Perlukah Oposisi Dalam Demokrasi?

oleh:
Hamka Hendra Noer

 

Melihat perkembangan perilaku elit partai politik akhir-akhir ini yang cenderung mencederai substansi demokrasi, pertanyaan kemudian muncul adalah; “masih perlukah oposisi dalam demokrasi?”Saya masih yakin bahwa oposisi masih diperlukan di Indonesia. Mengutip pendapat Shapiro (1996, p. 51) “democracy is an ideology of opposition as much as it is one of government”. Walaupun dalam beberapa kajian Indonesianis menunjukkan bahwa praktik oligarki (Robison & Hadiz, 2004, 2014; Winters, 2011, 2014) atau elitisme (Tornquist, 2006; Buehler, 2014) di Indonesia masih menampakkan gelagatnya dan terus berjalan meski kehidupan politik Indonesia diyakini telah jauh lebih demokratis.

Para Indonesianis pada umumnya mengisyaratkan sebuah paradoks bahwa Indonesia adalah contoh par excellent dari fenomena ketika mekanisme demokrasi dan eksistensi oligarki atau elitisme dapat saling mengisi atau hidup berdampinganpada saat bersamaan (Ford & Pepinsky, 2014). Sementara itu, khusus dalam soal hubunganeksekutif dan legislatif, pola yang terbangun jugabelum menunjukkan bentuk demokrasi yangsolid.

Pola hubungan yang terjadi justru mengindikasikankecenderungan relasi kartel politik,yakni diantara kedua lembaga itu cenderungbersikap saling menguntungkan, baik terselubungmaupun manifes, yang pada akhirnya menyebabkankontrol terhadap kekuasaan tidak berjalanefektif (Ambardi, 2009; Rodan & Jayasurya,2009; Mietzner, 2013).Fenomena ini tampaknyasejalan dengan apa yang disebut oleh O’Donnel(1996) sebagai “delegative democracy”, yaitudemokrasi hidup di tengah lemahnya pelaksanaanchecks and balances.

Berbagai pandangan di atasmengindikasikan dengan jelas bahwa eksistensidan pertumbuhan demokrasi di Indonesia masihjauh dari sempurna, karena masih memberikantempat yang cukup lapang bagi munculnyapraktik politik yang mereduksi hakikat demokrasiitu sendiri. Pandangan para Indonesianis tentangmasih cukup kuatnya keberadaan oligarki atauelitisme, di sisi lain, menunjukkan dengan jelasbahwa fenomena pelaksanaan kekuasaan(powerexercise) hingga kini sesungguhnya masih minimkontrol karena kekuatan penyeimbang (balancer)yang memadai belum cukup kokoh.

Dalam situasiseperti ini, eksistensi kekuatan penyeimbang—yang notabene melekat pada kelompok oposisi—menjadi perlu lebih diperhatikandan secara fundamentatif merupakan kebutuhanmendesak, setidaknya untuk mengurangi praktikoligarki dengan segenap aspek buruk yangditimbulkannya.

Sehubungan dengan kebutuhan ataskeberadaan oposisi tersebut, sebagai upaya meningkatkan kualitas demokrasidi Indonesia, tulisan ini membahas rasionalitaskeberadaan oposisi. Pembahasan artikel ini secaragaris besar untuk menunjukkan bahwaoposisi merupakan bagian yang tidak terpisahkandari demokrasi. Oleh sebabitu, pembenahan demokrasi tidak akan berjalansempurna—terutama dalam memberikan efekpositif yang kuat bagi pelaksanaan kedaulatanrakyat danbentuk pemerintahan yang terkontrol—manakala pembenahan mengenai cara pandangdan kedudukan oposisi tidak diikutsertakandi dalamnya.

MAKNA OPOSISI

Oposisi dalam makna umum kerap diartikan sebagai “berseberangan” atau “sesuatu yang memiliki posisi yang tidak sama pada sesuatu yang lain”. Mengutip Rooney (2001), oposisi diartikan sebagai lawan atau perlawanan terhadap sesuatu. Dalam konteks politik, Barnard (1972) mengartikan oposisi politik adalah bentuk kontestasi yang terkait atau dijamin dalam konstitusi. Senada dengan Rooney dan Barnard, dalam pandangan Noor (2016) menyatakan, khususnya dalam kehidupan demokrasi, terdapat beberapa fungsi utama oposisi, yaitu: (i) sebagai penyeimbang kekuasaan, (ii) menjaga agar alternatif kebijakan dapat disuarakan, dan (iii) sebagai stimulus persaingan yang sehat di antara para elite politik dan pemerintahan. Pendapat Rooney, Barnard, dan Noor diperkuat oleh Dahl (1971) menyatakan, oposisi adalah bagian yang tidak terpisahkan dan menjadi salah satu fondasi, selain partisipasi, dari yang disebutnya sebagai polyarchy (poliarki) atau bentuk pemerintahan yang bernuansakan demokrasi.

