Oleh :
Basri Amin
Pada hari Sabtu, 11 Maret 2000. Pada hari Senin, 31 Agustus 1987. Keduanya adalah jejak yang melintasi zaman. Dua tokoh besar Gorontalo berpulang kehadiratNya. Keduanya kini “berada” di TMP Kalibata; beristirahat di nomor 477 dan 425. Melalui sosok keduanya, kita belajar tentang sebuah warisan: manusia Gorontalo di panggung ilmu pengetahuan.
Begitulah yang bisa kita simpulkan dari jejak hidup dan perjuangan kedua manusia terbaik Gorontalo di zamannya: H.B Jassin dan Aloei Saboe. Dan, kita pun masih punya beberapa nama lain yang setara kebesarannya. Bukan karena citra sukses dan nama harumnya semata, melainkan karena konsistensi kerja-kerja hidupnya di medan ilmu pengetahuan. Kini kita harus tahu bahwa di medan (ilmu) itulah kemuliaan yang abadi akan bertahan dan mewariskan nilai-nilai.
Sampai hari ini, kita belum menemukan sosok penyinta ilmu pengetahuan (kebudayaan) sekokoh H.B. Jassin. Ia meninggalkan bangsanya untuk selamanya pada 11 Maret 2000. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Utama, Kalibata, Jakarta. Dengan kehormatan, H.B. Jassin –dengan nama panggilan/kesayangan “Djamadi” di kalangan keluarga dekatnya di Gorontalo….— beristirahat bersama ribuan pejuang bangsa di Kalibata. Ia mencapai itu karena negara menganugerahinya Bintang Mahaputra Nararya tahun 1994.
Pada pertengahan tahun 1939 pemuda cerdas Djamadi dipanggil kembali ke Gorontalo. Ayahnya mengirimkan 75 gulden sebagai ongkos perjalanan. Dengan berat hati ia harus meninggalkan (kota) Medan –yang telah menempanya belajar banyak hal lebih enam tahun, dengan tingkat pendidikan MULO dan HBS (Rahman, 1986:1952). Dengan modal pendidikan ini, H.B Jassin sudah menatap “cakrawala” ilmu pengetahuan yang begitu luas. Penguasaan bahasa internasional-nya mumpuni. Selain Belanda, bahasa Jerman dan Perancis bisa ia baca dengan mendalam. Di mata Jassin, Medan (akan) menjadi “kota dunia”. Di sana, ia dikepung oleh jiwa-jiwa muda yang aktif, bacaan luas dan bergaul dengan pioner-pioner media cetak berbahasa Melayu dan Belanda.
Dari Medan sampai ke Gorontalo, H.B Jassin menulis catatan perjalanannya yang impresif. Tercatat ia menulisnya pada April dan Mei 1939 di Medan. Seluruh kesan-kesan rantau-nya di Sumatera dan persinggahannya di Batavia, Bandung, Yogyakarta, Semarang dan Surabaya benar-benar dikisahkannya sebagai “lukisan perjalanan” (dari Medan ke Gorontalo).
Di tahun 1939 itu, seorang tokoh besar Gorontalo sudah menjadi “Dokter utama” yang bekerja di tanah Jawa, tepatnya di Semarang. Beliau adalah Dokter Aloei Saboe. Laporan perjalanan H.B Jassin yang singgah dan menemuinya –-bahkan menginap di kediaman Dokter Saboe– ketika H.B Jassin mengunjunginya di Semarang dalam rangkaian perjalanannya dari Medan. (Baca: Keinsafan, Oktober 1939).
Di Semarang, H.B. Jassin merasakan bagaimana Dokter Saboe “menerimanya dengan ramah…”. Semalam dan sehari H.B Jassin menikmati kota Semarang –yang menurutnya punya beberapa persamaan dengan kota belajarnya di Medan–. Dari Semarang, H.B Jassin menuju Surabaya. Di kota ini, H.B. Jassin ziarah ke makam Dokter Soetomo –Dokter pejuang yang sangat populer dan pernah menjadi dosen di NIAS Surabaya. Dari Dokter Soetomo lah Aloei Saboe menempa nasionalisme-nya. Keduanya sering bertemu. Tak heran kalau Jassin pun menulis panjang-lebar tentang Dokter Soetomo, bagaimana karakter pribadinya dan kedekatannya dengan rakyat di Surabaya.
