Oleh:
Ikhwan Fakhrudin
BIBIT pohon yang ditanam tidak akan berbuah saat itu juga. Butuh proses bertahun-tahun agar pohon tersebut dapat kita ambil manfaatnya. Begitu pula dengan kehidupan manusia. Anak-anak saat ini akan menjadi penerus bangsa di kemudian hari. Jika anak-anak dibesarkan dengan baik, maka akan menjadi penerus bangsa yang berkualitas. Sebaliknya, Indonesia takakan naik kelas menjadi negara maju jika anak-anak tak menjadi prioritas.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), proyeksi penduduk berumur 0-14 tahun di Provinsi Gorontalo pada tahun 2024 sebanyak 296,3 ribu jiwa atau sekitar 24,13 persen dari total penduduk Gorontalo. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan persentase penduduk berumur 0-14 tahun di Indonesia yang sebesar 23,21 persen. Hal ini merupakan potensi besar Gorontalo di masa depan apabila mampu dimanfaatkan untuk mencetak sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing.
Pada Publikasi Statistik Pendidikan 2023 yang dirilis oleh BPS, rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas di Gorontalo sebesar 8,48 tahun atau setara dengan kelas 8 SMP/sederajat. Sayangnya, capaian ini masih berada di bawah rata-rata nasional yaitu 9,13 tahun atau setara dengan kelas 9 SMP/sederajat. Angka tersebut masih jauh dari program wajib belajar 12 tahun.
Selain itu, jika dipilah berdasarkan klasifikasi wilayah, rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perdesaan. Rata-rata lama sekolah di perkotaan sebesar 9,75 tahun sedangkan di perdesaan hanya berada pada angka 7,45 tahun. Uniknya, jika diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin, Gorontalo termasuk salah satu dari lima provinsi yang rata-rata lama sekolahnya tidak searah dengan angka nasional, dimana rata-rata lama sekolah laki-laki di Gorontalo (8,10 tahun) lebih rendah dibandingkan rata-rata lama sekolah perempuan (8,86 tahun).
Ketimpangan pendidikan yang terjadi di Gorontalo bisa disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari keterjangkauan fasilitas pendidikan, keterbatasan jumlah pengajar, hingga kurangnya kesadaran masyarakat dalam memandang arti pendidikan. Dari sisi ketersediaan fasilitas pendidikan, Gorontalo telah memiliki 2.482 fasilitas pendidikan negeri dan swasta di seluruh jenjang pendidikan, mulai dari pra-sekolah hingga perguruan tinggi. Dalam hal aksesibilitas, 98,64 persen desa dan UPT yang ada di Gorontalo telah dilalui angkutan umum, baik bertrayek tetap maupun tanpa trayek tetap. Ketersediaan angkutan umum akan memudahkan anak menjangkau fasilitas belajarnya. Selain itu, terdapat 24,9 ribu pengajar yang tersebar di seluruh kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut, 38,24 persen diantaranya mengajar di jenjang SD/sederajat dan sisanya mengajar di jenjang pra-sekolah, SMP, SMA, dan perguruan tinggi.
Sementara itu, factor kesadaran masyarakat atas pendidikan adalah sesuatu yang tidak dapat dengan mudah diubah. Masih ada paradigma di masyarakat bahwa pendidikan itu tidak penting. Padahal, peran dan dukungan orang tua sangat vital dalam keberhasilan pendidikan anak. Walau pun pemerintah telah menyediakan berbagai sarana prasarana dan program, akan menjadi percuma jika orang tua tidak maksimal dalam mendukung anak mengenyam pendidikan.
Tak sedikit orang tua yang menyerahkan pendidikan anaknya hanya pada sekolah, tanpa campur tangan mereka sama sekali. Belum lagi adanya kecenderungan orang tua masa kini yang membiarkan anaknya bermain gadget tanpa dibatasi. Selain itu, masih banyak anggapan bahwa tugas merawat dan membesarkan anak sepenuhnya ada pada ibu. Tugas ayah dimaknai hanya mencari nafkah. Pola piker tersebut akhirnya menimbulkan masalah baru hingga munculnya istilah fatherless, ketidak hadiran sosok ayah dalam tumbuh kembang anak.
Tidak adil rasanya menuntut anak untuk sukses pada hal orang tua tidak pernah membersamai tumbuh kembangnya. Ibaratnya meminta anak untuk berlari tapi tidak pernah memotivasinya untuk berjalan. Kehadiran sosok ayah dan ibu dalam pengasuhan dapat menyeimbangkan dan menyempurnakan karakter yang dimiliki anak. Ada kelembutan, ketegasan, kepekaan, hingga akhirnya akan terbentuk pola pikir yang baik. Dukungan emosional dan praktis dari orang tua akan pentingnya pendidikan juga menjadikan anak lebih mudah dan termotivasi dalam menimba ilmu.
Membangun kesadaran akan pentingnya pengasuhan anak harus dimulai dari sebelum seseorang menjadi orang tua. Memastikan setiap orang yang akan menikah sudah cukup dewasa dan mampu mengasuh anaknya, mewajibkan bimbingan pra-nikah terkait pola pengasuhan anak yang baik, serta mengoptimalkan kader-kader kesehatan yang ada di masyarakat untuk ikut menyosialisasikan pentingnya pendidikan kiranya dapat ditempuh dalam upaya membangun kesadaran orang tua. Dengan berbagai upaya dan kolaborasi seluruh pihak yang terkait, semoga kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan dapat meningkat sehingga berhasil meningkatkan capaian pendidikan di masa depan. (*)
Penulis adalah Statistisi di
BPS Kabupaten Gorontalo Utara









Discussion about this post