Pertanyaannya, bagaimana jika terjadi “kemandulan” oposisi? Maka keterbatasan opsi bagi tegaknya aspirasi rakyat yangdapat memunculkan pembusukan pemerintah sebagaimana yang terjadi di Myanmar era junta militer ataupun Indonesia era Orde Baru. Dengan kata lain, oposisi dibutuhkan agar sebuah kebijakan yang lebih komprehensif dapat tercipta dan kesalahan dalam mengelola pemerintahan dapat diminimalkan.

Oleh karena itu, jelas bahwa penguatan oposisiterkait dengan upaya menegakkan kebijakanyang sejalan dengan kepentingan rakyat danmenghindari terjadinya oligarki. Oposisi bukanlahsekadar sikap anti-pemerintah atau asal berbeda,melainkan sebuah eksistensi yang memberikankritik dan tawaran alternatif kebijakan dan kontrol atas penyelenggaraan pemerintahan. Oposisiadalah “pemihakan rasional” sebagai konsekuensidari pelembagaankontrol atas kekuasaan. Oposisi yang sehat, sebagaimanayang diyakini Dahl lebih dari empat dekade lalu,adalah bagian dan sekaligus cerminankeberadaan demokrasi yang kokoh.

Di awal era reformasi, demokrasi kembali ditegakkan.Kebebasan berpendapat menemukan lagimomentumnya. Berbagai penghargaan diterimaoleh pemerintah Indonesia dalam kaitan dengankualitas demokrasi yang sedang berlangsung.Masyarakat pun tidak lagi merasakan tekanandari pemerintah, bahkan relatif bebas mengkritikpemerintah. Kebebasan mendirikan lembaga-lembagademokrasi, termasuk pers dan partaipolitik, demikian menguat.Situasi ini membuktikan bahwa demokrasi dengan sistempresidensial dan banyak partai tetap mampumenciptakan stabilitas politikdi Indonesia.

Pada masa presiden AbdurrahmanWahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri(1999–2004), oposisi tidak terlalu bermakna,mengingat seluruh potensi kekuatan politiknasional terserap dalam pemerintahan. Pada masapemerintahan Gus Dur, seluruh partai besar danmenengah (PDIP, Golkar, PAN, PKB,PPP, PBB, PKS, dan PKP) mendapatkan posisidalam kabinet. DPR praktis berisi partai-partai yang mayoritas memiliki jabatan dalam pemerintahan (Kompas, 20/04/2021).

Hanyasaat Gus Dur mengganti beberapa menteri (yang notabene adalah tokoh-tokoh utama partaikoalisi) dengan teman-teman dekatnya, maka partai-partaimulai melakukan perlawanan.Namun, perlawanan yang berujung pada impeachment itu secara kronologis dan substantif tidak dapat dilepaskan dari soal respons atas pergantian atau reshuffle dan bukan dalam spirit oposisi sebagaimana yang biasa terjadi pada negara-negara demokrasi yang mapan.

Uniknya, pada era pemerintahan SBY(2004–2014), meski dalam bentuk berbeda,secara subtantif memperlihatkan gelagat yangsama. Pada masa itu, muncul pola “politikkartel”, yakni ketika oposisi tidak banyakbermakna dan kelompok-kelompok yang berpotensimemainkan peran oposisi justru terserapdalam pemerintahan (Ambardi, 2009). Meskisebagian kalangan tidak melihat hal itu sebagaimurni pemerintahan kartel, kenyataan menunjukkan bahwa oposisitidak berjalan efektif dan potensinya cenderungterserap dalam pemerintahan, dan hal ini tidakterelakkan. Partai-partai cenderung berkerumunmendekat kepada SBY dan membangun sebuahpemerintahan yang jauh dari semangat checksand balances. Terkecuali, PDIP tetap konsisten berada di luar pemerintahan (oposisi).

