Topeng di Gedung-Gedung Tinggi

Oleh : 
Basri Amin

 

Gadis muda itu berdiri di tanah lapang yang luas, mengamati sekelilingnya dan memandang ke atas untuk melihat gedung-gedung tinggi. Bagian muka gedung-gedung itu penuh dengan nama-nama yang tertulis dengan huruf-huruf besar: dokter, pengacara, akuntan, penjahit, tukang pijat, dst. Tapi pandangan matanya tertarik pada sebuah tulisan: “Laboratorium Penelitian Abdu al-Sami”.

Tiba-tiba ada sesuatu yang mencerahkan kepalanya, seolah-olah ada sinar lampu senter kecil yang diarahkan kepadanya. Terlihat di kepalanya sebuah gagasan yang tampak jelas di bawah cahaya biru. Gagasan itu, selama ini, selalu ada di benaknya. Tersimpan dalam kegelapan, tanpa gerak, tetapi itu selalu ada. Dan Fuadah tahu bahwa gagasan itu ada…

Fuadah berjuang mati-matian untuk menjadi ahli Kimia, dalam kondisi keluarganya yang terbatas dan di tengah-tengah “penjara” sosial yang masih mengepung Kairo dan Mesir pada umumnya. Seorang gadis desa yang menerima kebebasan bercita-cita karena pengaruh “aroma bahasa” dan ledakan motivasional dari Guru kimia-nya di sekolah. Ia disadarkan tentang sesuatu yang “berbeda” dalam dirinya. Tapi, untuk mewujudkannya, terdapat sistem besar yang merintangi.

Gedung-gedung besar nan tinggi yang menempelkan kata “pendidikan” tak membuatnya bulat hati dan yakin akan masa depannya.

Cuplikan di atas adalah bagian cerita panjang yang memantulkan paradok-paradoks hidup yang dialami oleh masyarakat Mesir, terutama kaum perempuan. Gambar seperti inilah yang dipotret sekian lama oleh novelis Mesir, Nawal el-Shadawi, dalam Kabar dari Penjara (2000). Dari sekian banyak cerita el-Shadawi, kita di Indonesia pun semakin bisa berkaca, terutama tentang kemajuan-kemajuan yang kita capai. Memang, kita butuh sadar bahwa tidaklah mudah menemukan kenyataan masyarakat kita yang sebenarnya.

Terlalu banyak kejadian setiap harinya, sehingga siapa pun akan kesulitan memantulkannya menjadi percakapan dan kesadaran yang memberi pengaruh. Nyaris, dalam sebuah masyarakat yang sudah terlipat dan tergulung oleh rupa-rupa perkara yang praktis, kegiatan “merenung” dan “memikirkan” sesuatu tidak lagi beroleh tempat jelas. Tak ada pantulan bermakna dan berwarna. Karena, yang lebih dimintakan oleh pasar (komunikasi) keseharian adalah kedangkalan dan kelincahan menerapkan siasat hidup.

Ilmu silat-lidah pun makin laku di pasaran. Gejala itulah yang mengepung kita. Kita menjadi “bangsa limbung” yang kesulitan merumuskan dan menerjemahkan “kehendak kita” sendiri. Kita mengalami sekian banyak (periode) krisis, sebagaimana diingatkan Soekarno tahun 1952, yakni “krisis cara berpikir dan cara meninjau”, juga “krisis kewibawaan” (Hartaningsih, 2008).

Untuk keadaan Mesir, nasib manusia Fuadah ada dimana-mana. Sebuah gejala, yang meskipun tersebar luas, amat jarang melahirkan kepekaan yang meledakkan perbaikan. Apa yang sudah sekian lama tumbuh sebagai “gagasan” atau sejenis cita-cita tertentu selalu terhalangi oleh jarak dan tekanan. Hal itulah yang disimbolkan dengan “gedung-gedung tinggi” dalam pengalaman dan cerita Fuadah. Bahwa pengalaman dan aspirasi (individual) terkecil sekalipun, dalam sebuah masyarakat berbudaya tinggi, mestinya dibela dan diberi ruang yang adil.

