Oleh:
Dahlan Iskan
KAMI tiba di kompleks Al-Zaytun sudah sangat gelap. Tapi penjaga gerbang langsung tahu siapa yang datang. Mobil Syekh Panji Gumilang ini mencolok sekali: bendera merah putih selalu berkibar di antena depan.
“Merdeka!” sambut para penjaga gerbang itu.
“Merdeka!” jawab Syekh Panji.
Saya, yang duduk di sebelahnya, masih agak canggung untuk ikut memekikkan ”merdeka”.
Saya pilih tersenyum saja ke para penjaga itu.
Tidak ada sambutan Assalamu’alaikum di situ. Pekikan ”Medeka!” sudah menjadi salam sehari-hari. Termasuk antara santri dan guru. Kalau pun tidak memekikkan “Merdeka!“ mereka saling melakukan “hormat militer”: menempelkan telapak tangan terbuka di pinggir dahi. Dengan gerakan itu sudah sama artinya dengan mengucapkan “Merdeka!”.
Tanpa pula harus berjabat tangan.
Assalamu’alaikum masih sering terdengar. Jabat tangan masih sering juga terlihat. Tapi tidak sebanyak pekik “Merdeka!”.
Begitulah suasana di gerbang masuk Al-Zaytun. Itulah gerbang barunya. Disebut juga gerbang utara.
Dulu, untuk masuk pesantren ini hanya bisa dari gerbang selatan. “Kelak akan ada dua gerbang lagi. Gerbang barat dan timur,” ujar Syekh Panji Gumilang, sang pendiri Al-Zaytun.
Malam itu kami memang datang dari arah utara. Dari arah pantai Samudera Biru bagian utara Indramayu. Kalau harus masuk dari gerbang lama amatlah jauh. Lewat jalan memutar. Bisa selisih setengah jam sendiri. Luas pesantren ini memang 1.300 hektare. Yang jadi kompleks bangunan saja 200 hektare.
Gelap.
Kegelapan itu membuat saya tidak bisa menjelaskan suasana antara gerbang ini dan tempat saya menginap: Wisma Tamu Al-Zaytun. Malam itu saya seperti melewati hutan jati yang luas. Jalan di tengah “hutan” itu lebar sekali. Aspal. Kanan-kirinya ada jalan yang lebih kecil.
Jalan lebar di tengah itu untuk mobil dua arah. Jalan di kiri untuk sepeda dua arah. Jalan di kanan untuk motor dua arah.
Tertata.
Lalu ada simpang tiga. Kami belok ke kiri. Masih hutan jati. “Itu workshop baja. Semua bangunan di sini berkonstruksi baja,” ujar Syekh sambil menunjuk arah gelap.
Beberapa menit kemudian Syekh menunjukkan jari lagi ke kegelapan yang lain: di sana sawmill. Ada pabrik mebel di situ. Semua mebel tidak ada yang dibeli.
“Kalau kita tadi belok kanan ke mana?” tanya saya.
“Ke pabrik beras, cold storage, dan pabrik air minum dalam kemasan,” jawabnya.
Air minum untuk 8.000 penghuni madrasah ini diproduksi sendiri. Beras juga diolah sendiri dari sawah sendiri. Kalau menyembelih ayam sekaligus sekian ribu, lalu dimasukkan cold storage.
Kami pun tiba di wisma tamu. Ramai. Banyak orang tua mahasiswa bermalam di situ. Besok paginya (Sabtu) ada wisuda sarjana angkatan ketiga.
Penerangan di sekitar wisma ini kurang terang. Saya pun berpikir ke masa-masa tahun 1997 ketika wisma ini dibangun: Indonesia masih kekurangan listrik. Mungkin saat itu sulit mendapat sambungan daya besar dari PLN. Lalu penerangan yang kurang terang ini dianggap biasa, pun setelah Jawa kelebihan listrik.
Wisma ini seperti hotel bintang tiga. Enam lantai. Lift-nya dua buah. Lobinya besar. Kamar-kamarnya besar. Ranjangnya besar. Kursi-kursinya besar. Berarti wisma ini sudah berumur 25 tahun. Sudah waktunya direnovasi ringan.
Saya membayangkan betapa mewahnya untuk ukuran 25 tahun lalu di pedalaman Indramayu. Jangan-jangan itu gedung ber-lift pertama di kabupaten itu.