Di awal pemerintahan presiden Jokowi (2014-2019) ada sedikit peningkatankualitas oposisi,kenyataan masih ada partai yangtegas menyatakan berada di luar pemerintahan,seperti Gerindra, Demokrat, dan PKS—fenomena oposisisaat itu dalam perkembangannya cenderungmemperlihatkan sebuah kelanjutan pola lamahubungan pemerintahan dengan oposisi. Fungsioposisi, yang sebenarnya dapat diperankan olehKoalisi Merah Putih (KMP) secara maksimal, justru memperlihatkanfenomena oposisi yang bersifat terbatas dan tidakcukup efektif.

Pada periode kedua Jokowi (2019-2024), gerbong koalisi pendukung pemerintah bertambah setelah Partai Demokrat resmi bergabung. Ini ditandai dengan dilantiknya Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Menyisahkan PKS sendirian tidak masuk dalam kabinet atau menjadi “oposisi” (Kompas, 22/02/2024).

Menurut Bunte dan Ufen (2009), kondisi semacam ini tampak mirip danmenunjukkan sebuah warisan masa lalu, terutamadari era Orde Baru, yakni oposisi pada akhirnya cenderung tercerai-beraidan tampak kehilangan posisi. Namun,kalau dulu hal tersebut lebih dipengaruhioleh tekanan rezim, pada saat ini perilaku elitepartailah yang berperan dalam melemahkankedudukan oposisi sebagai efek pilihan pragmatisuntuk selalu mendekat dan berada dalamlingkar kekuasaan.

Selain itu, cukup jelas terlihat bahwaoposisi yang terlembaga masih belummendapat dukungan kuat dari masyarakat.Konsep oposisi tidak terlalu mengakar atau kurangmendapat dukungan masyarakat, terutama karenapemahaman oposisi yang tidak tepat. Denganminimnya dukungan, oposisi tampak berada dalam posisi yang gamang danjustru terlihat terkucilkan dari opini yang berkembangdi masyarakat tentang pemerintah, yangkerap dimanipulasi oleh pemerintah itu sendiri.

Namun, tidak semua kalangan kemudian menarikdiri dari posisi oposisi. Beberapa kalangan, sepertimedia massa, cendekiawan, aktivis LSM,dan beberapa kader partai, tetap menunjukkansikap perlawanan terhadap pemerintah. Meskidemikian, hingga saat ini peran oposisi lebih dimainkan oleh kalangannonpartai dan ekstra-parlementer, yang sayangnyabersifat sporadis dan tidak benar-benar dapat dijadikanbarometer kontrol terhadap pemerintahanyang efektif. Begitupun diakhir pemerintahan presiden Jokowi, peran tokoh partai politik untuk menjadi oposisi cenderung memudar. Malah, tokoh intelektual seperti, Rocky Gerung yang kritis memainkan peran partai politik menjadi oposisi untuk “mengkritisi” pemerintah.

Dampaknya, alih-alih menjadi ranah bagikehidupan demokrasi yang sehat, Indonesia saatini justru terjebak dalam praktik oligarki yangmasih menempatkan kepentingan sedikit orangdi atas kepentingan rakyat banyak. Kebijakanpemerintah untuk rakyat selalu tersandera ataudimanipulasi oleh kepentingan-kepentingansekelompok orang yang dekat dengan kekuasaan. Demokrasi yang cenderung artifisial,adalah hasil yang dituaioleh situasi pemerintahan tanpa oposisi yangefektif.

LANGKAH MEMBANGUN OPOSISI

Pembahasan di atas mengisyaratkan belum kuatnya keberadaan oposisi di Indonesia. Membangun oposisi adalah sesuatu yang amat diperlukan. Bagaimana upaya-upaya yang harus dikembangkan dan dilakukan dalam upaya membangun oposisi, terutama dalam konteks politik. Langkah ini meliputi pembenahan di level masyarakat, yang terutama penting, mengingat peran strategis dukungan dan makna dari partisipasi politik itu sendiri. Lalu, perbaikan di level partai politik, yang terkait dengan perannya yang bersifat langsung dalam pemerintahan.

Salah satu “cerita sukses” Orde Baru dan Orde Lama adalah mampu mempersepsikan bahwa menjadi oposisi adalah sebuah kesalahan. Oposisi dianggap sebagai mereka yang telah terpengaruh oleh pandangan politik liberal yang pro-individualisme, bahkan antek kekuasaan asing. Oposisi juga disamakan dengan mereka yang telah tercerabut dari akar dan jati diri bangsa. Citra oposisi sebagai sesuatu yang buruk dipersepsikan secara sistematis pada dua pemerintahan itu. Pada masa Orde Lama, oposisi dicitrakan sebagai kontra-revolusi dan sesuatu yang tidak natural atau kerap disampaikan dengan istilah “ditanam” oleh kekuatan asing (Pratignyo, 1983). Sementara oposisi di era Orde Baru distigmakan sebagai anti-Pancasila, anti-Pembangunan, atau kalangan ekstrem.

