” sebagai bangsa.
Kita cenderung abai dengan kondisi ini, dan terlalu percaya dengan normalitas zaman yang demikian terbuka terhadap informasi dan komunikasi; sembari yakin bahwa teknologi adalah jawaban atas segalanya. Fatal, bukan? Justru, teknologi adalah “alat” bagi sebuah pencapaian atas kepentingan (interests) tertentu. Bangsa-bangsa seperti China, India, Korea Selatan, Singapore, dan,–-yang paling fenomenal dua puluh tahun terakhir ini—Vietnam, mereka semuanya sangat jelas berhasil merasuki jiwa bangsanya dengan “interest” abad 21. Kalau kita cermati di CNN misalnya, sangat terasa bagaimana Vietnam dewasa ini menggerakkan ekonomi globalnya. Jika Anda kunjungi beberapa kampus terbaik di dunia, Anda akan rasakan bagaimana interest itu dikerjakan oleh kalangan muda Vietnam yang sedang belajar.
Mimpi untuk melahirkan etos “pergaulan dunia” di kalangan muda kita, termasuk di Gorontalo, sudah harus dikerjakan lebih progresif. Jangan lagi dengan retorika, tapi sudah harus ditancapkan sebagai “panggilan etis” kegenerasian. Dengan segala maaf, cakrawala seperti ini masih bergerak di skala kecil, terutama di kalangan keluarga berada yang dan yang terdidik –itu pun, saya kira, belum merata–. Jika ini yang terus membesar, daerah kita hanya akan menjadi “daerah pinggiran” yang hanya bergerak dan membangun karena negara masih bergerak dan “memberi” sepenggal potongan (persentasi) kue APBN republik ini.
Tak ada yang salah dengan jatah negara dan hak pembangunan untuk daerah, tapi dengan itu pula kita mestilah membuka mata tentang daya saing dan produktivitas kita. Bahkan, yang harus intens kita renungkan, bahwa dengan “kue APBN” itu juga kita berkelahi satu sama lain, berebutan di kursi-kursi kekuasaan dan kewenangan, serta sebagiannya memilih menjadi pemain luar yang lincah (ikut) menyedot rente-rente ekonomi di sisi-sisi sampingnya. Percakapkanlah dengan serius tentang kesenjangan dan kemiskinan kita; tentang mutu hidup masyarakat kita di berbagai tingkatan.
Belum banyak yang berubah secara fundamental. Secara mentalitas, yang tercipta di tingkat lokal justru mental “menunggu” dan “meminta”, bukan etos bergerak dan menggerakkan. Yang terjadi adalah apatisme terhadap gagasan perubahan. Yang banyak kita rayakan adalah klik kelompok yang peka dengan cara-cara jangka pendek di medan kuasa dan kapital. Figur-figur status quo masih melilit banyak sumberdaya dan institusi. Terpampang jarak besar antara keIndonesiaan yang hendak jadi kekuatan ekonomi dunia tetapi terhalang oleh lemahnya kepemimpinan regional dan lokal yang mampu “membaca” perubahan besar.
Posisi (hirarki kewenangan) lebih dipentingkan karena akumulasi kuasa daripada posisioning (ruang gerak) yang mementingkan peran-berdampak yang mensyaratkan misi perbaikan yang konsisten. Jika posisi lebih banyak dikuasai oleh “periode” dan “persepsi kelompok”, maka posisioning dilingkupi oleh aspirasi bergerak dalam ukuran “zaman baru” dan “panggilan generasi”. Itulah yang dikerjakan pemimpin sejati.
Cobalah Anda periksa di sekeliling Anda! Sepertinya pejabat dan/atau tokoh makin banyak, tapi pemimpin nyata (terasa) makin sedikit. Tampaknya mentalitas kita belum banyak berubah. Kita lebih sering merayakan perkawanan yang dibangun di atas nostalgia (masa lalu) tapi dengan cara membahasakannya dengan sirkus-sirkus masa depan yang dirancang untuk menggoda orang-orang kebanyakan yang (kebetulan) masih lebih banyak yang belum berhasil “menangkap basah” perangai kita yang sebenarnya. Waktu yang akan memberi bukti: pecundang dan penghianat (masa depan) akan semakin banyak yang menjadi pejabat! Bagaimana pendapat Anda? ***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu;
Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN).
E-mail: basriamin@gmail.com











Discussion about this post