GORONTALO – GP – Sikap komisi pemilihan umum (KPU) Kabupaten Gorontalo yang menolak mencoret pasangan calon Nelson Pomalingo-Hendra Hemeto sebagai kontestan Pilkada 2020, sebagaimana rekomendasi badan pengawas pemilihan umum (Bawaslu) Kabupaten Gorontalo, dinilai Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan bentuk kehati-hatian KPU sebagai penyelenggara Pemilu.
Penilaian mahkamah itu disampaikan pada sidang putusan perselisihan hasil Pilkada Kabupaten Gorontalo, Rabu (17/2). Sebelumnya, terkait dengan perkara itu, dewan kehormatan penyelenggara pemilu (DKPP) memberi sanksi tegas terhadap komisioner KPU Kabupaten Gorontalo, karena dinilai tidak profesional dalam menyikapi rekomendasi Bawaslu, yakni mendiskualifikasi pasangan Nelson Pomalingo – Hendra Hemeto.
Ketua KPU Kabupaten Gorontalo, Rasyid Sayiu, bahkan dicopot dari jabatanya, dan empat komisioner lainya diberi sanksi peringatan keras. Perkara ini kemudian didalilkan pemohon yang merupakan pasangan calon Pilkada Kabupaten Gorontalo, pada sidang perselisihan hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi. “Perihal dalil pemohon yang menyatakan pemohon tidak menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu, untuk membatalkan pihak terkait sebagai peserta pemilihn bupati dan wakil bupati Kabupaten Gorontalo tahun 2020, menurut Mahkamah, adanya rekomendasi Bawaslu Kabupaten Gorontalo yang merekomendasikan dilakukanya pembatalan pihak terkait (pasangan Nelson-Hendra), sebagai peserta pemilihan bupati dan wakil bupati Kabupaten Gorontalo tahun 2020, hal tersebut merupakan bentuk kehati-hatian dari termohon (KPU) dalam menyikapi kasus tersebut sebelum diputuskan,”ucap hakim konstitusi Saldi Isra, saat membacakan putusan perselisihan hasil pilkada Kabupaten Gorontalo, Rabu (17/2) kemarin.
Manurut MK, sikap KPU tersebut sejalan dengan amanat pasal 140 ayat (1) Undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dimana dinyatakan, KPU Provinsi dan atau KPU Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 139 ayat (2) paling lama tujuh hari sejak rekomendasi Bawaslu diterima.
“Kata ‘memeriksa’ dalam pasal tersebut, memberikan kesempatan kepada KPU untuk mencermati dan meneliti sebelum memutus adanya pelanggaran administrasi berdasarkan rekomendasi Bawaslu,”ujar hakim konstitusi, Saldi Isra. Menurut Mahkamah, dalam kasus a quo hal utama yang menjadi perhatian adalah mahkamah adalah apakah rekomendasi Bawaslu serta pencermatan dan penelitian yang dilakukan KPU terkait rekomendasi itu, benar-benar telah mempertimbangkan segala hal demi terciptanya pemilihan yang berasaskan bersih, jujurm dan adil.
“Adanya fakta baru yang terungkap dalam pencermatan dan penelitian yang dilakukan oleh termohon (KPU,red), sehingga sampai pada kesimpilan bahwa Prof.Ir.H.Nelson Pomalingo, M.Pd, tidak terbukti melanggar ketentuan pasal 71 ayat (3) UU 10/2016, menurut Mahkamah hal tersebut juga sebagai bagian dari bentuk kehati-hatian penyelenggara, “ujar Saldi Isra.
Seperti diketahui, rekomendasi Bawaslu Kabupaten Gorontalo, nomor 210/K.GO-03/PM-06.02/X/2020 perihal Penerusan Pelanggaran Administrasi Pemilihan tertanggal 10 Oktober 2020. Pada pokoknya, merekomendasikan membatalkan Calon Bupati Petahana Kabupaten Gorontalo Nelson Pomalingo, karena terbukti melakukan pelanggaran Pasal 71 ayat (3) UU Pilkada. Menurut Bawaslu Nelson-Hendra melakukan kampanye terselubung, yaitu berkenaan dengan kegiatan jelajah wisata pada 11 Juli 2020, peluncuran hand sanitizer NDP-912 pada 23 Juli 2020, dan pemberian bantuan perikanan pada 14 September 2020.
Rekomendasi Bawaslu itu disikapi KPU Kabupaten Gorontalo dengan lebih dulu melakukan penelitian perkara, termasuk kembali memeriksa pihak-pihak terkait, hasilnya, KPU memastikan Nelson-Hendra tetap layak menjadi calon bupati dan wakil bupati. Dalam pemungutan suara pada 9 Desember 2020, pasangan Nelson-Hendra meraup suara terbanyak, dengan mengalahkan pasangan Tonny Yunus-Daryatno Gobel, serta pasangan Rustam Akili – Dicky Gobel. (tro)
Comment