Oleh:
Basri Amin
Parner di Voice-of-HaleHepu
KITA bersyukur bahwa Gubernur (di) Gorontalo sudah sekian kali berganti. Dengan warna-warni jejak kerja, periode kuasa, jargon jabatan, afiliasi politik, publikasi biografi, dan label sosialnya masing-masing. Kita juga bersyukur karena sampai hari ini belum pernah ada Gubernur Gorontalo yang tertangkap-tangan dan terborgol tangannya oleh KPK atau Aparat Hukum lainnya.
Di provinsi tetangga, di Maluku Utara dan di Sulawesi Selatan, sudah terbukti ada Gubernur yang korup, ditangkap KPK, dan kini mereka di penjara. Di tempat lain, banyak pula Gubernur yang menghina daerahnya karena perbuatan-perbuatan tercela. Jauh dari keteladanan pemimpin.
Secara teori, tak ada Korupsi bukan berarti sudah baik. Karena ada “K” yang lain lagi yang sebenarnya sama hinanya dan demikian besar kerusakannya di sebuah negara modern, yakni: “K” untuk kolusi demi menumpuk kekayaan pribadi atau kenyamanan kelompok. Selain itu, ada lagi perilaku “N” yang sama rendahnya secara moral, kendati yang ini sangat jarang dihinakan dan dihukum, yakni “N” untuk nepotisme. Praktik ini kadang sangat halus, tapi lebih sering handal dikerjakan di bawah meja kekuasaan dan di dalam informalitas tertentu.
Pembenaran untuk Nepotisme sangat banyak polanya. Yang jelas, “anggota keluarga” terdekat dan yang tersambung dengannya menempati sedemikian rupa posisi-posisi strategis di lembaga (negara) yang dipimpin. Akses dan fasilitas terbuka oleh mereka. Ada pun soal kriteria dan syarat-syarat formal, semua itu bisa diada-adakan dan disesuaikan. Kita bisa lihat rincian operasi dan prosesi-prosesi nepotisme dan (kolusi!) itu terwujud.
Bagaimana di Gorontalo, soal KKN? Nyaris tak pernah ada perdebatan dan pembahasan terbuka yang tuntas hasil akhirnya. Daerah (kita) ini selalu mengesankan diri sebagai “daerah Adat” dan daerah yang “agamais”, dan karena itulah kritisisme terbuka cenderung dihindari karena mudah dihadang oleh tuduhan fitnah dan dengki, antara satu dengan yang lain.
Sayangnya, angka-angka kriminalitas, sengketa-sengketa properti, konflik laten, dan kejahatan moral di banyak sektor di Gorontalo semakin terpampang di berita-berita online lima belas tahun terakhir ini. Cukup jelas, bahwa fondasi kultural daerah sedang guncang oleh perubahan-perubahan orientasi hidup dan kesenjangan sosial-ekonomi di perdesaan dan di perkotaan, antara mereka yang “berpunya” dan yang “berkekurangan”.
Kebijakan publik kita semakin sering digugat secara terbuka oleh kelompok masyarakat. Harga komoditas yang jatuh bangun, akses pertambangan rakyat, proyek-proyek infrastruktur dan hak-hak keadilan (ekonomi) warga, banyak yang menuai kecaman dan gugatan.
Perhatian terhadap ekonomi informal dan sektor kreatif yang digerakkan oleh kalangan muda, belum tersentuh sungguh-sungguh. Wajah kota-kota kita di Gorontalo makin disesaki oleh peminta-minta, dengan berbagai gaya, alasan, jenis kelamin, dan kelompok usia. Barang-barang publik, sejenis BBM atau Pupuk, pun masih terus-menerus dikeluhkan layanannya. Arus modal, migrasi (pendatang), jejaring tenaga kerja regional, pola konsumsi, arus barang-masuk, dan permintaan layanan kesehatan publik, hari-hari ini semakin intensif.
Sayangnya, pengarahan dan pengendalian (produktivitas) ekonomi daerah belum bergerak memadai. Ada ketergantungan besar kepada APBN tetapi belum disertai economic leadership yang handal di Gorontalo. Kepekaan kepada kecenderungan teknologi baru dan pelebaran daya topang generasi produktif terkesan belum pernah dijadikan agenda seriuas.
Daerah ini, dalam observasi saya, masih banyak boros-nya di mana-mana.
Gorontalo Maju!
Apakah provinsi Gorontalo semakin maju? Ini cenderung dipandang sebagai pertanyaan yang tidak relevan. Siapa-siapa saja yang sudah banyak beroleh “untung” dengan kehadiran provinsi? Ini relatif mudah kita dijawab.
Siapa-siapa saja yang “nasibnya” belum beruntung atau tidak banyak berubah selama provinsi berdiri? Ini sepertinya agak jarang kita tanyakan. Memang, kita terbiasa menyebut angka-angka kemiskinan dan terbatasnya infrastruktur dasar. Kita juga sudah amat sering mendengar istilah pelayanan (serba) “gratis” dari pemerintah.
