Perlintasan Pelabuhan  

Oleh:
Basri Amin

 

Beberapa tahun terakhir ini, dari Provinsi Gorontalo terdapat tiga rute kapal Ferry ASDP yang melayari Teluk Tomini secara reguler. Pertama, dari wilayah Pohuwato (Pelabuhan Paguat) Provinsi Gorontalo menuju Pulau Dolong dan berlabuh terakhir di Ampana.

Rute Kedua, dari Pelabuhan Gorontalo menuju Wakai juga berhenti di Ampana. Keduanya berada di wilayah Kabupaten Tojo Una-Una, Provinsi Sulawesi Tengah. Terakhir, rute ketiga melayani pelayaran dari Pelabuhan Gorontalo ke Pelabuhan Pagimana Kabupaten Banggai. Belakangan, wilayah ini (perairan Teluk Tomini) juga dilayari kapal Sabuk Nusantara yang lebih populer dikenal sebagai Tol Laut.

Rute kapal dari Gorontalo yang aktif di kawasan Teluk Tomini: (1) Kapal Tuna Tomini, dengan jalur: Ampana-Wakai-Gorontalo; (2) Kapal Cengkeh Afo, dengan jalur: Paguat-Dolong—Ampana; dan (3) Kapal Sabuk Nusantara, dengan jalur: Poso-Ampana-Wakai-Malenge-Popolii-Dolong-Pasokan-Gorontalo.

Menarik mencermati data Dishub Prov. Gorontalo. Dicatat arus penumpang di Pelabuhan Paguat (Bumbulan) sejak tahun 2012. Komposisinya: tahun 2012 (5.386 penumpang datang dan 5.301 penumpang berangkat); 2013 (4.434 penumpang datang dan 5.096 penumpang berangkat); tahun 2014 (4.666 penumpang datang dan 4.487 penumpang berangkat). Pada tahun 2015 (3.434 penumpang datang dan 4.326 berangkat); tahun 2016 (2.658 penumpang datang dan 3.956 berangkat). Khusus kegiatan bongkar-muat, selalu aktif terjadi di pelabuhan Bumbulan/Paguat, misalnya pada tahun 2012 tercatat 12.348 ton (bongkar) dan 51.989 ton (muat). Selanjutnya, tahun 2016 tercatat 35.650 ton (bongkar) dan 59.758 ton (muat).

Mobilitas manusia selalu digerakkan oleh arus komoditi. Itu sudah berabad-abad berlangsung di negeri ini. Begitulah yang terjadi di masa lalu. Dinamisme niaga sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat menegaskan “otonomi kawasan” yang lebih menguntungkan Gorontalo dan wilayah sekitarnya secara ekonomis, baik dengan beberapa pulau-produsen di Teluk Tomini maupun bersama jaringan niaganya dengan Maluku, Mandar, Bugis dan Makassar. Demikian juga dengan akses Gorontalo yang pernah terbuka kepada pasar-pasar utama di Asia Tenggara –yang sekian lama dimediasi oleh China dan Arab berkat pertumbuhan sejumlah pelabuhan dan kosmopolitanisme kerajaan-kerajaan maritim.

Ekonomi kolonial dibangun di atas kekuatan organisasi dagang, teknologi dan aliansi-aliansi yang solid dengan operasi-operasinya yang kokoh di tingkat lokal dan regional. Di luar itu, peran firma-firma pertambangan dan/atau para pemodal/pemegang saham menjadi penopang praktik merkantilisme –mengeruk otonomi niaga dan sumberdaya negeri-negeri jajahan, sebagai koloni yang didikte oleh pusat tertentu.

Di kawasan Teluk Tomini, komoditi primadona yang diperdagangkan umumnya adalah hasil hutan dan hasil bumi, seperti kopra, kayu cendana, damar, getah, madu, sagu, teripang, dan rotan. Adapun komoditi tertentu yang bersifat terbatas, dan sebagian besar merupakan barang-barang impor, juga tetap dominan menggunakan fasilitas KPM, misalnya pakaian, candu, senjata api, atau beras dan garam (Hasanuddin & Amin, 2013; Juwono & Hutagalung, 2005).

