Oleh:
Basri Amin
Parner di Hale-Hepu
SUDAH lama dirindukan di Gorontalo. Pada tanggal 20 November 1951, untuk kali pertama, Presiden Ir. Soekarno berhasil mengunjungi Gorontalo. Dengan pesawat Catalina “Amboina”, beliau “mendarat” di stasiun pendaratan Catalina di Iluta, Batudaa, Danau Limboto. Dijemput oleh Nani Wartabone, bersama-sama dengan Gubenur Sulawesi Sudiro dan petinggi republik. Sebenarnya, pada April 1950, beliau sudah pernah berencana ke Indonesia Timur, termasuk ke Gorontalo. Dalam kunjungannya yang kedua, Selasa 1 Oktober 1957, Presiden Soekarno mendarat di lapangan udara Tolotio di Isimu dengan pesawat Dakota pukul 13:15 siang (Sekarningrum, dkk, 2021).
Di masa itu, Pangkalan Udara “Tolotio” Gorontalo sudah memerankan peran strategisnya. Ia mempunyai kapasitas operasi untuk pesawat-pesawat (militer) berjenis pesawat angkut Dakota C-47. Selain itu, ia mampu menyiapkan jenis pesawat (pembom) B-25 Mitchell dan (pemburu) Mustang P-51. Dari kapasitas ini, cukup jelas bahwa Pangkalan Udara “Tolotio” merupakan parner utama dari Pangkalan Udara di Mandai (Maros, Makassar) untuk operasi militer udara.
Dalam percakapan sehari-hari, posisi Pelabuhan Udara “Tolotio” lebih sering disebut oleh warga setempat dengan sebutan “Pangkalan”. Penyebutan ini tentu saja wajar karena memang di era 1950-an, Tolotio adalah kawasan “AURI yang memiliki pasukan bernama PPP (Pasukan Pertahanan Pangkalan). PPP adalah bagian dari organisasi Kesatuan Pangkalan Angkatan Udara yang terdiri dari: Pasukan Penangkis Serangan Udara (PPSU), Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dan Pasukan Pertahanan Pangkalan (Seowito, dkk, 2008).
Pengembangan transportasi udara sampai pertengahan tahun 1953 masih mengandalkan “pendaratan air” di Iluta di danau Limboto. Di tahun tersebut, progres teknologinya semakin memadai karena kerja keras Jawatan Penerbangan Sipil di Sulawesi Utara. Penyiapan radio-radio kontrol sudah beroperasi dan menandai pemantapan transportasi udara di Gorontalo. Setahun sebelumnya, pada 26 Maret 1952, upaya penyiapan lapangan udara di Tolotio di Isimu juga intensif dikondisikan menjadi bandar udara yang berkemampuan menerima pendaratan jenis pesawat Garuda Indonesia Airways (GIA) atau yang sejenisnya. Sebuah penerbangan ujia coba dilakukan langsung oleh Ir. Harahap untuk lebih memastikan kondisi landasan pacu dan teknologi utama untuk bandara ini.
Sejak awal 1952, penerbangan GIA jalur Makassar—Jakarta sudah berlangsung setiap harinya dan empat kali seminggu untuk jalur Makassar—Manado—Jakarta. Penerbangan rutin untuk beberapa bandara kecil di Sulawesi, termasuk ke Gorontalo, lebih banyak dilakukan oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Empat tahun kemudian, akhir September 1956, kondisi bandara Tolotio benar-benar sudah dipandang layak untuk menerima jenis pesawat GIA. Percobaan (penerbangan) rutin oleh pihak AURI berhasil meyakinkan bahwa bandara ini adalah “salah satu bandara terbaik” di utara Sulawesi karena kapasitas teknisnya sudah cukup. Berdasarkan kondisi bandara Tolotio pada 23 September 1956 tersebut, maka menurut penilaian AURI bandara ini sudah bisa menerima GIA pada bulan Desember 1956.
Jika pada era 1940-1950-an penerbangan udara bagi negeri baru merdeka seperti Indonesia adalah simbol nasionalisme dan militer, maka sejak era 1990-an, bandara adalah simbol pencapaian budaya sebuah bangsa atau masyarakat. Bandara, pertama-tama adalah karya arsitek dan teknologi yang menopang ekonomi. Selanjutnya, bandara akan segera berubah menjadi sebuah simbol dan citra harga diri ketika kecanggihan (fasilitas), sistem manajemen, budaya pelayanan, rasa aman dan perilaku yang terbentuk “di bandara” memediasi terciptanya kenyamanan dalam berbagai urusan dan kebutuhan.
Kita sering tidak menyadari bahwa airport sesungguhnya menjadi cermin banyak hal. Kita akan segera tahu perkembangan kemakmuran dan kelas-kelas sosial yang terbentuk di sebuah daerah dengan melihat bandaranya. Di lapangan parkir, variasi kendaraan yang berjejer dan di dalam bandara bagaimana jenis-jenis orang yang datang dan pergi adalah gambaran sederhana bagaimana roda budaya dan ekonomi sedemikian rupa bekerja.
Untuk kita di Gorontalo dan juga di beberapa wilayah di tanah air, kehadiran pesawat khusus (baca: pesawat kargo) nyaris belum terlihat. Ini sebagai pertanda bahwa arus barang belum sepenuhnya mengandalkan airport. Ini juga menjadi tanda bahwa unsur kecepatan (speed) pengadaan, permintaan dan distribusi barang dalam kehidupan ekonomi kita masih terbatas.
Dalam jangka waktu panjang, bandara tidak sekadar sebagai tempat untuk “pergi” dan “datang” –baik barang dan orang—(people and goods), tapi akan segera menjadi ruang di mana isu kenyamanan (leisure), kemakmuran (prosperity) dan keamanan (security) akan berjumpa satu-sama lain dalam sebuah dinamika yang sangat tinggi.
Khusus untuk soal keamanan, saat ini sudah harus menjadi perhatian serius, termasuk di Gorontalo. Jaringan obot-obatan dan narkoba, termasuk jenis pengorganisasian terorisme, tak bisa lepas dari posisi dan peran bandara. Kita sudah sangat tahu bahwa isu keamanan dan kenyamanan penerbangan adalah isu internasional. Sangat mudah menjadi isu publik dan karena itu akan mudah pula memberi dampak di tingkat lokal.
Visi baru butuh kita ciptakan percepatannya. Masyarakat kita makin tidak gagap dengan kecanggihan dan terbukanya moda transportasi udara yang kian intensif. Bahwa masih banyak warga kita yang tak punya pengalaman terbang di udara dan menggunakan transportasi udara guna mendukung mobilitas hidupnya, itu bukanlah alasan untuk kita abai dengan budaya transportasi canggih ini dan bagaimana implikasinya bagi kemajuan daerah. Dengan demikian, cita-cita terbaik untuk semua golongan bisa terbang tinggi setiap saat dengan rasa damai dan kemakmuran yang setara penyaksiannya di permukaan bumi ini.***
Penulis adalah Bekerja di Universitas Negeri Gorontalo
E-mail: [email protected]
Comment