oleh :
Basri Amin
KINI makin terkesan praktik-praktik demokrasi kita belum mampu mengantarkan Indonesia menjadi negeri yang disegani di pentas dunia. Tingkat kemakmuran, pencerdasan, kesetaraan dan hak-hak kita untuk beroleh pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa masih “jauh panggang dari api…”.
Demokrasi seperti “barang mainan” yang terlalu menarik bagi para pemain. Di mana-mana, yang kita saksikan adalah semakin banyaknya para “tukang” yang siap-siaga mengutak-atik demokrasi sebagai “barang” dan ngecap atas nama demokrasi.
Hari-hari ini kekuatan-kekuatan perubahan di masyarakat kita masih condong berpusat kepada “orang”, belum kepada “organ” dan “wawasan” yang menyatu dengan sistem pengetahuan nyata dan orientasi kepemimpinan yang obsesif memenangkan masa depan dengan komitmen dan kompetensi yang tinggi.
Kini, yang banyak kita saksikan begitu bernafsu memenangkan pentas demokrasi adalah orang-orang yang tidak sepenuhnya bisa kita percaya dan sungguh-sungguh kita andalkan mutu kerjanya karena bukti-bukti nyata. Belum lagi soal-soal “isi hati”, kejujuran sikap, dan perilaku-nya.
Hari-hari ini, yang kita cermati adalah bahwa prinsip “hari esok harus lebih baik” masih harus ditakar menurut kacamata terbatas/berjangka pendek: jaringan kelompok, jejaring keluarga, primordialisme, afiliasi organisasi, egoisme profesi, klik pertemanan, perniagaan, dst.
Hari esok akan lebih baik untuk “siapa?”. Semua orang lalu “mengantisipasi” nasibnya! Karena, “kelak, di atas timbangan kematian, kita akan berstatus sama!. Ia mengubah hidup (kita) menjadi nasib,” demikian tandas Malraux, negarawan Perancis (1901-1976).
Ketergantungan kepada orang, elite atau tokoh populer tak bisa lagi jadi pegangan. Arah bersama dan produktivitas tak bisa “dipikul” oleh sebuah elitisme dan populisme publik. “Semua orang dan kelompok adalah penting,” begitulah kaidahnya. Sekalipun kapasitas berbeda-beda tetapi peran yang beroperasi di sektor-sektor produktif haruslah beroleh akses, informasi, dan perlakuan yang wajar.
Itu sebabnya, sektor negara melalui aparatusnya harus didorong-penuh dan lebih keras agar lebih peka terhadap “sumberdaya” yang aktif di dalam masyarakat. Perangai lama yang cenderung dominan –-serba pemerintah—dan keenakan memelihara kultur “bantuan” haruslah diolah sedemikian rupa melalui kerangka kerja baru agar kepemimpinan ekonomi di tingkat lokal tumbuh lebih besar.
Sistem regional yang memediasi produktivitas, dan terutama daya tahan terhadap goncangan, haruslah ditemukan dan dipercakapkan lebih luas. Di sisi ini memang ada soal serius: kita mudah bosan bernalar. Hampir di semua pertemuan dan acara, “waktu terbatas” dan dipotong-potong sedemikian rupa ketika hendak menyelami fakta-fakta yang sebenarnya dan prinsip-prinsip dasar perbaikan yang menyentuh perangai (kolektif) kita.
Meski semua sependapat bahwa tidak semua urusan harus dibicarakan, tetapi pembicaraan terbuka sangat kita butuhkan ketika hendak memastikan sesuatu. Begitu banyak “pertemuan yang tak berbuah titik temu, bukan?”. Basa-basi!
Sistem yang menopang kapasitas (organisasi) pemerintahan dan pendekatan kewargaan yang tumbuh sehat di level masyarakat merupakan prakondisi jangka panjang kalau kita ingin negeri ini sehat (demokrasi) pembangunannya. Tanpa itu, yang kita gerakkan adalah tipu-muslihat yang dipoles-poles dengan publikasi dan sosialisasi.
Tanpa komitmen total, yang akan kita capai adalah kepura-puraan periodik di hadapan “kesadaran palsu” masyarakat. Tanpa sandaran (moral) yang kokoh, yang akan kita capai adalah pembesaran “kawanan pecundang” yang hanya tumbuh-terpelihara karena sogokan, konsesi kuasa, dan pesona retorika di ruang publik.
Sistem kerja yang benar tidak cukup ditopang oleh tumpukan regulasi. Ia mensyaratkan kepemimpinan otentik yang tumbuh dari pengalaman yang menghayati dan dari basis pengetahuan yang memihak. Sebuah kepemimpinan yang “terus-belajar” dan yang menjauh dari kecongkakan pidato, posisi, dan propaganda di baliho, media sosial, dan iklan-iklan.
Kepemimpinan yang bersandar kepada ke-KITA-an, bukan dari ke-AKU-an yang sepihak.
