Guru dan Potret Masa Depan Bangsa

Oleh :
Fory Armin Naway
Dosen FIP UNG dan Ketua PGRI Kab. Gorontalo

Guru sebagai garda terdepan dalam proses pembelajaran memegang peran penting, tidak hanya tampil mengajar di muka kelas, maupun melakukan proses pembelajaran secara virtual di era Pandemi Covid-19 saat ini, tapi lebih dari itu, guru adalah pendidik yang bertugas memanusiakan manusia. Guru dalam konteks ini, adalah menjadi potret masa depan bangsa. Artinya, kualitas guru merupakan cermin masadepan bangsa. Ketika guru berkualitas, maka masa depan bangsa ini juga cemerlang nan gemilang. Sebaliknya, ketika guru tidak berkualitas dan tampil apa-adanya, maka nasib bangsa ini juga biasa-biasa saja. Mengapa? Karena sesungguhnya, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang menjadi output pendidikan adalah pemegang tongkat estafet perjuangan bangsa yang sangat menentukan nasib bangsa.

Negara yang miskin Sumber Daya Alam (SDA) akan maju dan berkembang, jika SDM nya unggul dan berkualitas. Sebaliknya, Negara yang kaya SDA sekalipun, namun SDM tidak berkualitas, maka negara itu akan sulit berkembang. Itulah sebabnya, guru sebagai ujung tombak pendidikan sangat strategis perannya dalam menentukan nasib bangsa-bangsa di dunia ini. Dengan asumsi lain, nasib bangsa ini sebenarnya sangat bertumpu pada sejauh mana kualitas guru, sejauh mana penghayatan guru terhadap tugas-tugasnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Cerdas tidak hanya dari aspek intelektual akademik, tapi juga cerdas spiritual dan cerdas emosional. Oleh karena itu, guru dalam ranah realitasnya, tidak hanya dituntut sekadar mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didiknya, tapi juga menempa karakter anak didik, menjadi teladan dan menjadi spirit bagi anak didik untuk maju dan berkembang.

Guru di manapun, dalam perspektif Islam mengemban 3 fungsi, yakni mentransfer ilmu dengan perspektif pendakwah atau mengemban Dakwah bil Lissan, Guru juga harus mentransfer ilmu dan pengetahuan kepada anak didik melalui tulisan atau karya ilmiah atau Dakwah bil Qalam dan menebar nilai-nilai akhlakul karimah atau Dakwah Bil Hal atau menjadi teladan di tengah masyarakat.

Dalam perspektif kelembagaan, guru sebagai bagian dari dunia pendidikan, memiliki tugas dan peran, memikirkan generasi “hari ini” dan mempersiapkan generasi “yang akan datang”. Oleh karena itu, guru tidak selayaknya merasa puas dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, melainkan dituntut harus mengeksplorasi ilmu pengetahuan. Guru tidak boleh berpuas diri, melainkan semakin banyak yang ia ketahui, maka ia semakin merasa “bodoh” sehingga terus terpanggil untuk belajar mengikuti perkembangan zaman.

Demikian juga, guru tidak hanya menguasai seni bertutur atau mengajar secara lisan, tapi guru harus menulis artikel, menulis makalah dan menulis buku untuk memperluas cakrawala berpikir masyarakat, tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didiknya, tapi juga mencerdaskan khalayak banyak.

Dalam ranah ideal, guru juga diharapkan memancarkan sikap dan akhlak yang baik. Guru, sebagai mana ungkapan yang populer adalah sosok yang digugu dan ditiru. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Kesemuanya itu merupakan deretan ungkapan yang mengggambarkan, betapa guru dituntut memiliki akhlak dan perilaku yang baik di tengah masyarakat. Akhlak yang baik dalam perspektif masa depan bangsa ini, tidak hanya menempa karakter anak didik agar berperilaku baik di tengah masyarakat, tapi lebih dari itu, bangsa ini menjadi maju, kuat dan berjaya, apabila generasi mudanya memiliki etos kerja yang tinggi, memiliki displin, jujur dan berintegritas serta menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas.

