Limboto, Kota yang “Mencari” Pemimpin

Oleh:
Basri Amin

 

SEKIAN lama, sejarah Limboto dipimpin oleh laki-laki. Tetapi kita jangan lupa bahwa salah satu puncak peradabannya adalah justru ketika Limboto dikendalikan oleh para Ratu. Memori kita tak pernah lupa kepada Mbui Bungale dan Tolangohula.

Selanjutnya, ketika melewati pertengahan abad ke-17, Limboto dipimpin oleh seorang Ratu yang hebat. Ia berwibawa karena visi etis-nya dan beradab tinggi karena adab kepemimpinannya. Ia diplomat yang cermat dan cerdas. Beliau adalah yang mulia Ratu Pongaito.

Di masanya, prinsip-prinsip keteladanan, loyalitas kepada persatuan, integritas yang kokoh, etika konfederasi, dan kolegialitas kawasan dijunjung tinggi. Ketika Gubernur Jenderal (VOC-Belanda) Padtbrugge tiba di Limboto pada 23 September 1677, sang Gubernur mengajak Ratu Pongaito untuk bertemu dan bernegosiasi. Kepada utusan Gubernur, Sang Ratu yang hebat ini menyatakan menolak dengan terang-terangan.

Ia kokoh memegang “sumpah” dan “janji” dalam ikatan Limo lo Pohala’a, yang terikrarkan pada akhir November 1673. Dengan itu ia tidak boleh mengambil keputusan sendiri/sepihak, atau bertindak sebagai wakil konfederasi ketika melakukan pembicaraan dengan kekuatan di luar lingkaran persarikatan. Harus ada mufakat lebih dahulu sesama lima kerajaan; tidak bisa jalan sendiri dengan kepentingan sendiri.

Di masa itu, sang Ratu juga benar-benar fokus mengerjakan tugas luhurnya –dalam rangka pemindahan Ibu Kota kerajaan Limboto dari Pone ke Bolihuangga dan Hunggaluwa. Etika berkuasa Ratu Pongaito dicatat dengan baik dan dipublikasi oleh J. Bastiaans tahun 1938 di sebuah jurnal ilmiah terpandang di negeri Belanda (Amin, 2016).

Catatan terbatas ini sekadar menyegarkan kembali bagian-bagian yang sangat terbatas. Pesannya pun sederhana. Rasa ke-Gorontalo-an, pada tingkat tertentu, terasa “lebih mudah” disaksikan di Limboto: perjumpaan antara keteduhan keberagamaan, ekspresi budaya, dan skala ekonomi “kecil-menengah”.

Ada ritme kewaktuan dan keluangan yang diwadahi oleh Masjid Agung dan pelatarannya; demikian juga dengan lingkaran Menara dan kompleks Banthayo Poboide. Di luar lingkaran itu, sejumlah titik ordinat penting adalah “bundaran Golkar”, kompleks perkantoran (Bupati) Gorontalo dan GOR David-Tonny. Secara keruangan, kompleks shopping center dan Universitas Gorontalo (UNIGO) juga harus masuk di ordinat-ordinat (strategis) itu.

Meski demikian, sebuah kota tidak pernah tumbuh di atas “ruang kosong”. Sangat banyak yang tumbuh-menyisip di dalam dan di sekitarnya. Beberapa bagian bahkan “menyimpang” sedemikian rupa dari yang direncanakan. Kota ibarat “magnet”, maka pastilah akan menarik serbuk-serbuk yang berserak di sekitarnya (pekerja informal, jasa layanan, investasi, calo-calo tanah, pembiayaan, dst).

Sejajar dengan itu, gaya hidup baru, kriminalitas dan konflik pun otomatis hadir. Kaidahnya, “di mana ada gula, di situ ada semut…”. Nah, kini yang dibutuhkan adalah pengendalian berkelanjutan.

Zonasi per-kota-an Limboto membutuhkan rumusan-rumusan yang lebih handal. Regulasi yang memediasi pertumbuhan dan pengendalian sangat penting artinya karena itulah mekanisme dasar yang akan mengerangkai perubahan-perubahan jangka panjang bagi Limboto. Kota akan terdesak tata kelola ruangnya, terutama karena tuntutan layanan publik, mobilitas penduduk, putaran ekonomi, terpaan teknologi, dst.

Sebagai contoh, dalam soal penataan karakter ruang dan wilayah yang bersentuhan dengan pemukiman dan perumahan (warga), pastilah akan semakin kompleks. Ini menyangkut kesehatan lingkungan: persampahan, mutu air, sirkulasi udara, dst. Harap dipahami bahwa “manajemen konflik” di perkotaan pun akan makin kompleks. Di dalamnya terdapat keragaman, kepekaan lintas kelompok dan kelas-kelas sosial yang berbeda.

Di Limboto, skala ekonomi yang mengitari (dinamika) usaha sektor informal dan ekonomi jasa –baik yang gerakannya karena sokongan pemerintah maupun yang mandiri—, butuh dihitung dengan cermat agar kota ini memastikan di level mana “kesejahteraan” warganya terbentuk –-dengan tidak semata diukur berdasarkan pendapatan mereka.

