Oleh : Husin Ali
Tulisan ini saya persembahkan sebagai refleksi akhir tahun 2025, setelah membaca Indonesia dengan kacamata pengalaman, ingatan, dan tanggung jawab. Bukan sebagai penilaian dari menara gading, melainkan sebagai catatan seorang pelaku yang tumbuh, ditempa, dan kini diberi amanah untuk ikut menjaga arah. Menjelang 2026, saya membaca Indonesia sebagai negeri yang bekerja keras di hilir, tetapi masih harus sungguh-sungguh menata hulunya: manusia, karakter, dan keteladanan.
Refleksi ini diperkaya oleh rangkaian perjumpaan yang nyaris puitik—perjumpaan setelah dua puluh tahun berlalu. Di Taman Pramuka Kota Bandung, saya kembali bertemu Kang Nuki Pribawanto, tokoh Pramuka dari True North Indonesia. Waktu telah mengubah wajah, jabatan, dan konteks pengabdian, tetapi satu hal tidak berubah: cara kami memaknai Pramuka sebagai ruang pendidikan karakter. Di tempat itu pula, saya berjumpa kembali dengan Kak Bona, yang kini mengemban amanah sebagai Waka Kwarcab Binamuda Kota Bandung. Pertemuan itu sederhana—tanpa seremoni—namun menggetarkan ingatan: nilai yang ditanamkan dua dekade silam ternyata tetap hidup dan bekerja.
Ingatan Bandung itu menyambung ke momen lain yang tak kalah bermakna: Pembukaan Peransaka Nasional 2025 di Gorontalo. Di sana, saya menyaksikan pertemuan Kak Haji Adhan Dambea dengan Kak Komjend Pol (Purn) Budi Waseso, Kak Kwarnas. Percakapan kedua tokoh singkat, bersahaja, namun sarat pesan kebangsaan. Bagi saya, itulah penegasan bahwa Pramuka bukan romantisme masa lalu, melainkan instrumen strategis masa depan—ruang di mana karakter ditempa dan kepemimpinan dipersiapkan.
Refleksi ini lalu membawa saya lebih jauh ke tahun 2005, ke alam terbuka Situ Lembang, Bandung, saat outdoor management training (OMT) digelar. Kami datang sebagai peserta, pulang membawa nilai—meski kala itu belum sepenuhnya sadar. Dua puluh tahun kemudian, lingkaran itu seakan tertutup rapi ketika saya dibonceng sepeda motor oleh Kang Dadan (Waka Binawasa) yang juga Kepala Pusdik Kwartir Cabang Kota Bandung menuju kediaman pelatih kami. Di sanalah saya kembali menyapa dengan hormat, “Kang Bayu.”
Ia adalah Kak Bayu Tresna, Tokoh yang pernah menjadi Andalan Nasional Kwarnas Gerakan Pramuka. Percakapan kami tidak panjang, tidak heroik. Namun justru dari ketenangan itulah lahir ide yang jernih: rebut kembali Indonesia—bukan dengan keributan, melainkan dengan kerja sunyi membina karakter dari hulu.
OMT 2005 itu terbukti bukan peristiwa kecil. Dari sana lahir banyak tokoh dengan jalan pengabdian yang beragam: Kak Haji Nanang di Palu yang dipercaya rakyat hingga tiga periode di DPRD sekaligus memimpin Kwartir Cabang; tokoh-tokoh Pramuka Sulawesi Selatan seperti Ka Ichank; para pimpinan kwartir cabang di daerahnya masing-masing; Kak Rio Ashadi dengan kiprah nasional–internasional; hingga Kak Rully, yang mengabdikan diri sebagai pimpinan di TNI AD. Pramuka tidak menyeragamkan jalan hidup kami, tetapi menyatukan komitmen nilai: disiplin, tanggung jawab, keberanian moral, dan kesediaan melayani.
Menjelang 2026, dari rangkaian perjumpaan itulah saya membaca Indonesia: negeri ini tidak kekurangan harapan. Harapan itu tersebar—hidup—namun perlu dirajut. Gagasan Pramuka Garuda menjadi relevan sebagai strategi kebudayaan. Jika setiap kabupaten/kota melahirkan 500 Pramuka Garuda per tahun, maka dalam satu dekade Indonesia akan memiliki sekitar 2,5 juta anak muda berkarakter kuat. Ini bukan utopia; ini matematika yang bertemu komitmen.
Semangat ini sejalan dengan penekanan nasional tentang karakter dan ketahanan. Bapak Haji Prabowo SubiantoPresiden kita tercinta, berulang kali menegaskan pentingnya manusia yang disiplin, berani, dan mencintai tanah air. Di daerah, pesan itu menemukan teladan. Di Gorontalo, Bapak Haji Adhan Dambea menegaskan bahwa kekuasaan hanya bermakna jika digunakan untuk pengabdian. Nasional memberi arah, daerah memberi teladan, Pramuka mengerjakan kaderisasinya.
Sebagai Ketua Kwartir Cabang di Kota Gorontalo, refleksi akhir tahun ini saya terjemahkan sebagai komitmen menyongsong 2026: menjadikan Pramuka jalur serius pendidikan karakter. Akselerasi Pramuka Garuda, penguatan pembina, latihan kepemimpinan berbasis pengabdian, serta kehadiran nyata dalam isu lingkungan, kebencanaan, dan solidaritas sosial adalah kerja panjang yang kami pilih—kerja sunyi, namun menentukan.
Menutup 2025, saya sampai pada satu kesimpulan yang tenang dan jujur: Indonesia tidak kekurangan ide, tetapi membutuhkan ketekunan membina manusia. Negeri ini tidak akan diselamatkan oleh satu tokoh atau satu momentum, melainkan oleh jutaan individu berkarakter yang bekerja di jalurnya masing-masing.
Dan jika kita bertanya dari mana semua itu harus dimulai, jawabannya tetap sama—dari hulu, dari pendidikan karakter.Di jalan sunyi itulah Gerakan Pramuka berdiri.
Di sanalah rebut kembali Indonesia menemukan maknanya, tepat ketika kita melangkah dari 2025 menuju 2026. (*)











Discussion about this post