Selain pencitraan negatif, ada dua isu besar yang kerap diembuskan terkait dengan pengembangan praktik oposisi dalam alam demokrasi. Pertama, oposisi akan menimbulkan ketidakstabilan karena pada akhirnya oposisi hanya menyebabkan pemerintah tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kedua, oposisi hanya akan menyebabkan pembangunan melambat dan kesejahteraan bangsa tak tercapai.

Kedua isu tersebut tentu saja tidak memiliki dasar empiris yang memadai karena, misalnya, dari 14 negara paling stabil (sustainable) di dunia dewasa ini, 13 negara menggunakan sistem parlementer dan hanya satu negara, yakni Portugal, yang menggunakan sistem semi-presidensial. Padahal, pada sistem parlementer, oposisi justru difasilitasi, terlembaga, dan lebih dari itu hampir sama kuatnya dengan pemerintah. Sementara dalam konteks penciptaan kesejahteraan, terlihat bahwa dari 15 negara paling sejahtera di muka bumi saat ini, hanya satu yang menggunakan sistem presidensial, yaitu Amerika Serikat, sedangkan sisanya menggunakan sistem parlementer (The Legatum Prosperity Index, 2015).

Hal yang perlu dicatat adalah Amerika Serikat pun merupakan negara yang memiliki tradisi oposisi yang amat kuat. Pandangan salah kaprah di atas sayangnya telah telanjur cukup tertanam di masyarakat, yang pada akhirnya membuat pemikiran yang mengaitkan oposisi dengan hal-hal negatif tersebut dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.

Selain masalah persepsi negatif, penghargaan terhadap oposisi mendapat tantangan kuat dengan sikap pragmatisme dalam berpolitik. Pragmatisme ini menyebabkan komitmen beroposisi dapat dengan mudah mencair atau terbeli ketika berhadapan dengan tawaran-tawaran politik yang menggiurkan. Komitmen beroposisi menjadi sulit terbangun karena masyarakat pada umumnya belum mampu mempertahankan kemandiriannya, terutama terkait dengan persoalan ekonomi.

Mungkin saja masyarakat telah memiliki pandangan yang jauh lebih baik mengenai pentingnya beroposisi. Namun, ketidakberdayaan ekonomi membuat mereka tidak memiliki pilihan selain berdamai dengan penguasa atau setidaknya mengurangi sikap kritis. Lemahnya kemandirian menyebabkanupaya untuk beroposisi mudahdiredam oleh pihak-pihak yang berkepentinganatas meredupnya semangat oposisi.Hal lain yang juga menjadi persoalan dalammembangun konsistensi dalam beroposisi adalahmasih adanya ketergantungan pada patron ataupolitical broker yang sering berubah-ubahnya sikap dan orientasipatron terhadap penguasa.

Selain itu, media massa dapat berperanmisalnya, memberikandukungan dan penghargaan terhadap kekuatanoposisi. Media massa juga harus memberikan ruangyang sama dan dorongan yang signifikan kepadakalangan kritis yang berseberangan denganpemerintah. Harus diakui bahwa saat ini masihbanyak media massa yang memihak, baik atasdasar kesamaan ideologis maupun kepentinganatau karena faktor lain yang bersifat simbiosis mutualisme atau bahkan kolutif.

Apa pun penyebabnya,sejauh hal ini masih menggejala, makaupaya membesarkan dan membangun oposisiakan terus mengalami tantangan serius. Olehkarena itu, sudah sepatutnya ada daya dorong bagimedia massa, baik dari dalam (otokritik) maupundari luar, untuk menyadarkan peran hakiki merekasebagai pilar keempat dari demokrasi. Dalamposisi itu, media massa bukan diabdikan untuksekadar “yang penting sama” atau “yang pentingbeda” dengan penguasa, melainkan dapat turutmelakukan kontrol atas jalannya pemerintahandenganmengedepankan rasionalitas objektifdan komitmen memperjuangkan aspirasi ataukedaulatan rakyat secara maksimal.