Kalangan Miskin selalu dihitung dan dihitung, tetapi golongan Kaya jarang secara terbuka dibicarakan, dihitung, dan diperhitungkan: apakah membesar jumlah orang kaya di Gorontalo? Siapa mereka itu dan dari mana mereka bisa kaya? Dan apakah mereka menjadi kekuatan (ekonomi) daerah ini?
Semuanya ini dimaksudkan untuk meyakinkan kita bahwa provinsi adalah sesuatu yang hadir dan memberi manfaat luas. Semua sudah tahu bahwa pembangunan yang baik adalah yang melayani masyarakat, yang membuka kesempatan secara adil kepada semua kelompok dan yang membangun persamaan hak dan akses dalam kebijakan.
Bahwa rakyat berhak atas pemerintahan yang bersih, baik, dan berwibawa!
Pembangunan melahirkan rutinitas dan membentuk bahasanya sendiri. Itulah sebabnya, pada sebuah provinsi yang sedang tumbuh, aparat pemerintah sangat “sibuk meyakinkan” masyarakat bahwa pembangunan (selalu) bergerak di jalan yang benar. Tak heran kalau hampir semua konsep indah dan memukau kita dengar dan lihat setiap saat. Hanya berselang sepuluh tahunan, pola berbahasa kita semakin lincah menyebut uang milyaran bahkan trilyun.
Kita dengan mudah mendengar orang menyebut angka-angka sangat besar itu. Yang kita lupa, itu semua berpotensi terpeleset menjadi “atas nama” pembangunan dan kita semakin terbuai dan tergantung dengan “anggaran pusat”. Masyarakat kita belum tentu produktif dan makin mandiri!
Di luar itu, begitu banyak pihak yang enak dan sibuk lalu-lalang ke Pusat, atas nama pembangunan. Adakah kontrol dan moral untuk gejala “atas nama” yang semakin boros itu?
Di saat yang sama, ketika rakyat menyampaikan masalah, gugatan dan gagasan, kita pun membangun kebiasaan baru untuk menyikapinya dengan bahasa “anggaran terbatas”; “kita butuh prioritas”, dst. Hal-hal fundamental di alam nyata bahkan dengan mudah kita lemahkan daya-tawarnya dengan membungkusnya sebagai “daftar aspirasi” atau sejenis “cadangan program”.
Faktanya, ruang-ruang bagi perdebatan serius tentang arah dan prioritas pembangunan kita, dalam hemat saya, terlalu didominasi dan/atau diambil-alih oleh pemerintah. Ruang partisipasi rakyat cenderung mengecil atau disempitkan.
Banyak acara atas nama “Petani”, tetapi yang wajahnya membesar dan meluas di mana-mana justru (rombongan) para pejabat. Petani tak bersuara dan tak pernah disimak betul suara-suara mereka. Wajahnya tak muncul utuh dan dimuliakan…padahal merekalah yang berpeluh-keringat dan sangat paham bagaimana climate change terjadi dan bagaimana agar negeri ini ber-daulat pangannya!.
Tanpa bermaksud mengabaikan otoritas dan wewenang yang memang dilegitimasi oleh regulasi, “ruang pembahasan” untuk tema-tema fundamental di daerah hendaknya lebih terbuka dan digarap lebih serius dan segmentatif. Karena meskipun di-teknis-kan sedemikian rupa dengan kaidah-kaidah administrasi-prosedural dan profesionalisme yang birokratis-politis, saya tetap menyangka bahwa hal itu masih sangat berpotensi kehilangan jiwa “merdeka”-nya di tingkat lokal dan nasional.
Kita butuh memeriksa lebih jujur dan terbuka: (1) kapasitas kelembagaan birokrasi, kepemimpinan, dan perilaku kepemerintahan kita di alam nyata; (2) fokus dan efektifitas program yang berdampak nyata dan berkelanjutan; dan (3) penanganan kasus-kasus nyata yang berdampak jangka panjang.
Dengan itu, maka tiga tema besar yang kiranya bisa menjadi perhatian bersama ke masa depan. Bahwa banyak hal yang sudah dan tengah dikerjakan di provinsi ini, itu semua tak mungkin kita pungkiri. Semuanya kita syukuri! Tapi beberapa hal mendasar yang sebaiknya tidak membosankan dipercakapkan adalah perbaikan-perbaikan yang menentukan kondisi jangka panjang.