Yang jauh lebih penting adalah bahwa warga Limboto tumbuh sehat, berakar ekonominya di “lingkaran” tertentu yang terkendali (penyerapan tenaga kerja, resiko lingkungan, kenyamanan keseharian dan citra kotanya). Itu sebabnya, “daya tampung” pedagang kaki lima di sejumlah titik kini penting dibahas-tuntas, agar keliaran posisi dan kesimpang-siuran hak-hak mereka lebih terang. Demikian juga menyangkut hak-hak warga di ruang publik, penataan (aroma) kota dan pencitraannya.

Limboto, jika hendak menjadi Kota yang sebenarnya, tantangannya terletak pada bangunan visi kotanya, basis partisipasi, dan leadership-nya. Limboto butuh kepemimpinan –tidak sekadar tumpukan posisi pejabat dan tumpukan perkantoran–. Di kota ini, keacakan berlangsung dari waktu ke waktu, tetapi di kota ini pula kita menemukan pilar-pilar peradaban yang penting: pendidikan, agama, sejarah, dan kebudayaan. Di kota ini juga kita menemukan jejak-jejak ilmu pengetahuan dan kritisisme yang demokratik.

Bukankah pada tahun 1971 dan 1984 Limboto menjadi “rumah bersama” bagi terselenggaranya Seminar Adat yang menghasilkan rumusan-rumusan kunci yang sampai kini berlaku dan terus dikembangkan di Gorontalo? Melalui kedua seminar ini, perwujudan “dokumentasi budaya” hadir menjadi penciri (baru) Gorontalo.

Hampir semua aliran, pandangan, cendekiawan, dan tokoh-tokoh Gorontalo tampil di Seminar tersebut. Hasilnya ratusan halaman! Peran pakar-pakar dari F-KIP Unsrat Manado di Gorontalo sangat tampak: generasi Prof (Drs). alm. Kadir Abdussamad, dkk. Peranan Bupati Martin Liputo, SH dan Walikotamadya Gorontalo Drs. A. Nadjamudin sangat besar.

Ini adalah peristiwa penting di Limboto, setelah jauh sebelumnya –-di awal 1940an dan 1960-1970an—tradisi menulis/dokumentasi ini digerakkan oleh tokoh-tokoh Gorontalo seperti M. Liputo, K. Kaluku, A.J. Usman, J.U.S. Nadjamuddin, S.R. Nur, N. Tuloli, M. Pateda, dst.

Sejak akhir 1980an, peranan kampus, terutama F-KIP/IKIP, STIE Gorontalo, STAIN, dan beberapa kampus lainnya, berhasil memediasi pergerakan kalangan sarjana memasuki dunia birokrasi. Mimpi utama di masa itu adalah menjadi Pegawai Negeri. Tak heran kalau sektor swasta mengalami perlambatan.

Daerah ini hanya melahirkan sangat sedikit pengusaha –itu pun lebih banyak bekerja dengan proyek pemerintah dan kebanyakan bertahan di sektor pertanian–. Kita tahu, untuk masa yang cukup panjang, “ekonomi kelapa” dan “pertanian padi/jagung” mendominasi Gorontalo. Kita juga tahu bahwa penguasaan/pemilikan lahan, sejak masa itu, terjadi ketimpangan yang signifikan.

Sepanjang dua puluh tahun terakhir, kita menyaksikan pergeseran ruang ekonomi yang melebar. Citra Limboto sebagai “tempat belanja” –terutama di Shopping Center— dengan cepat dan mudah dikalahkan oleh kawasan Telaga dan Isimu, misalnya.

Begitu juga dengan pertumbuhan ekonomi di “dalam” kawasan (sekitar) Limboto sendiri. Radius pengaruh Limboto menjadi semakin sempit –terkesan hanya diwakili oleh 2-3 kelurahan saja (?)–. Sebagai kota, Limboto bisa diitari dengan cepat, tak lebih 30 menit!. Terasa bahwa Limboto belum punya “organisasi kota” yang men-struktur-kan visi dan keberagaman fungsi-fungsinya, sebab sebuah kota adalah an “organized diversity” (Langer, 1984: 99).

Sebagai sebuah ruang hidup, Limboto dengan mudah ditebak. Apa “isi dalam” kota ini nyaris tak punya efek kejut yang berarti. Tak heran kalau Limboto adalah kota yang terkesan (cukup) hanya dilewati dan ditatap dari jendela mobil saja.

Jika pun singgah, ya sekadar untuk ber-swafoto di sudut-sudut tertentu: di Menara, Masjid, dan Taman sebagai latar/fokus. Sisanya, tak ada yang unik; tak ada yang mengundang tanya, penasaran dan ruang percakapan. Rasa heran kalangan pendatang mungkin tak lebih dari sejam saja. Jika begitu, untuk apa “menginap” di kota ini?

Karakter Kota ini sesungguhnya sangat menarik, andai kisah-kisahnya berhasil direproduksi dan/atau diolah dengan imajinatif dan terpimpin. Arsitek lama/kolonial masih bisa kita temukan; tradisi lokal dan ritual-ritual keagamaan, sebaran kuliner, keanekaragaman hayati, dst masih bisa banyak dinikmati.

Nostalgia danau dan endemiknya, bentangan alam, aliran sungai-sungai, perbatasan Dehualolo, dan lanskap permukiman pun menarik dikisahkan. Limboto punya Sejarah? Limboto punya jiwa dan karakter? Jawaban-jawaban kita padanya akan menentukan wajah (masa depan) kota ini. ***