Oleh:
Basri Amin
Parner di Voice-of-HaleHepu
KITA tak pernah mundur selangkah untuk memajukan Gorontalo. Provinsi ini didirikan oleh banyak pihak demi sebuah tekad besar dan panggilan jati diri.
Setelah sekian puluh tahun menjadi provinsi dan setelah sekian lama sebelumnya hanya sebagai wilayah “kabupaten” dan “kota”, Gorontalo sudah sewajarnya makin lincah menerbangkan harapan-harapannya. Fondasi masa lalunya dan karakter generasi terbaiknya, selalu menjadi pembaru, bukan pengekor.
Gorontalo makin butuh pembaru!
Tantangan kita di mentalitas dan pada keberanian membuat pembaruan. Kita jangan sibuk “berlari di tempat”. Kita adalah provinsi para pejuang. Kita butuh merebut momentum, jangan mudah membesarkan tabiat ikut-ikutan.
Daya dukung gagasan terbaik dan kepemimpinan efektif di berbagai sektor merupakan kekuatan kemajuan bagi masa depan Gorontalo. Topangannya adalah birokrasi dan inovasinya, daya saing kelas menengah, edukasi masyarakat dan tata-kelola wilayah dan sumberdaya.
Degradasi ekologis, mental status quo dan kelas menengah yang hipokrit dengan masa depan bersama, merupakan tantangan terbesar di tahun-tahun mendatang.
Di tingkat keseharian, kita sedang dihadang oleh pengelolaan ruang-ruang publik yang pro-edukasi dan ekonomi “bawah”, peningkatan kriminalitas, sengketa-sengketa properti, konflik laten, dan kejahatan moral di banyak sektor.
Cukup jelas, bahwa fondasi kultural daerah sedang guncang oleh perubahan-perubahan orientasi hidup dan kesenjangan sosial-ekonomi di perdesaan dan di perkotaan, antara mereka yang “berpunya” dan yang “berkekurangan”.
Artikulasi di media sosial memberi cerminan karakter masyarakat kita dua puluh tahun terakhir ini. Di kalangan kelas menengah pun, kita masih menyaksikan “boros waktu” di media sosial tanpa orientasi baru yang terarah.
Kebijakan publik kita semakin sering digugat secara terbuka oleh kelompok masyarakat. Harga komoditas yang jatuh bangun, situasi “pertambangan” rakyat, proyek-proyek infrastruktur dan hak-hak keadilan (ekonomi) warga, banyak yang menuai persoalan.
Pengendalian (perubahan) karakter kemasyarakatan dan tata-kelola pembangunan daerah kita membutuhkan pola-pola (kepemimpinan) baru yang lebih interaktif, kukuh-bernalar dan peka dengan guncangan.
Review serius tata-kelola pembangunan Gorontalo semakin mendesak, dengan tujuan memberi penilaian yang benar-benar membumi dan menemukan titik-titik terbaik jika hendak mencapai loncatan-loncatan hebat ke masa depan.
Pejabat publik sewajarnya dipetakan kembali karakter utama dan kapasitas manajerialnya, dengan kriteria kritikal yang melampaui kisi-kisi formalistik kepejabatannya -–yang tampak heroik di atas kertas dan yang terkesan canggih prosedur formalnya— tetapi mudah letih dan gagap menggerakkan kredibilitas dan kualitas kerja-kerja pemerintahan yang lebih ber-daya tahan dan ber-jangka panjang.
Perhatian terhadap ekonomi informal dan sektor-sektor kreatif yang digerakkan oleh kalangan muda, belum tersentuh sungguh-sungguh. Padahal ada kekuatan pembaruan di kalangan mereka.
Wajah kota-kota kita di Gorontalo makin disesaki oleh peminta-minta, dengan berbagai gaya, alasan, jenis kelamin, dan kelompok usia. Barang-barang publik, pun masih terus-menerus dikeluhkan layanannya. Arus modal, migrasi (pendatang), jejaring tenaga kerja regional, pola konsumsi, arus barang-masuk, dan permintaan layanan kesehatan publik, hari-hari ini semakin intensif.
Setiap hari kita mendengar ambulance. Di rumah-rumah sakit, pasien tampak selalu banyak. Tetapi, mutu layanan masih saja dikesankan terseok-seok.
