Oleh:
Basri Amin
BELAKANGAN ini, sikap “prihatin” sering diungkapkan ketika membahas kebudayaan. Meski demikian, perangai defensif tidak bisa dijadikan dasar yang kukuh dalam jangka panjang.
Memang, rasa khawatir tentang hilangnya “tradisi” dan menyempitnya apresiasi dan praktik bahasa daerah menjadi perhatian bersama, tapi sikap-sikap reaktif dan emosi yang menyempitkan kesadaran bukanlah jalan keluar. Jika ini yang terus berlangsung, maka budaya hanya akan berperan sebagai ruang yang melebarkan frustasi dan pretensi tentang kekalahan.
Catatan ini berangkat dari pandangan bahwa kebudayaan berporos pada potensi daya hidup, akal sehat dan kesadaran manusia dalam mencipta dan membangun solidaritas dan pluralitas kemanusiaannya.
Karena itu, dalam membahas kebudayaan (termasuk sejarah), usaha-usaha kreatif (dalam penelitian, penulisan, pengkajian dan praktik) adalah keniscayaan. Bahkan tidak cukup dengan itu, yang tak kalah pentingnya adalah antusiasme dan kerja keras dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan.
Visi kebudayaan akan sangat menentukan antusiasme kita dalam menggali, memperkaya dan menemukan “jati diri” sebuah kelompok masyarakat atau sebuah bangsa. Ditegaskan bahwa “kebudayaan adalah jati diri sebuah bangsa” (Edi Sedyawati, 2009). Karena itu, kita mengalami tantangan yang makin serius karena globalisasi memaksa kita untuk memiliki daya saing di satu sisi, tapi kita juga membutuhkan daya tahan dari sisi identitas kebangsaan, dengan beragam lokalitasnya.
Dalam konteks Gorontalo, keseriusan banyak pihak dalam menggali sejarah dan perkembangan kebudayaan Gorontalo makin dirasakan sebagai sebuah pekerjaan luhur, tapi tak bisa kita pungkiri bahwa “kesibukan” ini masih menyisahkan banyak ruang kosong (baca: agenda). Bagaimana pun, publikasi bidang sejarah dan studi-studi kebudayaan di tingkat nasional belum memberi tempat yang memadai untuk Gorontalo.
Di sisi lain, para peminat sejarah dan studi-studi kebudayaan sewajarnya memperhatikan pandangan Prof. Taufik Abdullah (1985) tentang “keterampilan teknis”:“…kepekaan common sense, imajinasi kesejarahan dan ketajaman analisis…Ini (semua) membutuhkan wawasan teori dan kemampuan komparatif…serta integritas yang tinggi”.
Tanpa sikap seperti itu, imajinasi, teori dan metodologi menjadi sangat kaku dan seringkali mudah “lumpuh” di hadapan data sejarah atau fakta kebudayaan yang menggunung, dengan interpretasi yang beragam. Dengan demikian, seluruh “fakta sejarah” yang tertuang dalam naskah-naskah tertulis dan artefak, tanpa pengujian yang kritis dan analisis yang serius, bisa jadi unsur-unsur “mitos” dan “tafsir” yang dangkal-kering akan “mencampuri” –-kalau tidak malah mendominasi –-.
Di Gorontalo sendiri, beberapa agenda utama yang butuh diusahakan lebih serius guna memperkuat perkembangan kebudayaan dan masa depan kebudayaan Gorontalo adalah, pertama, reproduksi naskah-naskah, telaah manuskrip, literatur dan dokumen yang relevan.
Ini makin mendesak dilakukan, tapi masih terlalu sedikit yang peduli dan konsisten. Padahal, upaya reproduksi ini dimaksudkan untuk membuka akses kepada pemiliki sah kebudayaan (baca: masyarakat) untuk kembali bisa “menyentuh-merasa-menjiwai” secara langsung atas artefak sejarah dan kebudayaannya sendiri.
