Oleh:
Basri Amin
HARI itu, saya menyaksikan harapan yang sangat nyata. Dalam sebuah penerbangan dari kota Manado menuju Gorontalo, beberapa tahun lalu.
Wajah-wajah cerah. Lincah, efektif gerak-geriknya dan tampak profesional. Saya duga, mereka rata-rata di usia 30-an tahun. Sepertinya mereka bekerja di sebuah instansi berkinerja tinggi. Saya menyaksikan gesture dan bahasa mereka dalam penerbangan singkat ini.
Saya bangga melihat mereka. Tergambar wajah anak-anak bangsa yang sibuk bekerja untuk kejayaan negeri ini. Di ketinggian lima belas ribu kaki di jalur utara pulau Sulawesi, generasi baru Indonesia, menikmati kemerdekaan negerinya.
Tapi, apakah mereka adalah para pembaru dan pejuang heroik sebagaimana citra kaum muda Indonesia sejak tahun 1908, 1928, 1966 atau 1998?
Kita sekian lama sepakat: riwayat pembaruan di negeri ini sangat identik dengan orang muda. Di jaman pergolakan, kita bahkan pernah memiliki kelompok pejuang fisik yang militan bernama Tentara Pelajar.
Zaman berubah cepat. Generasi silih-berganti. Tapi keindonesiaan adalah ikatan bersama. Dengan Indonesia kita menjadi “ada!” dan berarti. Dengan Indonesia, kita membayangkan sebuah kebesaran, sebuah bentangan cita-cita dan sebuah keragaman tiada tanding. Lalu, apakah arti semua itu terbenam sama di sanubari setiap warga bangsa?
Kini kita menyaksikan membesarnya “generasi net” yang mungkin tidak tertarik dengan heroisme “bambu runcing” para Pahlawan fisik. Bisa jadi pula mereka tidak lagi menikmati upacara bendera yang seru. Tetapi, kita tak pantas meragukan nasionalisme mereka. Justru di tangan dan dari kepala merekalah “daya saing” bangsa kita pertaruhkan.
Generasi baru Indonesia! Spontanitas yang mereka miliki adalah bagian dari energi kreatif yang membutuhkan ruang artikulasi. Hal ini dilandasi oleh naluri mencoba dan menguji-coba sesuatu yang tinggi.
Banyak penemuan besar di dunia dihasilkan oleh kalangan muda karena faktor keberanian mereka memulai sesuatu. Tak jarang, terutama di bidang teknologi, sport, dan seni, kita sering tercengang dengan pencapaian mereka.
Jiwa-jiwa merdeka mereka bergolak untuk merambah jalan-jalan baru dalam pemikiran dan penciptaan. Mereka tak mengenal lelah dan kalah…
Meski demikian, dalam situasi yang serba kreatif dan mengalir saat ini, tak jarang kalangan muda dilabeli dengan sesuatu yang agak bertolak belakang dengan pencapaian mereka. Masih sering kita mendengar tentang label “kekurangmatangan”, “kekurangdewasaan”, “masih hijau”, dst kepada kaum muda.
Ketika musim persaingan datang, masih sering terungkap dikotomi senior-yunior; yang “berpengalaman” dan yang “masih lagi!”. Jelas sekali bahwa ukuran umur adalah persoalan tersendiri bagi kaum muda.
Bukan karena “angka umur” itu sendiri yang jadi soal, melainkan nilai atau penilaian yang ter/di-tanam oleh setiap kelompok masyarakat dalam membangun pengetahuannya tentang apa dan siapa kaum muda itu. Dengan itu, takaran kiprah dan kepantasannya dalam memerankan diri kemudian dikonstruk secara sepihak.
Kemudaan, dengan demikian, adalah perkara pengetahuan dan pelembagaan praktik hidup. Di tahap tertentu, setidaknya bagi mereka yang berada di jalur usia yang kita kategorikan remaja dan yang berusia sekolah, mereka relatif pasif untuk kita defenisikan “profil” mereka dan nilai-nilai apa yang sepatutnya mereka jalani/terima.
Derajat ketergantungan mereka sangat menentukan tingkat “tekanan” yang mereka alami/terima atas nilai-nilai dan rujukan tertentu. Ikatan dengan rutinitas keluarga, ketergantungan finansial kepada orang tua, kegiatan persekolahan mereka, semuanya adalah penentu kondisional yang di satu sisi memberi “jaminan” dan “rasa aman”, tetapi di sisi lain mereka juga seringkali (merasa) terkekang dengan potensialitas diri yang hendak mereka wujudkan.
