Oleh :
Basri Amin
Dunia kita hari-hari ini makin terkesan diatur oleh mereka “yang menang” dan oleh mereka “yang kalah”. Di banyak arena, yang terjadi adalah tak ada pihak yang sungguh-sungguh meraih kemenangan dan kekalahan yang utuh dan mutlak. Di dalam setiap kemenangan, sebagaimana pada setiap kekalahan, persepsi dan preferensi amatlah menentukan.
Kehadiran setiap pilihan (tentang sesuatu/seseorang) dan kehadiran setiap pikiran (tentang kalah dan menang), akan berbuah harapan dan kecemasan sekaligus. Keduanya menjadi ruang di mana manusia kemudian “menyusun” sejumlah siasat dan sindikasi dalam hidupnya.
Dari pepatah lama kita mengenal ungkapan: kalah jadi abu, menang jadi arang!. Entah karena apa, dunia Melayu demikian jeli dan peka menangkap banyak nasehat hidup. Meski penuh perlambangan dan perbandingan, kearifan itu sungguh objektif-nyata keberlakuannya setiap hari. Terbukti, ketinggian peradaban kita sangat tergambarkan dari keluasan cakrawala manusia yang berhasil kita tangkap dan pantulkan.
Tradisi Melayu tentu bukanlah gejala tunggal. Ia bahkan tak bisa diwakili dengan mudah oleh satu negara saja. Melayu adalah kawasan dan identitas yang cair. Ia menyejarah dan berakar. Ia sekaligus menawarkan pembelajaran yang tak pernah putus. Ia melintasi gelombang dan bergenerasi.
Melayu adalah peradaban yang kaya mewariskan nasehat. Sebagaimana dinukil kembali oleh Tenas Effendy (2006): Supaya Melayu tetap terpuji, Tunjuk dan ajar pemayung diri; Bila Melayu tak mau terkeji, Tunjuk ajar hendaklah kaji.
Dalam urusan memilih pemimpin, Tunjuk Ajar Melayu berujar:…yang dikatakan pemimpin, adalah: elok lahir sempurna batin; eloknya boleh ditengok, sempurnanya boleh dirasa…Lurus hati, lurus akalnya; lurus niat, lurus buatnya; lurus lidah, lurus tingkahnya; lurus lahir lurus batinnya…Dengan demikian, para pemimpin adalah manusia pilihan yang terpilih di tengah-tengah orang banyak. Walau bukan yang terbaik, tapi kehadirannya haruslah dililit oleh keluhuran nilai-nilai yang sudah lama berlaku (lama) di masyarakat.
Apakah ini sekadar petitih yang berlaku sepintas di negeri Melayu? Ternyata tidak, Melayu adalah bangsa yang pernah terkenal karena pergaulan sosialnya yang (relatif) egaliter, terbuka dan progresif. Melayu memang identik dengan Muslim, tapi ia sekaligus bermakna perjumpaan yang saling menerima dan memberi. Identitasnya adalah agama, niaga, dan budaya.
Pada tingkat yang ideal, menurut khasanah Melayu, pemimpin adalah mereka:…yang ilmunya boleh berguru; yang kajinya boleh mengaji; yang cakapnya boleh dikakap; yang mulutnya boleh diikut; yang perangainya boleh dipakai; yang temoohnya boleh dicontoh; yang batinnya boleh diuji; yang lakunya boleh ditiru; yang taatnya menahan pahat; yang setianya menahan coba; yang ikhlasnya menahan kipas; yang tawakkalnya menahan penggal; yang tunggangnya menahan pedang;..yang berumah dalam musyawarah; yang bertempat dalam mufakat; yang berdiri dalam budi; yang tegak dalam syarak; yang memandang dengan undang; yang mendengar dengan tunjuk ajar; yang berkata dengan sunnah; yang berlaku dengan ilmu; yang berjalan dengan iman; yang melangkah dengan petuah…
Manusia adalah spesies yang takdir keberadaannya selalu digerakkan oleh berbagai “tuntutan” dan ia akan bereaksi dan bertindak dengan beragam cara (Raymond Geuss, History & Illusion in Politics, 2001). Ia selalu meyakinkan dirinya sebagai mahluk yang mampu memilih dan punya kapasitas mengubah sesuatu. Prinsip inilah yang selalu dibagi secara bersama oleh setiap bangsa modern. Dalam prosesnya, yang terjadi adalah keragaman dan persaingan. Tak ada satu bangsa yang bersedia menerima status sebagai masyarakat yang”tak punya sejarah” pemenang.