Gejala ini sangat tampak ketika KPM didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 15 Juli 1888. Penguasaan operasional sudah dirancang sedemikian rupa. Karena hanya dengan monopoli pelayaran yang didukung oleh akses yang kuat kepada kekuatan ekonomi pribumi yang membuat pergerakan volume komoditi (kopi, kopra, damar, rotan, getah, kapas, dan coklat) serta hasil tambang berupa “emas” yang bisa diangkut dan dieksploitasi menjadi signifikan. Di sisi lain, arus barang yang memasuki sejumlah wilayah pun akan mengalir deras, terutama untuk kawasan di luar pulau Jawa. Dengan itulah jalur-jalur niaga meluas dan menjangkau banyak pelabuhan utama dalam satu satuan waktu yang terkontrol.

Jalur KPM beragam, diatur berdasarkan rute/jalur yang sudah dipatenkan, misalnya KPM-Jalur 18 melayani rute Manado, Ternate, pantai selatan Minahasa, Gorontalo, Teluk Tomini dan berakhir di Makassar. Sementara KPM-Jalur 21 akan menyusuri Pantai Selatan dan Timur Sulawesi, selat Buton, Teluk Tumori, Kolonadale, Banggai sampai Gorontalo. Untuk jalur lain, misalnya KPM-9 dan 14, rute perjalanannya lumayan panjang karena berangkat dari Surabaya melewati Bali, Makassar, Banda, Ambon, Halmahera Selatan (Bacan), Ternate, Sanger, Manado, Amurang, Gorontalo, Kwandang, Toli-Toli, Pare-Pare, Makassar, Bali dan Surabaya (Hasanuddin, 2014).

Kita bisa bayangkan bagaimana sirkulasi pengumpulan dan pengangkutan komoditi berlangsung intensif di Sulawesi dan di Maluku, dengan menempatkan Makassar sebagai pusatnya di Indonesia Timur. Meski demikian, strategi niaganya “terpecah” berdasarkan komoditi yang dominan, hal mana hasil produksinya sudah diprediksi oleh Belanda karena telah melakukan tekanan-tekanan perluasan penanaman (sistem cultuurstelsel) sejak 1830 untuk komoditi tertentu. Untuk itulah kolonial Belanda membangun infrastruktur pendukung (jalan, pelabuhan, teknologi, suplai tenaga kerja, penguasaan lahan, dst), juga digerakkan oleh organisasi dagang yang ketat (sistem perpajakan dan keuangan, standar harga, otoritas pribumi, perizinan, dst).

Sejak awal abad ke-19, posisi Surabaya sebagai pusat dari sirkulasi komoditi antar pulau dengan tujuan utama mengkonsolidasi (monopoli) ekspor ke Singapore dan ke Eropa semakin signifikan. Meski untuk komoditi tertentu, Kopra Indonesia Timur misalnya, ekspor menuju kawasan Amerika diberangkatkan dari Makassar. Gorontalo tercatat pernah mengekspor kopra 162.000 ke Singapura tahun 1923 (Asba, 2007). Melalui jalur Surabaya pula arus pedagang Arab dan barang-barang impor makin progresif mengalir ke pulau-pulau utama di Indonesia Timur (Hasanuddin, 2014). Gelombang ekspor Kopra dan komoditi lain berlangsung signifikan di beberapa pelabuhan utama, tidak selamanya sepanjang tahun berlangsung via Makassar atau Surabaya. Bahkan dicatat pada periode 1950an, Kopra dikirim langsung dari Pelabuhan Moutong.

Secara khusus, jejak kejayaan kelapa Gorontalo yang “lintas pulau” masih mewarnai beberapa generasi di daerah ini. Bahkan sampai pada pertengahan 1980an, usaha-usaha kopra yang berdampak kepada ekonomi Gorontalo masih berlangsung, meski dengan kapasitas produksi dan ekspansi ekonomi yang sudah melambat. Meski demikian, basis pengalaman lama-bersama dalam sebuah ruang sirkulasi ekonomi, perjumpaan lintas etnis/bangsa/pulau, dan perlintasan (di) pelabuhan ternyata membentuk Indonesia-Nusantara modern– dimana Arab, Tionghoa, India, dst membaur-bergenerasi, sekaligus menjadi nadi kultural kita bahwa “manusia Indonesia adalah anak semua bangsa!”. Kita tak mungkin lari dari takdir ini. ***

 Penulis adalah Parner di Voice of Hale-Hepu

E-mail: [email protected]

Comment