Lemahnya kepekaan mencermati perkara-perkara sederhana sejajar dengan kerentanan terkepung oleh kegairahan berlebihan mengurusi peristiwa-peristiwa “hiburan” dan ritual “kelompok” sendiri dan/atau habitus “kalangan terbatas”. Pembelahan kesadaran kolektif terbentuk dari sini, dengan resiko di mana kepalsuan dan simpul-simpul kebajikan menjadi mudah terpinggirkan. Pertanyaan dan harapan yang sungguh-sungguh menjadi nadi kehidupan masyarakat yang progresif tidak pernah menjadi judul besar.

Di banyak keadaan, negara juga seringkali kehilangan kapasitas menerjemahkan tema-tema kehidupan nyata dan cita-cita masyarakatnya. Pada sebuah negara yang rentan seperti ini, “ritus pejabat” begitu dominan dan penjinakan-penjinakan kreativitas publik demikian mudah menyesaki ruang publik. Mentalitas “tukang” dan pola “parasit” diam-diam menjadi acuan yang laku dan diandalkan.

Otoritas, atau dalam bahasa lain, kewibawaan dan kepercayaan yang didasarkan pada kemampuan dan keteguhan pribadi, serta loyalitas pada perbaikan nasib orang banyak, membutuhkan restorasi serius. Jangan terlambat untuk mengakui bahwa hampir di semua profesi kehidupan, apa yang selama ini kita sebut otoritas –-sebagai sumber rujukan— semakin goyah. Amat terasa bahwa kita, sebagai masyarakat, semakin sulit untuk mampu saling mendengarkan dan saling percaya satu-sama lain. Rujukan perbaikan dan kebajikan rentan karena rontoknya keteladanan. Perangai saling merendahkan dan mendelegitimasi semakin luas. Apa saja begitu mudah kita sebarkan. Warga makin terbiasa berbantahan dan menikmatinya di media-media sosial.

Kita begitu mudah saling mengintip dan mencurigai satu-sama lain. Juga saling menelikung dan saling memancing ruang-ruang kepalsuan setiap harinya. Kesibukan komunikasi kita dibangun di atas keroposnya fondasi kebudayaan yang matang menerima perbedaan. Faktanya, kita semakin tumbuh menjadi masyarakat yang dasarnya adalah “keramaian” komunikasi, bukan menjadi masyarakat yang tertempa karena “kematangan” kebudayaan dan “keluasan” pengalaman (bersama) yang saling membebaskan dan berbagi pencapaian dan pergumulan hidup. Padahal, dengan itulah kita akan tumbuh menjai bangsa yang sungguh-sungguh tumbuh dengan potensi belajar yang tinggi.

Kasta-kasta hidup kini dibentuk sedemikian rupa dengan ketergantungan yang terus membesar kepada uang dan citra. Tak heran kalau harumnya nama kita sangat ditentukan oleh judul-judul kekuasaan dan asesori hidup yang berhamburan di pasar pencitraan. Ketika kekuasaan tengah dalam genggaman kita, yang kita hapal dalam pikiran adalah “kekuasaan untuk menguasai” (power to control), bukan “kekuasaan melakukan sesuatu yang luhur” (power to do…). Tak heran kalau yang dominan kita lahirkan di negeri ini adalah penguasa yang terlalu bernafsu dan haus dengan “pujian” dan “seremoni”.

Jika ada sebagian di antara mereka yang sepertinya merasa diri cerdas, maka yang ditampilkan dan yang dikerjakan pun barulah judul-judul dan istilah dan “copy-paste” dari tempat-tempat lain, termasuk dari buku-buku. Tak heran kalau gaya bahasanya cenderung retoris, enak didengar dan sesekali memukai kita karena figurasi contoh dan istilah-istilahnya, tapi semua itu tidak menampakkan sebuah intensi “mengelola” berbagai situasi dan sumberdaya yang nyata-nyata kita punyai. Mereka tidak kokoh melakukan percakapan-percakapan manajerial yang intensif. Mereka, dalam banyak situasi, menjadikan gaya sok intelektual sebagai topeng, padahal yang kita butuhkan justru kemampuan manajerial dan daya operasional yang mengerjakan perbaikan.***

Penulis adalah Parner di Voice-of-Hale-Hepu
E-mail: [email protected]

Comment