Oleh:
Ramli Ondang Djau
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal merupakan tonggak penting dalam sejarah demokrasi elektoral Indonesia. Ia bukan sekadar pembagian waktu pemungutan suara, melainkan isyarat untuk merombak total arsitektur kelembagaan dan tata kelola demokrasi kita. Putusan ini pada dasarnya melanjutkan tafsir atas Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 yang menetapkan desain pemilu serentak nasional (Pilpres, DPR, DPD) dan serentak lokal (Pilakada dan DPRD) dalam dua klaster berbeda.
Sejarah panjang pelaksanaan pemilu serentak sejak 2019 telah member kita pelajaran pahit. Satu hari pemungutan suara untuk lima surat suara nyatanya tak hanya memusingkan pemilih, tapi juga menimbulkan tragedy bagi ribuan penyelenggara yang kelelahan—sebanyak 894 petugas KPPS meninggal dunia pada Pemilu 2019 (Perludem, 2020).
Bahkan laporan dari JPPR dan Fisipol UGM menyebut overload teknis ini menyebabkan turunnya kualitas pemilu secara sistemik. Putusan MK ini sejatinya ingin mengoreksi kegagalan tersebut. MK tidak sedang menciptakan desain baru, melainkan menegaskan pembagian dua klaster keserentakan: nasional (Presiden, DPR, DPD) dan lokal (Pilkada dan DPRD). Ini sejalan dengan tafsir konstitusi yang lebih menekankan akuntabilitas elektoral dan koneksi antara wakil dan pemilihnya.
Dengan kata lain, desain pemilu bukan hanya soal teknis pelaksanaan, melainkan juga kedalaman hubungan perwakilan. Ia harus menjamin bahwa wakil rakyat benar-benar bisa mewakili aspirasi masyarakat dalam skala nasional maupun lokal. Namun, sinyal reformasi ini berhadapan dengan stagnasi legislasi.
Hingga tulisan ini dibuat, DPR belum menunjukkan langkah nyata dalam membentuk Pansus untuk revisi UU Pemilu dan UU Pilkada. Padahal tenggat waktu 2029 terus mendekat. Stagnasi ini memperlihatkan bahwa reformasi hokum kepemiluan bukan soal kemampuan, melainkan soal kemauan politik. Dalam konteks demokrasi, keberanian mengambil keputusan tepat waktu menjadi penentu kredibilitas sistem.
Desain pemilu yang baik tidak bisa berdiri sendiri tanpa regulasi yang adaptif. Revisi perlu menyentuh berbagai aspek: mulai dari pemetaan tahapan, system pemutakhiran data pemilih, integrasi teknologi informasi, hingga pendanaan. Bahkan, harus ada political will yang kuat untuk menegaskan posisi Pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu, bukan sekadar urusan otonomi daerah. Hal ini penting agar Pilkada tidak terjebak dalam tarik-menarik antara pusat dan daerah.
Kajian Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (2024) menyarankan perlunya pendekatan omnibus law agar revisi bisa holistik dan efisien, tidak tambal sulam. Pendekatan parsial hanya akan memperpanjang kebingungan regulasi. Selain itu, saran dari Bawaslu dan Perludem menyebut bahwa pembagian pemilu ini harus disertai penguatan pengawasan dan rekrutmen penyelenggara berbasis kompetensi, bukan sekadar afiliasi politik.
Kekhawatiran publik bahwa pemilu terpisah akan meningkatkan biaya politik juga perlu dijawab secara proporsional. Dalam jangka pendek, mungkin iya. Tetapi dalam jangka panjang, pemilu yang lebih terukur dan terfokus justru bisa menurunkan biaya sosial dan konflik elektoral. Lagi pula, Demokrasi yang mahal lebih baik dari pada otoritarianisme yang murah tapi menindas.
Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa pemisahan pemilu nasional dan lokal berpeluang menghidupkan kembali perhatian terhadap kualitas kaderisasi politik lokal yang selama ini tertutupi hiruk-pikuk pemilu nasional. Ini menjadi peluang untuk mengoreksi ketimpangan demokrasi yang terlalu Jakarta-sentris. Kepala daerah dan anggota DPRD akan kembali menjadi tokoh penting di daerahnya masing-masing, bukan hanya pelengkap kampanye nasional.
Dari sisi penyelenggaraan, pemilu yang terpisah juga memungkinkan perbaikan manajemen logistik, pelatihan petugas, dan fokus tahapan secara lebih efisien. Tidak ada lagi situasi di mana satu KPU harus memikul beban lima jenis pemilu sekaligus. Namun, semua potensi itu tidak akan berarti jika tahapan implementasi putusan MK tidak dikelola secara sistematis.
Pemerintah dan DPR harus segera menyusun peta jalan (road map) menuju Pemilu 2029. Roadmap ini harus menjawab tiga hal: revisi undang-undang, desain teknis tahapan pemilu, dan strategi sosialisasi kepada masyarakat. Tanpa peta jalan, kita berisiko mengulang kegagalan serentak total 2019.
Perlu ditegaskan bahwa putusan MK bukan pilihan, tapi mandate konstitusional. Jika tidak dilaksanakan, maka tahapan Pemilu 2029 akan diganggu oleh gugatan hukum yang bisa berujung pada pembatalan hasil pemilu. Partai politik pun harus berbenah. Mereka tidak bisa lagi menunda-nunda pembenahan system kaderisasi dan seleksi calon hanya karena jadwal pemilu belum ditentukan.
Pemilu lokal harus disiapkan dengan serius. Salah satu risiko laten adalah tumpang tindih tahapan antara Pilkada dan Pemilu Nasional, bila jadwal tidak dirancang tepat. Hal ini akan memengaruhi anggaran, kinerja penyelenggara, dan kualitas pemilih. KPU sebagai pelaksana teknis juga perlu mendapat ruang konsultasi yang luas dalam merancang jadwal, logistik, dan model penyederhanaan tahapan. Sebab yang paling tahu beban teknis pemilu adalah KPU itu sendiri.
Dari perspektif masyarakat sipil, pemisahan ini membuka ruang partisipasi yang lebih besar. Isu-isu lokal bisa diperjuangkan secara lebih efektif tanpa terdominasi oleh narasi nasional yang sering kali mengaburkan kebutuhan daerah.
Akhirnya, desain pemilu yang baru harus dimaknai sebagai instrument untuk memperkuat kembali semangat demokrasi yang substantif. Demokrasi bukan soal suara terbanyak semata, tetapi tentang ruang keterwakilan yang bermakna. Desain Pemilu tidak semestinya menjadi alat manipulasi kekuasaan, tetapi sarana mendewasakan rakyat sebagai pemilik kedulatan. Oleh karena itu, pisah pemilu bukan jalan pintas, melainkan jalan Panjang untuk membangun demokrasi yang lebih berkualitas, manusiawi, dan berkeadilan electoral.
Momentum pemisahan pemilu ini adalah peluang emas untuk memperbaiki tata kelola demokrasi electoral kita. Jangan sampai kesempatan ini terlewat hanya karena elit politik lebih nyaman hidup dalam status quo. (*)










Discussion about this post