Bahkan di dalam kekalahan sekalipun –terutama dalam peperangan— sejarah mereka yang kalah pun tetap merupakan bentuk transformasi kemenangan. Artinya, tak ada kekalahan yang seratus persen “kosong” dan menghilangkan semua kisah yang terjadi dan semua aktor yang pernah tampil.
Di sinilah letaknya keyakinan bahwa di dalam setiap sesuatu (selalu) terdapat sisi-sisi pencapaian (menang!) dan kehilangan (kalah!) sekaligus. Tak ada sesuatu yang sepenuhnya bulat-utuh.
Diri kita adalah sentra perjumpaan antara yang menang dan yang kalah.
Percepatan! Inilah mungkin kata yang semakin pasti dewasa ini. Semua dengan mudah berubah. Semua berlari cepat. Hadir dan menghilang begitu saja. Itulah yang berlaku pada apa-apa yang selalu kita rasakan mampu menggambarkannya: uang, orang-orang, barang-barang dan kabar-kabar.
Kita semua, dan apa-apa yang kita punyai demikian mudah berpindah dan berubah setiap saat. Semua bisa mendekat dan sekaligus berjarak dan berpisah dengan kita. Hanya dalam ikatan-ikatan emosional saja kita bisa agak yakin atas rasa “memiliki sesuatu”. Itupun hanya mampu bertahan dalam ukuran waktu yang semakin rentan saat ini.
Yang dulunya adalah “pemenang” melalui pertarungan beberapa tahun lalu, kini ia mungkin sudah kandas di atas siasat hidup yang (pernah) demikian yakin ia pegang erat. Kini, orang-orang yang mungkin dulunya tak pernah ditengok dan dihitung oleh orang lain, ia dengan kepala tegak merayakan “kemenangan” (barunya). Mungkin sambil menertawai lawan-lawannya.
Mereka yang pernah “berteman” atau “berpasangan” di arena kekuasaan, kini bisa jadi tengah merangkai pertarungan baru yang sedang ditawarkan oleh pihak lain yang merindukan “kemenangan” (baru) yang rasa dan arusnya lebih besar. Tak jarang, kemenangan itu justru dirancang di atas bara dendam dan/atau berupa perlawanan balasan demi kepuasan.
Perseteruan antara yang kalah dan yang menang tak akan pernah berhenti. Yang jelas, dalam nasehat klasik di Tiongkok terkenal ungkapan: “jangan pernah remehkan lawanmu!”. Punya lawan yang hebat jauh lebih bermakna daripada sekumpulan kawan yang membeo, bernafsu, dan bodoh.
Karena yang kalah tak pernah berhenti mencari kemenangan, demikian pula bagi yang menang tak akan pernah (mau) berhenti menggapai kemenangan tambahan, maka kepada kedua arus hidup ini, yang kita butuhkan adalah kesadaran tentang “batas-batas”.
Dalam nasehat Melayu terungkap: Sebelum berkata, berkira-kira; sebelum tegak, mengagak-agak; sebelum duduk menengok-nengok; sebelum melangkah, berpelangkah… (Effendy, 2006: 658). Begitulah tradisi kita menyikapi keadaan. Begitulah Melayu menempatkan “nasehat” dan “petuah” sebagai pilar demokrasi dan berkebudayaan dalam berkepemimpinan publik di planet ini. *
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu
Pos-el-: [email protected]
Comment