Tak lama setelah lulus sebagai Dokter medis dari NIAS (3 Mei 1939), Dokter Saboe beroleh penugasan pertama di kota Semarang. Selanjutnya berturut-turut mengadakan penelitian dan penindakan medis untuk penyakit Kusta di wilayah Jawa Barat (Lemah Abang dan Bekasi), selanjutnya menuju Jawa Tengah (Blora dan Cepu), kemudian di Jawa Timur (Gresik dan Bangkalan). Di ujung semua ini, Dokter Saboe juga akhirnya beroleh penugasan ke kampung halamannya di Gorontalo, setelah sebelumnya sempat bekerja di Rumah Sakit Kusta di Kota Ambon.
Selama Dokter Saboe berada di Gorontalo, yang dominan terjadi adalah fase-fase perjuangan penyadaran kebangsaan melalui organisasi pemuda dan politik, sembari Dokter Saboe bergerak mengerjakan pelayanan kesehatan masyarakat. Pada organisasi Muhammadiyah misalnya, tercatat bahwa Dokter Saboe membantu Rumah Sakit Penolong Kesengsaraan Umat (PKU) tahun 1939 dan terus berlanjut sampai 1942. Ketika itu, sudah ada dokter dari Jawa yang bekerja di Gorontalo (Dokter Soenarjo). Setelah beliau kembali ke Jawa, tugas-tugasnya diambil-alih oleh Dokter Saboe.
Sejak kembalinya dokter Saboe dari pendidikan kedokterannya di NIAS dan sempat bekerja di beberapa kota di Jawa dan di kota Ambon, kondisi (kesehatan masyarakat) di Gorontalo juga dalam kondisi yang cukup berat. Khusus untuk penyakit Kusta (Lepra), Dokter Aloei Saboe telah memberinya perhatian serius sejak awal.
Terberitakan besar dalam koran utama Gorontalo di masa itu (Keinsafan, 1939) bahwa Dokter Aloei Saboe memberikan ceramah khusus tentang penyakit Lepra pada malam Kamis 11/12 Oktober 1939 di gedung H.I.S. Muhammadiyah Gorontalo. Dokter Saboe sangat kaget membaca laporan kesehatan di Gorontalo bahwa tercatat sekitar 180 orang berpenyakit Kusta yang berobat di dokter. Mereka berasal dari beberapa wilayah di Gorontalo. Meski demikian, dokter Saboe sendiri berpendapat banyak sangat banyak orang yang mengidap Lepra di Gorontalo, mengingat bahwa masih banyak yang belum tampak gejalanya –secara fisikal. Di bulan Oktober 1939 tersebut, Dokter Saboe memperkirakan tidak kurang 500 orang di Gorontalo yang terjangkiti Lepra.
Melalui ceramah panjang Dokter Saboe di malam Kamis 12 Oktober 1939 tentang Kusta/Lepra tersebut, para pendengar yang umumnya datang dari kalangan terdidik Gorontalo, beberapa tokoh organisasi kebangsaan dan kalangan pemuda, semuanya merasa sangat puas dan makin paham. Dokter Saboe bahkan menjelaskan bagaimana “teknis” pemeriksaan atas penyakit ini dan bagaimana dampaknya secara luas, demikian juga dengan kendala-kendala penanganannya secara medis.
Dokter Saboe bahkan bercerita tentang kesulitan-kesulitan yang dialami di Semarang atau Blora di Jawa, hal mana angka Lepra sudah mencapai angka sembilan ribu orang lebih dengan stadium yang berbeda-beda tingkat keparahannya.
Ketika itu, Dokter Saboe menyarankan agar di Gorontalo perlu ada dokter spesialis untuk Lepra. Uniknya, peristiwa ini dilaporkan panjang lebar oleh H.B Jassin dalam tulisannya “Causerie tentang Lepra, Penyakit Koesta”, pada terbitan Keinsafan (1939). Kedua tokoh ini terbukti ditakdirkan untuk memantulkan bagaimana disiplin ilmu yang berbeda bisa bersama-sama mengisi ruang penyadaran, keterdidikan dan kerja nyata di kampung halamannya. ***
Penulis adalah peneliti di Pusat Studi Dokumentasi (PSD)-H.B. Jassin.
Parner di Voice-of-HaleHepu.
E-mail: [email protected]
Comment