Apa yang dilakukan oleh koran Tempo (program “Bocor Alus Politik”)  yang tetap konsisten mengkritisi kebijakan presiden Jokowi—kalau ini boleh dikatakan oposisi—menjadi bukti masih ada media yang melakukan peran kontrol (oposisi) tersebut.

Peran pemerintahdan pihak-pihak terkait bertanggung jawabmenumbuhkan dan menguatkan oposisi denganmembangun kemandirian masyarakat.Menurut Liddle (2014), tegaknya kemandirian akanmenopang upaya-upaya menguatkan praktikberoposisi yang berorientasi menciptakanpemerintahan yang dapat berjalan dengan lebihmaksimal dan memberikan banyak keuntunganterhadap mereka sehingga dapat lebih berkembangdi masyarakat.

Kesadaran untuk menguatkan kembali peranoposisi dalam tatanan masyarakat tidak akan banyakberarti jika dalam tatanan political society,dalam hal ini diwakili oleh partai politik, jugatidak tergarap dengan baik. Hal ini terjadi karenapada akhirnya parpol adalah institusi yang terkaitlangsung dengan pembentukan oposisi dalampemerintahan.

Idealnya, manakala pemerintahan yang terbentuktidak mewakili kepentingan atau aspirasiideologis partai, dengan sendirinya partai akanmengambil posisi di luar pemerintahan. Partaitidak akan mudah tergoda untuk bergabung dalam pemerintahan hanya demi kepentinganyang bersifat material atau pragmatis semata.Disisi lain, partai akan ditinggalkankonstituen apabila logika non-ideologis (pragmatis) ternyata menjadialasan utama yang diambil dalam menentukanposisi politiknya di hadapan pemerintah.

Komitmen untuk berada di luar pemerintahandan menjadi oposisi yang paripurna atautotal membutuhkan kemandirian yang juga total.Apabila partai masih terikat pada pemerintah,baik karena kepentingan patron maupun kebutuhanteknis-pragmatis, peran oposisi tidak banyak bermakna. Hal ini berarti partaiharus dapat mengokohkan kemandiriannya denganmemiliki sumber-sumber kekuatan finansialsendiri. Mengutip Mietzner (2014),kegagalan dalam soal mendanai kehidupan partaisecara benar inilah sumber utama munculnyapraktik politik yang menyimpang dari demokrasisaat ini.

Salah satu upaya yang dapat dilakukanadalah negara memberikan dana yang memadaiuntuk dikelola oleh partai dengan prinsipdilakukan melalui transparansi yang tinggi danpertanggungjawaban atau kontrol yang tanpakompromi. Pelanggaran atau penyalahgunaandana itu dapat dikenai sanksi yang amat berat,termasuk pembatalan keikutsertaan dalam pemilu.

Adapun mereka yang murni berada di luarpemerintahan berpotensi mengalami kebangkrutantotal karena tidak memiliki sumber pendanaan.Studi Perludem (Supriyanto & Wulandari, 2012)memperlihatkan bahwa dengan hanya mengandalkaniuran anggota dan usaha-usaha lain yanglegal dan tidak mengikat cenderung tidak banyakmembantu partai dalam membiayai kebutuhansehari-hari ataupun pelaksanaan berbagai agendadan program partai, termasuk pelaksanaan kaderisasisecara berkala.

Akibatnya, partai dihadapkanpada dua pilihan yang tidak mengenakkan: “matisuri demi menjaga idealismenya atau menyerahpada kenyataan dan bergabung dengan pemerintah”.Dengan demikian, aspek strategis dukungankeuangan partai oleh pemerintah, yang harusdilakukan secara transparan dan terkontrol, tidakhanya akan membantu partai dalam menjalankanfungsi-fungsi dan segenap kebutuhannya, tetapilebih dari itu adalah membantu parpol dapatlebih mandiri dalam menjalankan idealismenya,termasuk ketika memilih menjadi oposisi.

Saya yakin oposisi masih diperlukan dalam sebuah sistem demokrasi, tetapi saya juga khawatir akan “absennya” oposisi di Indonesia. Sama khawatirnyadengan Slater (2018), bahwa absennya oposisi di Indonesia, terlepas dari dua faktor yang lazim menjadi penyebab gagalnya oposisi di negara-negara lain.  Pertama, keberadaan partai tunggal yang dominan. Kedua, gagalnya partai-partai baru untuk mengatasi hambatan masuk. Indonesia tidak memiliki partai yang dominan dan tidak kekurangan partai-partai yang siap menjadi oposisi politik. (*)

Penulis adalah Dosen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta

Comment