Meski demikian, kita juga mustahil menutup mata bahwa banyak pula kaum muda kita –yang berada di tingkat remaja— yang lepas dari kekangan norma keluarga yang (dipandang) standar dan normal. Mereka masuk dan terterima –-baik karena terpaksa atau karena pilihan ‘setengah’ sadar—di ruang-ruang pekerjaan informal (baca: pekerja anak), juga tak sedikit di antara mereka yang tercebur ke dalam jaringan kekerasan, terorisme, perdagangan manusia dan drugs, serta pekerja seksual komersial, dst.
Guncangan ikatan keluarga, tekanan hidup di perkotaan dan perdesaan, kejahatan siber dan jaringan radikalisme, afiliasi (praktik) keagamaan yang anti kamejemukan, semuanya campur-baur memberi dampak serius atas pilihan-pilihan atau pola-pola (hidup) kaum muda-remaja kita.
Hadiah demografi bagi Indonesia, hal mana secara sederhana dimaknai sebagai pembesaran usia produktif atau usia kerja secara siginifikan (15–64 tahun) pada periode tertentu, telah memberi tanda bahwa penduduk Indonesia adalah “modal utama” ke masa depan.
Hanya soalnya adalah bagaimana mengondisikan produktivitasnya dan mendayagunakan potensinya, agar berbuah kesejahteraan dan sekaligus sebagai kekuatan pembaruan yang berkelanjutan.
Menengok lapisan kaum muda kita yang lain, terutama yang kini sudah kita pandang sebagai “kelompok milenial”, sebagian besar “generasi X dan Z”, kemudian dengan cepat disusul dengan kecepatan generasi “Y” dan “Alpa”, kini mereka sebagian besar telah mengisi ruang-ruang pertarungan hidup yang mondial. Wajah-wajah mereka telah menghiasi media, memenangkan kompetisi-kompetisi hebat di tingkat dunia, membangun korporasi dan produk sendiri, berjejaring lintas bidang ilmu, bahkan lintas bangsa.
Dengan cara dan karakternya masing-masing, semua kluster generasi tersebut adalah kampion adopsi teknologi informasi dan komunikasi. Mereka adalah tulang punggung zaman “Internet of Things”. Sebagiannya bahkan sudah sangat mapan secara material dan demikian bernafsu menata dunia ini dengan “gaya”nya sendiri: lincah, spontan, acuh, instan, cair, informal, imajinatif, mobile, dst.
Perubahan besar yang dimotori oleh kaum muda bukanlah tahapan terpisah dari gelombang perubahan sebelumnya. Secara sederhana, “gelombang teknologi”lah yang menjadi sebab utama dari semua hal yang kita saksikan hari-hari ini. Meski demikian, tak semua bangsa dan kelompok masyarakat menerima atau mengalami terpaan perubahan itu dengan pola kerja yang sama.
Tidak juga tepat disimpulkan bahwa dengan “persamaan” semua bangsa dalam akses teknologi akan berdampak sama di level kualitas penghidupannya. Terbukti, hanya bangsa-bangsa yang punya adaptasi tinggi dan yang berdaya cipta unggul saja yang beroleh banyak perubahan/perbaikan menurut ukuran yang lebih cepat dan meluas.
Kaum muda kita sewajarnya membangun tradisi keunggulannya berdasarkan prinspi ini. Tanpa itu, yang akan terjadi adalah membesarnya angka konsumsi (kolektif) kita dibandingkan dengan mentalitas produksi. Sesuai pengalaman keseharian kita, tabiat menjadi “penerima” atau “pembeli” amat terasa dibandingkan dengan girah kita menghasilkan sesuatu, apa pun itu bentuknya.
Di persekolahan kita, mental mencipta itu dibangun untuk sekadar menggugurkan daftar penugasan pelajaran. Sehingga, yang terjadi sesungguhnya hanyalah “mengerjakan” yang sudah ada, bukan “mencipta” yang baru (inovasi!), atau “mengolah yang sudah ada dengan cara-cara baru” (kreatif!). Padahal, di tingkat yang fundamental, yang kita butuhkan adalah pembongkaran baru yang melandasi arena-arena kreatif demi terwujudnya hal-hal (baru) yang tak terkira sebelumnya, dengan dampak yang lebih luas.
Penulis bekerja di Universitas Negeri Gorontalo (UNG)
Lembaga Kajian Sekolah dan Masyarakat – LekSEMA
E-mail: [email protected]