Kedua, perlu ditumbuhkan sebuah kesadaran bersama bahwa masyarakat memiliki hak dan kewajiban atas “pelestarian” jiwa sejarah, nilai-nilai dan praktik-praktik budaya miliknya. Sejauh ini, “otoritas” pengkajian budaya dan sejarah tergolong elitis dan publikasi bidang kebudayaan dan sejarah relatif terbatas, demikian pula dengan sebarannya di tengah-tengah masyarakat, kalangan pendidikan dan pengambil kebijakan.
Di sisi lain, rasa khawatir mulai tampak akan “hilangnya identitas” budaya lokal (praktik bahasa, tradisi lisan, kesenian, praktik adat, dst). Khusus yang terakhir, saya melihat beberapa gerakan terbatas semakin gesit dan haruslah disambut dan didukung. Kerja-kerja di sektor ini memang membutuhkan upaya berlapis-lapis dan dikerjakan dengan “nafas panjang”. Kepekaan dan kepedulian adalah dasar kerjanya.
Resiko tentang “hilangnya” beberapa bagian dari kebudayaan masyarakat tak bisa kita hindari. Kita tak bisa menghindar dari gempuran-gempuran perubahan mondial dewasa ini. Di tingkat kehidupan sehari-sehari, ketegangan akan terus terjadi karena pilihan berbahasa dan pola-pola pemikiran akan terus mewarnai perjumpaan setiap warga masyarakat: di lembaga pendidikan, di tempat kerja, di lingkungan pergaulan/pemukiman, di ruang-ruang publik dan media.
Di semua ruang tersebut di atas, sejumlah “kompromi” dan “gempuran budaya” akan terus terjadi. Sebagai dampaknya, praktik berbahasa yang lebih egaliter dan bersifat “Melayu lokal” atau variasi-variasi praktis lainnya akan menjadi jembatan komunikasi. Kota-kota kosmopolit akan menjadi eskalator-nya. Pada level ini, sikap demokratis haruslah tetap jadi pegangan, karena pergaulan masyarakat manusia mempunyai derajat otonominya sendiri.
Setiap unsur kebudayaan akan mengalami ketegangan, karena tidak setiap perjumpaan rutin masyarakat manusia secara otomatis membentuk kekuatan “pertemuan” yang efektif dalam jangka pendek. Akibatnya, sejumlah penyesuaian, negosiasi dan penyerapan akan membentuk kesadaran baru. Pada sisi inilah dimensi-dimensi kebudayaan akan memasuki jaringan-jaringan (baru) dalam pergaulan sehari-hari.
Melalui pergaulan lintas individu dan kelompok, kemampuan memberi “isi” pada bagian-bagian tertentu dalam praktik bahasa dan tradisi lokal akan beroleh ruang yang dinamis. Proses ini akan memperkaya sebuah adaptasi di satu sisi, tapi juga berkembangnya resepsi dan respek budaya di sisi lain. Jika ini bisa ditemukan pola-pola interaksinya yang produktif, maka akan terbentuk suatu pemertahanan budaya -–termasuk bahasa— dengan basis sosial yang kuat.
Dalam kebudayaan, kita membutuhkan kesadaran untuk “saling melengkapi”, bukan sikap-sikap reaktif yang mendorong artikulasi yang serba sepihak, serba menilai dan serba prihatin. Dalam hal ini, kita seringkali tidak sadar melihat sebuah “kesenjangan” dalam pemahaman kebudayaan. Padahal,
dalam setiap budaya yang matang, kekuatannya justru terletak pada kekayaan khasanahnya yang selalu segar untuk “dirujuk” dan tumbuh untuk “diperkaya”. Kita tak bisa bertahan dan hanya mengandalkan legitimasi sempit, apalagi dengan menjebakkan diri pada kategori hitam-putih: kita, mereka; yang asli dan yang tidak asli; yang lokal, yang nasional, dan yang kolonial. ***
Penulis adalah
Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)
E-mail: [email protected]