oleh :
Basri Amin
Direktur PuSAR Indonesia
SENGKETA demi sengketa, hari-hari ini di negeri ini, sambung-menyambung mengisi tata pergaulan kemasyarakatan kita. Agenda Pemilu dan kesibukan (acara) elitis di ujung sana, tapi ketimpangan (nasib) orang-orang kebanyakan meraung di ujung sebelah sini.
Negara, yang selalu dipercaya kuat dan kuasa dengan aparatus dan teknologinya tidak bisa berbuat banyak dan tak kuasa tepat meredam kemarahan-kemarahan kelompok di banyak tempat di Republik (Hukum) berideologi Pancasila ini.
Kita adalah negeri pemarah yang suka pameran Pidato dan Seruan. Kita adalah negeri, yang dalam situasi buruk, barulah tampak kecerdasan-kecerdasan latennya dalam berkata-kata dan mendaftar kronologi peristiwa. Disertai janji baru dan kesedihan temporer di ruang media.
Kita adalah negeri yang, tampaknya, terlalu lamban untuk mampu “mengantisipasi” keadaan dan yang mampu “mengendalikan” momok-momok kemarahan –-yang sudah lama tumbuh dari jejaring kekalahan ekonomi dan ketidakadilan sosial— di masyarakat kita.
Kita, dalam banyak hal, “mudah bereaksi tapi abai mengantisipasi…”
Agama, Adat, dan Budaya selalu disebut setiap saat. Selalu diucapkan bahwa agama adalah penyatu kesadaran bersama dan “ketakutan bersama” atas kemarahan dariNya, tapi melalui perjalanan waktu pulalah yang akhirnya menyuguhkan gambaran yang lain dari itu semua: manusia yang rapuh, masyarakat yang retak-retak. Begitulah pula dengan nasib Adat dan Budaya, selalu dikata-katai tapi abai jadi rujukan bermakna yang kukuh dan dilembagakan nilai-nilai utama yang menempa perilaku kolektif.
Ketika sengketa demi sengketa terus menyeruak dan melilit seperti tak ada habisnya, semuanya jadi tontonan yang tak memberi simpul-simpul kebenaran dan penyadaran keadaan.
Semua keadaan jadi persoalan. Tak kenal lapisan atas atau pun bawah, tabiat membuat sengketa nyaris sudah rata di semua kalangan dan profesi. Kita bahkan semakin lincah menggunakan aturan dan regulasi untuk membuat sengketa. Nalar sehat pun jadi kisruh.
Formalisme keteraturan (social order) cenderung “diserahkan” kepada mekanisme yang sudah paten, yakni hokum dan regulasi. Sebagai akibatnya, kitab-kitab hukum dan administrasi yang menampung timbunan regulasi yang mengatur urusan-urusan manusia semakin tebal dan tersebar. Kita lalu menjadi spesies yang dikepung oleh aturan, tetapi rentan kehilangan kendali dalam ketaatan. Di sisi lain, kepercayaan yang keropos antara negara dan masyarakat masih tampak di mana-mana. Akar soalnya lebih kepada soal-soal integritas, kepemimpinan, dan keteladanan.
Karena negeri ini adalah republik modern, maka hukum dan tertib sosial adalah pegangan yang terus diproduksi. Di ruang edukasi dan regulasi-lah penampakannya yang paling nyata. Di dalam ruang itulah pula masyarakat kita beroleh sandaran (ideal) yang membuatnya mampu menuntut hak-haknya dan sewajarnya kukuh menghormati dan memercayai prosedur-prosedur bernegara yang wajar.
Di kala lain, masyarakat pun beroleh ruang setara untuk mempertanyakan pengabaian-pengabaian yang mereka alami. Relasi timbale-balik seperti ini menjadi tidak sederhana karena laku pengabaian, kisah kalah dan menang, terbela dan terhempas, serta yang terhukum dan yang terbebas, pada satu masa yang berulang pernah di alami oleh setiap individu dalam sebuah bangsa/masyarakat. Itulah sebabnya, dalam hemat saya, kekuatan hukum dalam sebuah bangsa tergambar dari konfigurasi cerita-cerita yang tumbuh di masyarakat tentang (praktik) hukum itu sendiri.
Tidak perlu semua orang menghapal pasal-pasal dalam kitab-kitab hukum. Yang dibutuhkan adalah tekad yang kuat untuk “tidak melanggar” hak-hak umum dan kepentingan orang lain.
Apa yang harus diusahakan adalah kepekaan atas makna kebajikan (manusiawi) yang terkandung dalam (misi) lahirnya sebuah kebijakan. Dasar etis itu adalah penghargaan kepada tertib bersama dan usaha-usaha bersama mewujudkan tertib itu di berbagai arena hidup dan kesempatan. Perlu ditekankan di sini soal kesempatan karena dalam banyak hal kita cenderung lalai menggunakan kesempatan yang kita punyai untuk menegakkan “tertib hidup” itu dalam ukuran sehari-hari, dan di ruang-ruang hidup yang kita lakoni secara rutin.
Di jalan-jalan raya dan di tempat-tempat kerja dan organisasi-organisasi kita, “tertib hidup” hendaklah menjadi pegangan agar kepungan sengketa dalam bernalar dan dalam berhubungan tidak semakin menjalar kejenuhannya. Kebiasaan membahasakan harapan tidaklah harus ditimpali dengan nada-nada angkuh dan sok mengatur. Kebiasaan menutup-nutupi kegagapan dan kegagalan tidaklah harus dibenci dengan bahasa apatisme, melainkan dengan dialog dan keterbukaan.
Tak ada kepongahan yang bisa bertahan dengan penyumbatan atau penutupan –dengan kuasa dan bahasa apa pun–. Ia akan meledak melalui celah-celah kesadaran yang tumbuh dari dalam (jiwa) masyarakat itu sendiri. Pertentangan dengan mudah diciptakan, ditiru, ditebalkan, dan disirkulasi. Terlalu banyak sebab, urusan dan media yang memicu perangai sengketa.
Terpecahnya banyak kepentingan material, citra, dan status, serta tindakan-tindakan “antisipasi politis” di setiap momentum ekonomi —secara langsung dan laten— diam-diam tapi pasti telah membentuk (struktur) bernalar dan bertindak kita yang cenderung menghasilkan “peta kepentingan” yang tidak berkesudahan. Bahkan, selalu terbuka pilihan dan aspirasi baru dan yang jangka pendek untuk “saling menjebak” satu sama lain. Masa depan peradaban kita akan hangus berulang dengan puing-puing sosial-ekonomi yang setiap saat kita bakar bersama, mengelompok, atau dengan cara sendiri-sendiri.***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu;
Direktur PuSAR – Indonesia.
E–mail: basriamin@gmail.com










Discussion about this post