Gorontalopost.id, GORONTALO –Â Penyelenggaraan pemungutan suara ulang (PSU) dapil VI DPRD Provinsi Gorontalo, diperkirakan akan diwarnai berbagai persoalan krusial. Baik sebelum hari pencoblosan maupun setelah pencoblosan. Salah satunya adalah maraknya praktek jual beli suara atau money politik.
Kekhawatiran ini disampaikan Ketua Komisi I Deprov Gorontalo, AW Thalib, kepada Gorontalo Post, tadi malam (30/6). “Salah satu kekhawatiran kami soal praktek money politik bakal marak dan bisa jadi akan lebih parah dari Pileg pada Februari lalu,” ungkapnya.
Ada beberapa alasan yang mendasari argumentasi itu. Pertama penyelenggaraan PSU tanpa kampanye. Menurut AW Thalib, jeda antara Pileg dengan PSU beberapa bulan. Sehingga diperkirakan banyak masyarakat yang sudah lupa dengan figur Caleg yang disodorkan oleh partai politik.
“Jangankan Caleg baru yang menjadi pengganti untuk pemenuhan kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Caleg lama yang mencalonkan diri waktu Pileg Februari lalu pasti banyak yang sudah lupa dengan mereka,” ungkapnya.
Situasi ini membuka ruang yang seluas-luasnya terhadap praktek money politik. Sebab money politik bisa menjadi satu-satunya cara bagi para Caleg untuk menggalang suara masyarakat. “Kalau tidak money politik lalu cara apa yang bisa dilakukan caleg untuk menarik simpati masyarakat. Saat Pileg Februari lalu saja yang ada masa kampanye toh money politik tetap marak,” urainya.
Alasan kedua adalah belajar dari penyelenggaraan PSU di Kabupaten Gorontalo yang sudah selesai. AW Thalib mengatakan, sudah jadi pembicaraan umum baik di kalangan politisi maupun masyarakat, bahwa penyelenggaraan PSU satu TPS di Kabupaten Gorontalo diwarnai politik uang.
“Ini sudah jadi pembicaraan umum, satu suara bisa sampai seharga Rp 1 juta. Kalau di Kabgor saja dengan satu TPS yang menyelenggarakan PSU bisa seperti itu, bagaimana dengan PSU menyeluruh di dapil VI yang mencakup dua kabupaten. Yaitu Boalemo dan Pohuwato,” tambahnya.
Dia mengungkapkan, untuk meredam praktek money politik tentu harus memaksimalkan pengawasan utamanya oleh aparat Bawaslu. “Tapi saya agak pesimis praktek money politik bisa diredam maksimal. Karena aparat pengawas terbatas.
Money politik bisa diredam dengan cara luar biasa. Tapi cara luar biasa membutuhkan dana ekstra. Sementara honorarium untuk aparat pengawas mungkin nominalnya sama dengan penyelenggaraan Pileg Februari lalu,” tambahnya.
Rawan Gugatan
Selain menyorot potensi money politik, AW Thalib juga mengkhawatirkan penyelenggaraan PSU akan melahirkan banyak gugatan. Misalnya penyelenggaraan PSU tanpa kampanye. AW Thalib mengungkapkan, kendati tak ada kampanye, tapi para Caleg memanfaatkan media sosial untuk kampanye. “Ini bisa jadi celah gugatan dari para caleg yang kalah,” ungkapnya.
Hal lainnya soal penggantian Caleg untuk pemenuhan kuota 30 persen. Menurut AW Thalib, Caleg baru itu tidak melalui tahapan penetapan daftar calon sementara (DCS). Sehingga tak ada proses uji publik.
“Ini juga bisa jadi celah gugatan. Karena caleg lama melalui proses uji publik,” ungkapnya. Belum lagi potensi gugatan dari caleg yang akan diganti. Karena Caleg yang diganti itu telah melalui proses penetapan daftar calon tetap (DCT). “Bisa saja mereka melayangkan gugatan,” tambahnya.
Dengan banyaknya celah gugatan, menurut AW Thalib, bukan tidak mungkin penyelenggaraan PSU akan berujung lagi dengan PSU. “Bukan tidak mungkin PSU akan diulang kembali kalau gugatan itu diterima,” tambahnya.
Pada pekan lalu, Komisi I Deprov Gorontalo telah mendatangi KPU Provinsi, KPU Boalemo dan KPU Pohuwato untuk mengecek kesiapan penyelenggaraan PSU. Menurut AW Thalib, pada pertemuan dengan Komisi I, KPU telah memastikan kesiapannya untuk penyelenggaraan PSU.
“Jadi KPU menyatakan sudah siap menyelenggarakan PSU pada 13 Juli mendatang. PPK dan PPS sudah dibentuk. Jadi mereka adalah petugas di Pilkada. Jadi kerjanya double. Menyelenggarakan PSU dan Pilkada,” pungkasnya. (rmb)
Comment