Mentalitas kepemimpinan kita, tampaknya masih harus banyak berubah. Kita bisa menyaksikan setiap saat di Republik ini, bagaimana perangai “pejabat-penguasa” tampak (masih) dominan.
Bahasa kekuasaan memborgol kebersamaan dan produktivitas. Melalui jalan-jalan kekuasaan, yang tercipta adalah kebuntuan sikap-sikap pengayoman dan keterbukaan untuk “tumbuh bersama” dan saling mendengar dangan nalar dan nurani.
Tak heran kalau yang banyak dikerjakan dan yang tercium aromanya adalah lingkaran-lingkaran kepentingan jangka pendek yang terus-menerus terlindungi dan selalu terbela di balik tembok-tembok posisi dan fasilitas.
Dewasa ini, yang lebih condong tampil ke depan adalah “publikasi” yang kosong keberlanjutan. Kita miskin “persuasi” yang memintakan partisipasi. Kita (masih) miskin “pejabat teladan” yang berjiwa pendidik dan pekerja-pejuang; yang bahasanya senantiasa aktif-menggema karena padat isi, afeksi, dan bukti-bukti.
Kini masih terlihat bagaimana “generasi lama” masih menguasai banyak posisi. Mereka bahkan menjadi petarung/pemain sepanjang hayat, dari periode satu ke periode berikutnya: generasi terus-menerus!. Generasi penerus dihadang jalan-jalan pengabdiannya…
Tradisi regenerasi yang memihak kepada loncatan-loncatan kemajuan –yang dikerjakan generasi baru– terkesan masih ragu-ragu diwujudkan. Pilihan menjadi “pensiun”an yang tetap produktif –-tanpa posisi di sektor formal– belum banyak dinikmati dan diminati. Pokoknya, posisi harus diburu dan diraih! Adakah yang salah? Jawaban kita bisa terbelah.
Kini kita tak pungkiri bahwa di beberapa tempat, kehadiran generasi baru sudah terterima sebagai sebuah “kepercayaan” –kalau bukan sejenis percobaan!. Sepuluh tahun terakhir ini, terutama di tingkat nasional dan lokal, posisi-posisi kunci sudah memantulkan wajah-wajah “generasi milenial”, walau masih saja berulang kepiluan karena kelemahan “karakter” mereka dalam memerankan diri dan membaca goncangan-goncangan negerinya.
Kita jangan lupa, cukup banyak di antara ‘generasi baru’ itu yang jiwa feodal-nya masih laten. Mereka begitu instan di jabatan dan begitu bernafsu tampil dengan jargon profesional dan legitimasi intelektual yang artifisial: “ngecap di permukaan!”
Mental sebagai oportunis dan avonturir cenderung menjadi pakaian mereka. “Siapa saja dijilat, yang penting beroleh akses. Kawan dijegal yang penting dapat fasilitas…main dua kaki di tiga panggung kepentingan yang berbeda, dst”.
Tegasnya, Indonesia kita masih terkendala dalam perkara karakter dan mentalitas. Itu sudah terbaca sejak akhir 1950an. Tepat ketika Presiden Soekarno merumuskan Revolusi Mental tahun 1957, antara lain beliau menyatakan bahwa (ini) adalah “satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala. Maksudnya tidak kecil...”.
Hasilnya bagaimana sekarang? Apa kabar Revolusi Mental?
Negeri ini harus lebih utuh berubah. Tak perlu debat pakai data resmi, kewenangan, dan tabel-tabel evaluasi segala macam. Anda amati dan rasakan yang jujur saja dalam perkara sehari-hari.
Di ruang-ruang publik dan di tempat-tempat kerja Anda, coba perhatikan! Mental saling menjegal, saling memfitnah dan menebalkan kezaliman, masih eksis dan eksplisit, bukan?
Orang-orang yang tumpul daya kerjanya, rendah komitmen dan prestasinya, masih banyak yang bercokol dan keenakan posisinya.
Negara digerogoti! Kita belum punya sistem audit keorganisasian dan kepemimpinan unggul yang handal memastikan “fakta yang sebenarnya”. Yang membesar adalah fantasi dan manipulasi.
Sistem yang menempatkan quality control dan keberlanjutan misi-misi luhur organisasi (publik) seringkali rontok di atas sebaran gosip, tafsir sepihak dan kuasa “siluman” yang dikelola oleh jaringan keluarga, kuasa pertemanan, joki-joki peran, dan obsesi kapital.
Kepada Anda semua, mari sama-sama kita cermati di kiri dan kanan kita masing-masing. Institusi (kita) sangat rentan diperalat dan dimanfaatkan oleh mereka yang tak pernah sepenuhnya terbukti “ucapan dan perbuatan”nya bulat-sepadan dan konsisten dari waktu ke waktu. ***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu;
Pos-el: basriamin@gmail.com
Comment