Kota dan Budaya Kreatif
Wajah Gorontalo, pertama-tama, tergambarkan dari pencapaian kota-kotanya. Uniknya, pembangunan kota-kota kita, dalam hemat saya, masih sangat keteteran. Hampir semuanya dipercayakan kepada “pihak ketiga” untuk hal-hal fisik dan “perencanaan besar” (masterplan). Kota kita amat terbatas kita tumbuhkan dan kelola berdasarkan kreativitas kita sendiri dan memanfaatkan “otak otentik” yang aktif-hadir (secara kolektif) di tengah-tengah masyarakat. Memang, membangun wajah dan spirit kota bukanlah hal murah dan mudah. Ia membutuhkan leadership, kapasitas dan visi besar.
Apa yang kita saksikan belakangan ini, terasa sekali bahwa para pengelola kota-kota kita masih cenderung sok tahu dan mengambil jalan pintas. Mereka kurang mampu berimajinasi dengan kerja dan selanjutnya bercakap intensif dengan warganya di berbagai segmen kerjanya, terutama dengan kelompok profesional, pekerja seni dan kalangan pebisnis.
Meski tampak ramai dan sibuk, kota-kota kita terasa kering dan tanpa identitas. Warna gedung dan sebaran market dan “mart” memang banyak di mana-mana, tapi tak lebih dari sekadar pewarnaan yang acak, egois dan saling mengepung. Taman-taman dibangun hanya untuk menunggu lingkaran kerusakannya kembali.
Kekuatan partisipasi di tingkat rukun-rukun warga dan kelurahan nyaris tak bergerak. Praktik “kota berkelanjutan” nyaris belum pernah kita bahas memadai. Kita bahkan cenderung ikut-ikutan dengan jargon yang indah dan cerdas di telinga tapi amat sulit berbekas dan bermakna sehari-hari.
Wajah fasilitas publik, mutu udara dan laskap kota-kota kita masih jauh dari harapan. Tak ada leadership kota yang kuat di sini. Edukasi kepada masyarakat nyaris tak pernah jalan. Lihatlah perilaku persampahan, parkiran, dst…Permukiman dan selokan-selokan (jalan) kita makin abadi masalahnya, bukan? Resolusi belum pernah muncul, tapi uang public mengalir terus ke daftar program yang tak pernah habis.
Mutu Manusia dan Sumberdaya Alam
Mutu hidup manusia dan daya dukung sumberdaya alam kita hendaknya menjadi prioritas. Di permukaan, kedua sektor mendasar ini meskipun relatif ramai dibahas dan di-programkan, tapi kita masih lemah mencapai sebuah pelembagaan mutu manusia itu. Proses pendidikan mengalami semacam teknikalisasi yang hebat atas nama kurikulum, desentralisasi yang naik-turun dan kebijakan SDM guru yang berputar-putar.
Padahal, ketika di tingkat lokal kita sudah mempunyai sekolah vokasi (SMK, dst) dan tingkatan Akademi atau Politeknik, itu artinya lapisan kelompok terampil sudah harus menjadi basis perubahan dalam skala yang lebih produktif, secara ekonomi dan penerapan teknologi. Pada bagian lain, setiap tahun kita meluluskan anak-anak kita yang unggul di bidang sains dan bidang-bidang kompetitif lainnya, tapi sepertinya mereka kita “biarkan” mencari nasib-nya masing-masing secara domestik.
Sejalan dengan tantangan mutu manusia, perhatian kita kepada lingkungan hidup mensyaratkan sebuah emosi (pembangunan) yang makin serius. Pola bencana alam, perubahan iklim dan potensi SDA, kondisi mutu air tanah, luasan hutan produktif dan manggrove, produktivitas pertanian dan perikanan kita, kondisi DAS dan wilayah perbukitan kita, adalah sebuah sistem ekologis yang butuh pemahaman dan penanganan yang kompleks.
Sebuah titik temu antara yang ekologis dan yang ekonomis sudah harus lebih progresif. Kita jangan abai dengan potensi ekonomi masyarakat yang berada di perbukitan dan di pesisir. Skala produksi mereka bisa terpacu dengan kepekaan kebijakan yang menyentuh penyediaan infrastruktur dasar (jalan, jembatan dan listrik) dan akses mereka kepada pasar. Dengan itu, sambil skala ekonomi rakyat terus membaik, revolusi mental agraris secara intens kita gerakkan dan akhirnya akan melahirkan kegembiraan ekonomi di pinggiran.
Kebudayaan dan Jati Diri
Kebudayaan yang mendasari sebuah etik kekuasaan dan etos hidup yang produktif dan progresif, haruslah bisa diberi ruang ber-nafas dan ber-karya yang lebih luas dan longgar. Tanpa tradisi yang memihak kepada berkembangnya strategi budaya yang menjembatani daya cipta, pluralitas dan kebutuhan perubahan, kita hanya akan tumbuh menjadi bangsa yang terbiasa mengurus “pergantian Gubernur” dan lupa membangun “karakter pemerintahan” yang khas dan progresif mengerjakan perbaikan. ***
Penulis adalah Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)
E-mail: basriamin@gmail.com
Comment