Usai menaruh barang di kamar saya turun ke lantai dasar: makan malam. Di sebelah lobi itu ada ruang makan. Ternyata sudah begitu banyak yang siap makan malam. Sekitar 100 orang. Mereka sudah duduk rapi menghadap meja-meja panjang. Makanannya pun sudah tertata di atas meja.
Belum ada yang memulai makan.
Mereka menunggu kedatangan Syekh Panji. Dan saya. Dan istri.
Di kursi sebelah saya ada Mayjen Purn Kivlan Zein dan istri. Di kanan istri saya ada rombongan pendeta Kristen dari Jakarta. Di seberang saya ada Robin Simanullang, wartawan senior, anak pendeta, penulis buku tentang Al-Zaytun.
Syekh duduk di kursi di ujung meja. Maka makan malam pun dimulai: nasi, ayam, salmon, tongkol, sop gambas. Nasinya beras Jepang hasil panen pertama seluas 4 hektare di pesantren ini.
Syekh tidak ikut makan.
Ia terus berbicara, menjawab begitu banyak pertanyaan orang semeja.
Ternyata ia tidak makan bukan karena sibuk bicara. Ia, setiap hari, memang puasa 22 jam. Untuk mempertahankan kesehatan badan. Ia baru makan pukul 21.00. Hanya ada waktu makan 2 jam selama seharmal. Dalam 2 jam itu makan apa pun boleh: nasi, daging, ikan…
Itulah diet gaya intermittent fasting 22 jam. Itulah yang membuat Syekh Panji Gumilang masih gesit di usianya yang 77 tahun.
Diet intermittent itu sudah dilakukan sejak 3 tahun lalu. Sejak Covid-19 melanda Indonesia. Itu bagian dari usaha menghadapi Covid agar tetap sehat.
“Sejak itu badan saya enak sekali. Enteng,” ujarnya mengenai hasil diet itu.
Banyak sekali pertanyaan diajukan ke Syekh. Termasuk soal-soal yang sensitif mengenai Quran dan Injil. Mengenai agama Ibrahim. Firaun. Isa Almasih. Muhammad.
Setiap jawaban juga disertai kutipan ayat-ayat Quran dan Injil, dalam bahasa Ibrani.
Saya bertanya: di mana Syekh belajar bahasa Ibrani. “Bahasa Ibrani itu mudah. Mirip sekali dengan bahasa Arab. Termasuk pengucapan dan grammar-nya,” ujar Syekh. Ia pun memberi banyak contoh. Saya tidak mampu mengingat semuanya. Begitu mirip dua bahasa itu. Salah satunya: assalamu’alaikum. Dalam bahasa Ibrani: salom alahum.
Berati Syekh ini bisa berbahasa Arab, Inggris, dan Ibrani.
Ketika ia sekolah di pondok modern Gontor dulu, siswa memang diwajibkan berbahasa Inggris dan Arab. Yang ketahuan tidak bicara dua bahasa itu kena hukuman.
Tapi tidak ada pelajaran bahasa Ibrani di Gontor.
Aneh!
Ternyata Syekh juga bisa berbahasa Mandarin. Saya sama sekali tidak menyangka. Saya tahu itu secara kebetulan.
Saat kami makan, ada orang Tionghoa masuk ruang makan. Syekh menyapanya dalam bahasa Mandarin. Saya terbengong.
Lalu saya juga menyapa tamu itu dalam bahasa Mandarin. Ternyata ia dari Shanghai. Di Al-Zaytun hanya akan 1,5 bulan. Ia tenaga ahli instalasi air minum kemasan. Al-Zaytun lagi memperbarui mesin pabrik air minumnya.
Saya pun ”menguji” Syekh lewat beberapa pertanyaan dalam bahasa Mandarin. Semua bisa dijawab dalam Mandarin.
Syekh tidak mau menjawab pertanyaan soal tuduhan Al-Zaytun terafiliasi dengan ideologi Negara Islam Indonesia (NIl).
Ia sudah bosan dengan pertanyaan itu. Yang setiap menjelang tahun ajaran baru selalu muncul.
“Biar dijawab Robin saja,” kelakarnya.
Hanya soal itu yang ia tidak mau menjawab. Soal wanita ikut salat di barisan depan ia tampilkan perspektif sejarah.
“Di zaman jahiliyah laki-laki diutamakan. Laki-lakilah yang diperlukan dalam perang. Di zaman Firaun laki-laki dibasmi. Perempuan dianggap mudah diatur. Di zaman Muhammad laki perempuan dibuat sejajar,” ujar Syekh Panji.
Saya pun tahu arahnya ke mana. (*)
Comment