Komitmen profesi, leadership dan pengendalian tata-kelola mutlak menjadi parameter pembaruan di setiap sektor layanan publik, semata-mata untuk bisa mendeteksi semua perbaikan yang mungkin dan yang harus.
Ketergantungan besar kepada APBN semakin tampak dilemanya. Untuk itulah maka dewasa ini kita butuh economic leadership yang handal di Gorontalo. Kepekaan kepada kecenderungan teknologi baru dan pelebaran daya topang generasi produktif terkesan belum pernah dijadikan agenda serius.
Aset-aset utama daerah dan tata-kelolanya juga haruslah menjadi perhatian. Mental memelihara sumberdaya daerah terkesan abai di banyak tempat.
Daerah ini, dalam observasi saya, masih banyak boros-nya di mana-mana.
Gorontalo Maju!
Apakah provinsi Gorontalo semakin maju? Ini cenderung dipandang sebagai pertanyaan yang tidak relevan. Siapa-siapa saja yang sudah banyak beroleh “untung” dengan kehadiran provinsi? Ini relatif mudah kita dijawab.
Siapa-siapa saja yang “nasibnya” belum beruntung atau tidak banyak berubah selama provinsi berdiri? Ini sepertinya agak jarang kita tanyakan. Memang, kita terbiasa menyebut angka-angka kemiskinan dan terbatasnya infrastruktur dasar. Kita juga sudah amat sering mendengar istilah pelayanan (serba) “gratis” dari pemerintah.
Kalangan Miskin selalu dihitung dan dihitung, tetapi golongan Kaya jarang secara terbuka dibicarakan, dihitung, dan diperhitungkan: apakah membesar jumlah orang kaya di Gorontalo? Siapa mereka itu dan dari mana mereka bisa kaya? Dan apakah mereka menjadi kekuatan (ekonomi) daerah ini?
Semuanya ini dimaksudkan untuk meyakinkan kita bahwa provinsi adalah sesuatu yang hadir dan memberi manfaat luas. Semua sudah tahu bahwa pembangunan yang baik adalah yang melayani masyarakat, yang membuka kesempatan secara adil kepada semua kelompok dan yang membangun persamaan hak dan akses dalam kebijakan.
Bahwa rakyat berhak atas pemerintahan yang bersih, baik, dan berwibawa!
Pembangunan melahirkan rutinitas dan membentuk bahasanya sendiri. Itulah sebabnya, pada sebuah provinsi yang sedang tumbuh, aparat pemerintah sangat “sibuk meyakinkan” masyarakat bahwa pembangunan (selalu) bergerak di jalan yang benar.
Tak heran kalau hampir semua konsep indah dan memukau kita dengar dan lihat setiap saat. Hanya berselang sepuluh tahunan, pola berbahasa kita semakin lincah menyebut uang milyaran bahkan trilyun.
Kita dengan mudah mendengar orang menyebut angka-angka sangat besar itu. Yang kita lupa, itu semua berpotensi terpeleset menjadi “atas nama” pembangunan dan kita semakin terbuai dan tergantung dengan “anggaran pusat”.
Masyarakat kita belum tentu produktif dan makin mandiri! Di luar itu, begitu banyak pihak yang enak dan sibuk lalu-lalang ke Pusat, atas nama pembangunan. Adakah kontrol dan moral untuk gejala “atas nama” yang semakin boros itu?
Di saat yang sama, ketika rakyat menyampaikan masalah, gugatan dan gagasan, kita pun membangun kebiasaan baru untuk menyikapinya dengan bahasa “anggaran terbatas”; “kita butuh prioritas”, dst. Hal-hal fundamental di alam nyata bahkan dengan mudah kita lemahkan daya-tawarnya dengan membungkusnya sebagai “daftar aspirasi” atau sejenis “cadangan program”.
Faktanya, ruang-ruang bagi perdebatan serius tentang arah dan prioritas pembangunan kita, dalam hemat saya, terlalu didominasi dan/atau diambil-alih oleh pemerintah. Ruang partisipasi rakyat cenderung mengecil atau disempitkan. ***
Penulis adalah Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)
E-mail: basriamin@gmail.com












Discussion about this post