Itulah hakekat nilai yang telah diwariskan oleh mendiang Presiden BJ Habibie yang menggalakkan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan memiliki Iman dan Takwa (IMTAK). Itulah yang dimaksud dengan manusia Indonesia seutuhnya, atau manusia insan cendekia yang diidam-idamkan bapak teknokrat Indonesia itu. Jika hanya salah satu yang dikuasai, maka seorang anak didik sebagai generasi penerus, tidaklah menggapai predikat yang ideal sebagai mana yang diharapkan dan dicita-citakan oleh pendiri bangsa.

Semangat dan komitmen itulah yang sejatinya dimaknai oleh guru di manapun. Tugas utama guru, bukan hanya sekadar menjalankan rutinitas dan bangga menyandang predikat sebagai guru, tapi institusi negara dan siapapun mengharapkan agar guru mampu tampil dengan performance yang maksimal. Maksimalisasi peran guru dalam konteks ini, terletak pada sejauh mana kesadaran “kolektif” guru untuk mengeksplorasi pengetahuan dan menjadi sumber teladan serta menjadi sumber inspirasi dan referensi anak didik agar kelak menjadi generasi yang dapat diandalkan.

Dalam banyak literatur disebutkan bahwa, berbicara tentang generasi muda dan tentang masa depan bangsa ini, tidak terlepas dari 3 aspek yang bersifat universal, yakni “Pendidikan”, “Daya saing” dan “Produktifitas”. Pendidikan dalam ranah realitasnya memiliki 3 fungsi, yakni bagaimana meningkatkan akses pendidikan, yakni pendidikan untuk semua atau education for all. Selanjutnya, meningkatkan kualitas pendidikan dengan menerapkan sistem pembelajaran yang relevan, meliputi pembelajaran kognitif, afektif dan psikomotorik. Dalam konteks peningkatan kualitas pendidikan ini juga, pendidikan karakter menjadi instrumen wajib sebagai wahana membangun manusia Indonesia sebagai “Insan Cendekia”.

Sementara “Daya saing” dan “Produktifitas” generasi muda, tidak hanya terkait erat dengan IPTEK tapi juga sangat terkait erat dengan kualitas IMTAK. Dalam perspektif masyarakat, trampil, memiliki keilmuan dan berkompetensi adalah wahana penting bagi anak didik untuk menggapai masa depan yang lebih baik dan dapat berkontribusi bagi kemajuan bangsa ini. Namun, kompetensi dan keilmuan, tidaklah cukup. Justru ada sebagian yang berpendapat bahwa kualitas iman dan takwalah yang memegang peran penting bagi terwujudnya insan cendekia. Dalam perspektf ini, apalah artinya kecerdasan, jika tidak memiliki kualitas iman yang memadai. Sebagai mana Ali Bin Abu Thalib pernah mengatakan, “Aku lebih menghormati yang beradab dari pada yang berilmu”, kalau hanya pintar dan berilmu, iblis pun lebih tinggi ilmunya”. Itulah pentingnya keseimbangan ilmu dan adab dalam kehidupan ini yang secara manifestatif berpengaruh terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dari uraian singkat di atas, maka dapat diperoleh gambaran bahwa guru di manapun, sejatinya terus mengeksplorasi ilmu pengetahuan, kreatif, inovatif dalam menjabarkan tugas-tugasnya sebagai pendidik, namun di sisi yang lain, guru di era sekarang ini dituntut memiliki daya tahan yang kuat untuk tidak terjebak pada gaya hidup (life style) yang dapat mempengaruhi pola hidup dan perilaku guru yang destruktif. Konstruksi guru hari ini merupakan potret masa depan bangsa secara keseluruhan. Ketika guru tidak berkualitas, kehilangan ruh dan spirit sebagai pendidik, rapuh dan kehilangan arah, maka masa depan bangsa ini juga akan rapuh. Hal ini mengindikasikan bahwa guru di satu sisi harus berbangga karena menjadi tumpuan harapan masa depan bangsa, tapi guru juga harus mawas diri, karena harapan dan cita-cita bangsa, sebagian besarnya berada di pundak guru. Semoga (****)

Comment