Oleh:
Anang S. Otoluwa
PADA refleksi 25 tahun Provinsi Gorontalo yang dirangkaikan dengan launching buku “Indonesia Merdeka di Gorontalo”, muncul sebuah kegelisahan yang sangat mendasar. Apakah generasi masa kini masih mengenal para pejuang yang menjadi fondasi berdirinya daerah ini?
Kegelisahan itu diungkapkan oleh Ibu Idah Syahidah, Wakil Gubernur, yang menjadi salah satu pembicara. Ibu Idah membuka refleksinya dengan kekhawatiran hilangnya sosok Nani Wartabone dari ingatan rakyat Gorontalo.
Nama besar yang dulu menjadi simbol keberanian Proklamasi 23 Januari 1942, kini perlahan memudar dalam benak generasi muda. “Hanya mereka yang berusia 40 tahun ke atas yang masih menyebutnya dengan bangga. Di bawah usia itu, banyak yang bahkan tak pernah mendengarnya”, sambung bu Idah.
Karena itu, peluncuran buku yang berisi perjuangan Nani Wartabone itu bukan sekadar sebuah seremoni, tetapi sebuah seruan kesadaran. Bahwa sejarah tidak boleh berhenti pada halaman buku.
Ia harus menjadi dialog, menjadi bagian dari pendidikan kultural, dan menjadi kisah yang terus diceritakan kepada anak-anak, pelajar, mahasiswa. Kepada Kadis Pariwisata Provinsi, Ibu Idah bahkan berpesan, agar buku itu bisa diberikan sebagai cendramata kepada tamu yang datang ke Gorontalo.
Pernyataan ibu Wagub di atas, bak gayung bersambut dari Gubernur, Gusnar Ismail. Ketika ditodong memberikan closing statement nya, Gubernur menegaskan hal ini dengan ungkapan yang puitis sekaligus mendalam: “Tidak ada generasi tanpa literasi.”
Ungkapan Gubernur berangkat dari logika berpikir yang dalam. Keberlanjutan suatu bangsa tidak hanya diukur dari pembangunan fisik, tetapi dari keaktifan mencerdaskan warganya melalui diskusi, dialektika, dan ruang intelektual yang hidup.
Literasi bukan sekadar kemampuan membaca; ia adalah kemampuan memahami diri, sejarah, masyarakat, dan arah masa depan.
Karena itu, literasi sejarah adalah salah satu bentuk literasi yang paling strategis. Tanpa sejarah, generasi berikutnya akan berjalan tanpa pijakan atau tanpa ingatan.
Mereka mudah goyah oleh narasi-narasi yang menyesatkan. Di sinilah pentingnya lintas generasi, transfer pengetahuan, nilai, dan teladan dari mereka yang lebih dahulu berjuang kepada mereka yang sedang tumbuh membangun masa depan.
Tiada generasi tanpa literasi. Sebagaimana tidak ada cerita tanpa pencerita, tidak ada penerus tanpa pendahulu. Setiap generasi adalah jembatan, bukan pulau terpisah.
Mereka yang hidup hari ini memikul tanggung jawab ganda: menjaga apa yang diwariskan, dan meneruskannya kepada yang akan datang. Tanpa literasi, jembatan, atau itu sejarah akan terputus, dan identitas daerah akan runtuh.
Gorontalo, dengan segala kekayaan sejarahnya, memiliki kesempatan besar untuk menjadikan narasi perjuangan sebagai energi kolektif. Nani Wartabone bukan hanya simbol masa lalu; ia adalah kompas moral bagi generasi kini.
Dengan menghidupkan kembali sejarahnya, melalui buku, museum, diskusi publik, ruang belajar, karya seni, hingga percakapan-percakapan kecil di rumah, maka perjuangannya akan kembali hidup.
Refleksi 25 tahun provinsi ini tidak hanya mengajak kita melihat ke belakang, tetapi mengajak kita menata langkah ke depan. Bahwa masa depan Gorontalo tidak hanya ditopang oleh pembangunan fisik, tetapi oleh generasi yang tercerahkan oleh literasi, terhubung oleh sejarah, dan dipandu oleh nilai perjuangan.
Sebuah generasi hanya akan menjadi generasi yang utuh bila ia mampu merangkul generasi sebelum dan sesudahnya. Itulah makna terdalam dari lintas generasi, dan itulah syarat agar Gorontalo tetap kokoh melangkah menuju masa depan.
Alangkah beruntungnya Gorontalo kini dipimpim oleh dua tokoh yang memahami secara mendalam makna literasi. Ditangan mereka, semangat perjuangan Nani Wartabone diharapkan akan turun temurun terwariskan kepada generasi bangsa.
Tak salah jika Basri Amin (moderator) memilih ibu Wagub sebagai tokoh perempuan dalam refleksi malam itu. Tak berlebihan pula, jika dia menutup refleksi dengan kalimat: “Ini untungnya kita punya Gubernur yang doktor”.(*)












Discussion about this post